Laman

Monday, March 30, 2015

Sekiranya Aku Adalah DIA

Sebuah Refleksi Jiwa
Menyongsong Jumat Agung & Paskah
Kudedikasikan Buat Anakku Yang Telah Tumbuh Dewasa
HIEL ADE PRASETYA DELIMA
Kuteguhkan Sidinya Tgl. 29 Maret 2015



Di minggu palma ini,
aku terhanyut dalam lamunanku.
Kurasakan rohku terangkat menyusuri lorong-lorong di antara dinding yang kasar,
dan aku teringat bahwa inilah tempat yang disebut orang Via Dolorosa.

Seketika mata imanku dicelikkan,
kusaksikan lautan manusia dengan wajah yang garang dan penuh dendam,
diiringi kata-kata kotor berisi laknat kepada seorang yang penuh luka berpeluh darah.

Ya...inilah yang kudengar...
bahwa tak ada kata santun sebagai tanda hormat,

Ya....inilah yang kusaksikan.....
tak juga ada tangan terulur sebagai bukti cinta dan kasih,
untuk menopang dan mengangkatNya di saat Ia tersungkur.

Ya....inilah yang kurasakan...
bahwa ia terbuang dari antara sahabat-sahabatNya,
seorang diri menanggung derita,
bagai seorang yang tersesat di padang gurun menanti ajalnya.

TubuhNya lunglai tak kuasa menahan beban yang di pundak,
dengan langkah gontai menapaki anak tangga menuju bukit penyiksaan
.

Sungguh......

Tiada satu yang berempati terhadap derita yang ditanggungNya,
kecuali sekelompok wanita yang hanya mampu memberi semangat dengan derai airmata.
Sumbangsih mereka hanyalah ratapan dan tangisan.
Mereka hanya berharap cemas.
Bilakah Ia membuka mulutNya untuk membela diri,
merangkai kata demi tegaknya sebuah keadilan,
agar hukum tidak dipelentir hanya memuaskan hasrat sang durjana,
dan kebenaran dibelokkan hanya untuk memuaskan nafsu dan keserakahan.

Namun Ia tetap diam seribu bahasa,
dan dengan tatapan hampa menatap langit.
Di benakNya hanya ada satu hal yang dirindukan,
semoga anak tangga yang ditapakiNya adalah yang terakhir,
agar derita yang ditanggungNya menjadi ringan.

Sesungguhnya aku merasa diriku ada di sana,
menjadi bagian dari kerumunan manusia yang kehilangan nurani.
Aku pun tak tahu diriku ada di pihak mana?
Sebab aku sendiri tidak berani mendekatiNya,
bahkan aku berusaha menutup mataku untuk tidak melihat wajahNya.

Pikirku....
Sekiranya aku adalah diriNya.........
Akan kulampiaskan dendamku dengan sumpah serapah.
Sekiranya aku adalah diriNya.........
Akan kutuntaskan amarahku dengan kata-kata kutuk tak beralas kasih.
Sekiranya aku adalah diriNya.........
Akan kutuntut balasan atas setiap goresan luka yang ada di tubuhku karena ulah mereka.
Sekiranya aku adalah diriNya........
akan gugat Shang Khalikku karena derita yang tersurat sebagai takdirkanNya kepadaku.

Tapi nuraniku bukanlah nuraniNya,
dan apa yang timbul di benakku tidak seperti itu yang tersimpan di benakNya.
Aku marah, tapi Ia tetap tenang dengan keadaanNya,
aku memberontak, tetapi Ia tetap taat pada takdirNya.
Aku mengatakan bahwa ini adalah kehinaan,
tapi bagiNya, inilah jalan menuju kepada kemuliaan.

Jalan yang dilaluiNya...
Mungkin bagiku hanyalah sebuah kehinaan.
Cambuk yang merobek kulit di tubuhNya........
Mungkin bagiku adalah sebuah penghinaan.
MukaNya yang diludahi......
Mungkin bagiku adalah sebuah penistaan harga diri.
KepalaNya yang bermahkota duri....
Mungkin bagiku adalah sebuah pelecehan martabat kemanusiaan.
Dan salib yang terpancang kokoh di bukit itu yang padanya tubuhNya terpaku dan kaku....
Mungkin bagiku adalah akhir dari kisah kehidupan.
Serta gelap gulita yang menyelimuti bumi.....
Mungkin bagiku adalah gambaran siksaan kekal di alam durjana.

Tapi....
BagiNya....
Inilah sebuah kehormatan.
BagiNya........
Inilah sebuah keagungan.
BagiNya........
Inilah sebuah penghargaan.
BagiNya........
Inilah sebuah kemuliaan.
BagiNya........
Inilah pintu masuk menuju ke kekalan.
BagiNya..........
Inilah pilihan menuju ke sorga.

Di jalan ini, dendam bertarung dengan cinta
Di jalan ini, amarah bertarung dengan kelembutan
Di jalan ini, kekecewaan bertarung dengan ketaatan
Di jalan ini, kegetiran bertarung dengan sukacita
Di jalan ini, kekuatiran bertarung dengan kepastian

Dan di ujung jalan ini....di puncak bukit itu
Cinta mengalami kemenangan,
kelembutan merubah wajah dunia,
ketaatan membuka gerbang keselamatan,
sukacita menghadirkan kedamaian,
dan kepastian membungkam segala kebohongan,
bahwa justru di jalan ini, Allah menghadirkan bumi yang baru,
di mana kebenaran dan keadilan bercium-ciuman,
laksana pengantin yang baru memulai kehidupannya.

Aku terus ada di tengah kerumunan orang yang dengan wajah garang terus menghinaNya.
Tapi aku tidak lagi peduli terhadap kelakuan mereka.
Aku hanya mau berusaha menyelami apa yang sedang dipikirkanNya,
aku hanya mau berusaha memahami apa yang dikatakanNya.

Ketika salib itu ditegakkan...
aku serasa mengalami derita yang sedang dialamiNya.

Ya....aku merasa bahwa dirikulah yang tergantung di salib itu.
Tubuhku bergetar.....menggigil karena sakit yang ditimbulkan oleh luka-luka itu.
Bibir tak kuasa mengucap kata, karena badan ini bagai tersayat-sayat sembiluh.
Sedang mereka terus menghujat dan tiada belas kasihan, terus menggores luka di tubuh ini.
Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan kata laknat,
dan dengan sisa tenaga yang ada, kupanjatkan doaku:
"Ya Bapa...ampunilah mereka".

Aku berusaha untuk tidak bersuara lantang menentang mereka,
aku terus bertahan untuk tidak mengeluarkan kata.
Tapi akhirnya....
aku harus berkata:
"Eloi...Eloi....Lama Sabakhtani".
Aku tak tahan derita ini lagi dan kuberseru kepada Sang Khalikku:
"Sudah selesai".

Aku terhenyak dari lamunanku....
Lalu kucari sekelilingku,
kemanakah orang-orang itu pergi?
Aku tinggal seorang diri.....
Dan di manakah salib itu?

Ah...
Aku tidak beralusinasi...
Aku juga tidak sedang bermimpi....
Aku hanya berusaha menyingkap rahasia di balik peristiwa itu.
Lalu kukatakan pada diriku sendiri:
Engkau adalah buah dari Cinta Ilahi.
Sebab jika tidak; maka Kristus tidak akan dikorbankan.


(Samarinda, 31 Maret 2015)


No comments:

Post a Comment

Web gratis

Web gratis
Power of Love