Laman

Sunday, June 5, 2016

48 Thn, Tuhan Menganyam Hidupku

Sebuah Refleksi Jiwa menutup pintu 48,
dan menapaki dalam asa 365 anak tangga berikut,
menuju pintu 49 dalam Ridho Ilahi


(Sebuah Perenungan Diri di Usia 48 - Samarinda, 6 Juni 2016)


Ketika jam menunjuk angka 24.00,
aku tersentak dari lamunan,
membayangkan  48 tahun desah nafas,
di balik suka-duka dinding kehidupan,
menyusur belantara tak bertepi seizin Sang Hidup.

Aku menatap alam yang tertidur,
jiwa mengembara,
menembus pekatnya malam berselimutkan sepi,
di kala awan hitam menghalang senyum sang rembulan,
di balik mega berarak mengusik kemilau bintang gemintang.

Aku berlari untuk membangunkan fajar,
terus berlari hingga tersesat dalam rimba semesta.
Dan dalam ketersesatanku,
nestapa telah menguasaiku,
terbelenggu dalam kebingungan mencari jalan untuk kembali,
sedang pintu kehidupan telah hilang di belakangku.

Sejenak aku berhenti,
dengan sumbuh yang tak lagi menyentuh minyak,
kunyalakan dalam juang menerima seberkas cahaya,
agar asa untuk membangunkan fajar terus menggelora,
walau nafas tersengal oleh lelah yang tak terlukiskan.

Saat fajar menampakkan wajahnya,
aku terus melangkah dengan sisa tenaga,
mencari seorang sahabat,
berbagi kisah untuk melupakan kepenatan jiwa.
Namun aku terjebak dalam kepalsuan manusia,
ada di antara wajah lembut bernafsukan kebejatan,
bibir manis dengan senyum mengandung racun,
dan ucapan santun membalut fitnah.

Serasa jiwaku melenting jauh dari hiruk-pikuknya pesta,
sedang aku sendiri ada di antara mereka yang berpesta.
Aku terjerumus dalam alam kematian yang memisahkanku dari ketenangan bathin,
sedang aku sendiri ada di dunia orang hidup yang melupakan alam kematian.
Hatiku remuk tak berhasrat untuk dihibur oleh kidung sorgawi,
laksana sumbuh yang padam dan buluh terkulai dalam ketiadaan harapan.

Ah......

Kiranya ini hanyalah bayangan yang hendak mengusik semangatku.
Fatamorgana kehidupan yang menipu pandangan pada realita kedirianku.
Sebab diriku bukanlah barang rongsokan,
yang dipungut dari timbunan sampah dengan bau menyengat hidung.
Dan dalam ruang yang tak terbatas oleh lautan manusia,
pastilah ada selaksa kawan yang tulus mendengar kisahku.

Tak berapa lama keheningan menjadi utuh,
kemudian aku mendengar suara lembut berbisik di telingaku.
Suara itu tak asing bagiku, walau wajah itu samar dalam pandanganku.
Aku tak mengenal rupaNya dengan sempurna,
namun Ia mengenal diriku,
dan tak ada yang tersembunyi dalam pandanganNya tentang aku.

diucapkannya kata-kata ini:

"jangan tumpahkan air mata, sayangku,
cinta yang membuka mata kita dan memperbudak hati kita,
dapat memberi kita berkah kesabaran;
berbahagialah di tengah kepenatan,
sebab hidupmu lebih berharga dari segalanya.
Pandangilah jalan berlumpur yang sudah kau lalui,
di sepanjang jalan itu ada dua pasang bekas kaki yang tertinggal.
Mungkin engkau merasa sendiri,
namun dalam ketidak-tahuanmu,
Aku hadir mendampingimu dan berjalan bersamamu.
Dan di jalan yang penuh batu padas yang menusuk dan menoreh luka,
hanya ada bekas darah dari sepasang tapak kaki yang tak terhapuskan.
Di manakah sepasang tapak kaki yang dulu tergambar di jalan berlumpur?
Sayangku,
Engkau tidak menyadari karena ketidak-tahuanmu,
sesungguhnya di sepanjang jalan yang tidak mungkin kau tapaki,
Aku mengambil resiko untuk menanggung beban tubuhmu di pundakKu.
Aku biarkan telapak kakiKu tergores,
sekali pun sakit,
Aku tidak mengeluh untuk terus menggendongmu,
hingga Aku merasa jalan berikutnya tidak akan melukai telapakmu,
dan kuturunkan engkau untuk berjalan beriringan denganKu".

SuaraNya yang lembut itu,
mampu menyatukan kekuatan dengan kesabaran di saat asaku hampir hilang.
Rasa cintaNya tumbuh dalam bathinku melawan rintangan;
menghangatkan di musim dingin,
berkembang pada musim semi,
menghembuskan angin sepoi pada musim panas,
dan menghasilkan buah pada musim gugur.

48 pintu kehidupan telah terlewatkan.
Teranyam suka-duka dalam bingkai cinta Tuhanku.
Membuat diriku berarti walau bagi yang lain tak berarti,
mulia dalam karsa walau tak dihargai oleh sesama.

Kusyukuri hidup pemberianNya,
walau dalam banyak hal:
batin ini tertindas, namun aku tidak merasa terjepit;
walau terkadang kehabisan akal, namun aku tidak pernah merasa berputus-asa;
walau harus menanggung aniaya, namun aku tidak merasa ditinggalkan sendirian;
walau dihempaskan, namun aku tidak binasa;
sebab tanganNya tiada henti menopangku,
dan Ia menganyam luka bathinku menjadi jubah kemuliaanNya.

Dan sekarang,
aku memulai lagi kehidupanku dalam tekad,
tak ada yang tertinggal hampa saat hidupku di dalamNya.
Aku mau terus belajar taat pada maksudNya,
walau jalan yang akan kutempuh lebih berat dari masa laluku.

Saatnya kulantunkan kidung ini,
untuk menyempurnakan hasrat bathinku pada cintaNya.
Biarlah waktu yang mendengar,
walau zaman berhenti, kidung pujianku terus berkumandang:

Jadilah Tuhan kehendakMu,
'ku tanah liat di tanganMu.
Bentuklah aku sesukaMu,
aku nantikan sentuhanMu.

Jadilah Tuhan kehendakMu,
sucikan hati pikiranku.
Tiliklah aku dan ujilah,
'ku di depanMu sujud sembah.

Jadilah Tuhan kehendakMu,
segala kuasa di tanganMu.
Tolonglah Tuhan aku lemah,
jamahlah aku kuatkanlah.

Jadilah Tuhan kehendakMu,
berilah RohMu kepadaku.
Kehidupanku kuasailah,
hingga trang Kristus tampak cerah.

No comments:

Post a Comment

Web gratis

Web gratis
Power of Love