Refleksi batin
22 Tahun Pelayananku Dalam Jemaat
(1994 - 2016 / Sebuah Catatan Pribadi)
Akulah sang kelana,
yang berjalan dari satu titik ke titik yang lainnya,
bercerita indahnya hidup kepada tiap orang yang kujumpai di jalan,
mengisahkan sebuah taman yang dihuni para bidadari,
yang berlari riang tanpa keluh di hati,
sedang dalam diriku,
ya.....jauh di relung hatiku,
di tempat yang tak terjangkau oleh akal yang lain,
tak terjangkau oleh tangan saudaraku,
di situlah peperangan batin berkecamuk,
bak dentum meriam memekak gendang telingaku.
Pedang-pedang masalah menjauhkan diriku dari taman kesenanganku,
sebab di pundakku ada beban yang menekan,
yang bagi mereka mungkin sebuah hal yang tak berarti,
dan tanpa perasaan menyebut diriku cengeng dan kolokan.
Namun kudiamkan batinku dan terus melangkah,
sebab beban itu tak dapat kutanggalkan,
karena ia menyatu dengan tubuhku,
walau berat,
kuhibur diriku dengan menyanyikan kidung sorgawi,
dan kutenangkan batinku dengan sabda Ilahi,
sambil tertunduk dalam kepasrahan dan kukatakan pada batinku: Tuhan bersamamu.
Aku, sang kelana yang tak lelah dalam pencarian,
walau lunglai tak berdaya terbelenggu dalam penjara batin,
kubisikkan kata-kata indah melerai duka,
kunyanyikan kidung cinta menghapus nestapa,
kutatap langit bertabur bintang mencari obat penawar lara,
namun tiada satu yang dapat memberi kesejukan bagi batinku yang merana,
lalu tertunduk dalam kepasrahan dan kukatakan pada jiwaku: Tuhanlah Perteduhanmu.
Aku, sang kelana yang terus berjalan dengan sejuta asa,
tak muluk berharap semuanya dapat kugapai,
cukuplah jika satu atau dua yang dapat kunikmati sebagai upah dari jerih payahku,
namun itu pun melahirkan iri di hati mereka dan menyebut aku manusia serakah.
Seperti pedang bermata dua mereka mencerca diriku,
kata-kata mereka menusuk sangat dalam dan menyayat jantungku.
Aku mengap-mengap bagaikan seorang yang jatuh dari ketinggian,
tenggelam di dasar samudera.
Lalu aku berniat meninggalkan mereka,
namun ke manakah aku harus lari menjauhi mereka,
agar aku dapat menenangkan diriku dalam kesunyian.
Tapi beban itu tetap ada di pundakku,
walau aku harus turun ke dunia orang mati, beban itu tetap di sana,
batinku meronta dalam tubuhku,
hingga terdengar suara:
"mengapa engkau harus mengeluh karenanya?
Cukuplah karuniaKu bagimu!
Karena kepada siapa engkau Kuutus maka engkau harus pergi;
dan kepada siapa engkau Kusuruh, engkau harus ke sana",
lalu kutertunduk dalam kepasrahan dan kukatakan pada diriku: Tuhanlah Jaminanmu.
Aku, sang kelana yang terkurung dalam kebisingan,
mencari keheningan di tengah lautan manusia,
beban di pundak memaksa aku untuk memperkatakan Kalam Ilahi,
"serukanlah kuat-kuat kedamaian yang jadi dambaan segala makhluk".
Lalu kuserukan kedamaian itu di antara iri dan dendam,
dengan menawarkan cinta sebagai wadah menerima Rahmat.
Sebab Rahmat adalah Roh yang menghidupkan,
yang olehNya kebenaran dan keadilan bertemu dan berciuman,
Sang Rahmat menumbuhkan di hati; kasih - sukacita - damai sejahtera -
kesabaran - kebaikan - kesetiaan - kelemahlembutan - penguasaan diri.
Sang Rahmat menampik : perseteruan - perselisihan - iri hati - amarah -
kepentingan diri sendiri - percideraan - roh pemecah.
Lalu kubangun mercusuar di tempat persinggahan pertamaku,
dan dari puncak menaranya kupancarkan cahaya kedamaian,
kusasar sejauh mungkin tempat-tempat yang tersembunyi,
bahkan dengan sisa nafasku, kujelajahi lorong-lorong yang ada.
Tapi apa yang kuimpikan tidak seperti itu yang kulihat,
apa yang kudamba tidak seperti itu yang nyata,
sakit hatiku dan meradang batinku karena sebagian dari mereka menolak perkataanku,
menyebut aku sang pembual dan pemimpi.
Kedudukan telah membuat mereka terlelap dalam kenikmatan dosa,
harta membutakan mata mereka untuk melihat kebenaran,
aku pun merasa sendiri di tengah kebisingan yang ada,
dan dalam kepenatan jiwa, aku berkata:
"sebagian dari mereka dahulu adalah teman karibku,
dan kupandang mereka sebagai saudara yang lahir dari satu moyang,
darah-daging Adam dan Hawa.
Namun karena Kalam Sang Rahmat, aku dipandang sebagai musuh,
dianggap sampah busuk penyebar kuman".
Kukatakan pada batinku:
"Tempat ini asing bagiku dan di sini tak layak kubangun kemahku".
Tapi aku tak bisa lari dari sini,
serasa ada tali-temali melilit tubuhku.
Aku merontah hingga hilanglah dayaku.
Haruskah aku diam dan mengikuti tingkah-langkah mereka?
Atau apakah mungkin ini yang terbaik untuk menenangkan batinku?
Sebab kulihat dalam kejahatan mereka ada juga kenikmatan?
Dan karena di sini tanah dan kediaman mereka,
haruskah aku jadi seorang penjilat,
dengan menyampaikan berita indah di telinga mereka agar aku pun merasa nyaman?
Aku tertunduk lesu dan Sang Rahmat membisikkan kata:
Tenanglah....Aku ini,
Jangan takut. Sebab Jerih payahmu tidak sia-sia.
Kualihkan pandanganku kepada kaum terpinggirkan,
tergerak batinku oleh belas kasihan,
terlahir dalam sanubariku kerinduan untuk merangkul,
menjamu mereka seperti Tuhanku memberi makan 5000 orang.
Sungguh, aku bagai punguk yang merindukan bulan,
berhasrat memeluk bumi, apa daya tangan tak sampai.
Tubuhku gemetar sebab aku juga bagian dari mereka,
yang tiap hari menadahkan tangan berharap pengasihan si kaya.
Dapakah aku memuaskan hasrat mereka dengan bersedekah,
sedang aku sendiri terhimpit oleh kemiskinanku?
Haruskah aku membiarkan mereka menangis, karena aku juga menangis oleh kekuranganku?
Haruskah aku berkata; terimalah nasibmu, sedang aku sendiri menolak takdirku?
Haruskah aku bungkam dan tidak mau peduli lagi dengan keadaan ini?
Aku tak sadarkan diri lalu menghakimi diriku sendiri.
Sungguh betapa bodohnya aku,
menawarkan kenikmatan sorga di tengah kemiskinan dan kelaparan,
memberitakan masa depan di tengah ketiadaan harapan.
Tiba-tiba Hikmat memberi jalan di benakku,
bahwa hidup bukanlah suratan takdir,
kelaparan dan kemiskinan bukanlah Qadar dari sang nasib.
Semua itu dikandung oleh kemalasan, dan terlahir oleh sikap masa-bodoh.
Hikmat menunjukkan solusi untuk memerangi keadaan,
dengan menumbuhkan kesadaran bahwa aku memiliki dua kaki untuk melangkah,
dua tangan untuk bekerja dan dua mata untuk melihat.
Jika aku berharap hidup mereka berubah, maka hal itu harus kumulai dari diriku sendiri.
Betapa bodohnya aku selama ini,
dengan membiarkan tiap jengkal tanah ditumbuhi rumput liar, onak dan duri,
dan kujadikan pekaranganku menjadi lahan tidur.
Aku pun tersentak dari mimpiku,
kuambil sabit dan kutebas rumput dan onak duri itu,
kuayunkan cangkul mengikuti irama nafasku dan kubuat bedengan hingga tapal batas tenagaku.
Berpeluh aku menyingkirkan bebatuan yang ada,
tak peduli terik mentari membakar tubuh demi menggapai harapan.
Kusemai di atas bedeng itu berbagai tanaman,
hingga tiba masa aku memetik hasil dari jerih lelahku.
Dan tak kusadari,
begitu banyak mata yang menyaksikan tingkah langkahku,
terusik oleh kelakuanku dan menganggap sebagai kegilaan baru,
tapi banyak hati yang tergerak dengan kegilaan itu,
lalu bangkit dan berlaku sama dengan diriku.
Dari puncak menara suar di persinggahan pertamaku,
Kunyanyikan kidung ini:
"Tiap tebasan sabit adalah perang melawan takdir,
cangkul berayun menghantam bumi adalah harapan untuk tumbuhnya kehidupan baru,
peluh yang jatuh membasahi tiap jengkal tanah adalah doa demi perubahan,
airmata yang mengalir di celah bedeng adalah nyanyian awal sebuah kemenangan,
benih yang ditabur dengan langkah gontai berbungkuk badan adalah gerbang sukacita,
dan guratan kasar di tangan adalah titian menggapai bahagia"
Lalu kususuri jalan yang sudah kulalui,
kucari jejak tapak kakiku namun tak kujumpa lagi,
aku hanyut dalam keheningan yang kuciptakan,
berupaya menganyam sejarah dalam untaian kata indah,
penawar hati duka, menyembuhkan lara batinku,
karena sang pencemooh mencampakkan diriku di masa lalu,
menggali lubang kehancuran dalam kebengisan yang mematikan semangatku.
Asaku bangkit untuk menuntaskan dendamku,
Amarah membara dalam benciku untuk melampiaskan kesumat,
tapi jejak yang kucari tak kutemu jua,
hingga teringat aku pada sabdaNya:
"yang lalu sudah berlalu, yang baru sudah datang".
Aku pun malu dengan diriku,
kusesali kebaradaan dalam lakuku,
dan kubersimpuh di altarNya dengan kedua telapak menutup wajah,
hingga kurasakan sentuhanNya dengan lembut berbisik kata:
"engkau telah berlaku bijak, memberitakan InjilKu dalam lakumu. Bangkitlah dan teruskanlah perziarahan di persinggahan pertamamu".
Aku sang kelana,
yang terus berjalan dalam kesendirian dan kepasrahan,
hingga Sang Khalik menjawab kehampaan batinku,
kutemukan dia,
sang bidadari pelipur laraku,
terbangun mahligai cinta di relung batinku,
menghiasi langit-langit kemah perteduhan tubuhku,
berbuah manis dengan kelahiran putra-putra harapan,
hingga awan pekat kebencian dan dendamku tenggelam dalam canda mereka.
Dan kini kukatakan pada diriku:
"engkau tak sendiri lagi!".
Hikmat telah mengajariku arti kehidupan,
di tiap luka batinku tersimpan mutiara sorgawi
Kini berbalutkan kasih dalam karsa kususuri lorong kehidupan,
berbagi canda di kala suka,
berpeluk dalam tangis di kala duka,
berpasrah dalam iman merajut cita,
hingga berakhir perziarahan di persinggahan pertamaku,
senyum kebahagian menghiasi batinku,
dan jiwaku berseru:
"Trima kasih Tuhan untuk segala rahmatMu,
karena ridhoMu kutiba pada gerbang akhir persinggahan ziarah pertamaku.
Kusyukuri kasihMu:
bagi diriku - bagi keluargaku - bagi lawan dan kawan yang kujumpai dalam perziarahanku.
Sungguh, segalanya jadi indah pada waktunya".
Bagai iringan para musafir,
berjalan menyusuri gurun, menembus gersangnya padang,
kuteruskan perziarahanku hingga tiba di persinggahan baru.
Sebuah bukit tengah kota menghadap lautan lepas.
Nyanyian sang camar terdengar memecah gemuruh ombak.
Kebisingan kota tak menghalangi murai dan walet melantunkan nyanyian alam.
Dan aku berkata pada diriku:
"adakah ini tempat yang baik untuk mendirikan kemahku di antara bait-bait megah,
yang dengan menara menggapai langit,
membiaskan cahya lembayung sang mentari di kala senja,
dan dari atas puncaknya terdengar suara adzan,
memanggil dan mengantar para pesholat melantunkan shalawat nabi".
Akulah sang kelana,
di persinggahan keduaku,
kubangun baitNya di antara menara-menara gading.
Kutuntaskan semua semampu kuat yang kumiliki.
Ada kepuasan memandang karya dari atas puncak bukit,
laksana Bait di Yerusalem terlihat dari Mount Olive.
Di situ para pelancong datang berteduh,
di bawah pohon yang rindang mereka melepas lelah.
Namun hati menuduhku berpuas diri dengan benda yang mati,
sebuah prestasi yang tiada arti di pemandangan Rajaku.
Sebab di antara Bait itu hiduplah mereka yang terlunta-lunta,
di antara lorong-lorongnya terdengar tangisan pilu anak jalanan menahan lapar.
Aku tergerak jumpa mereka dalam kemiskinan,
kelaparan,
kehausan,
kedinginan karena ketelanjangan.
Kupandang gubuk mereka dengan sebuah harapan terbangunnya Taj Mahal,
menyapa lembut mengulur tangan dengan bersambut dekapan mesra.
Aku sang kelana,
yang belajar membiasakan diri dengan keadaan.
Berceloteh tentang sang camar yang bermain di antara deru gelombang,
dan walet dengan riuhnya memecah kebisingan kota.
Aku sang kelana terus berjalan,
Sambil mengisap sebatang rokok dan berbagi kisah,
ada canda-tawa lepas di sudut kota bersama anak jalanan,
dengan senyum simpul kujalin tali-temali persahabatan dengan preman pasar,
dan tembok sungkan kuruntuhkan sambil duduk menengak segelas tuak di warung pojok.
Aku merasa bahwa mereka telah menjadi bagian dari kehidupan baruku,
tanpa menyembunyikan identitasku, mereka tak malu dengan tingkahku.
Di trotoar jalan kami bernyanyi tentang lagu kehidupan,
menggelar tikar lusuh di emperan toko sambil bermain domino.
Sebungkus nasi campur dimakan bersama,
walau seribu mata memandang dengan rasa jijik sambil membuang ludah.
Kurasakan dalam diriku masa di kala Tuhanku duduk bersama para pendosa,
berbagi canda dengan para pemungut cukai dan preman kampung,
menyampaikan kisah tentang sorga kepada para pelacur,
dan dengan kelembutan, dirangkulnya anak-anak jalanan.
TempatNya bukanlah di dalam gedung yang terbangun dari batu-batu pualam,
duduknya bukan di kursi empuk layaknya para pemimpin yang haus kekuasaan.
TempatNya adalah gubuk-gubuk kumuh berdinding kardus,
duduk di emperan jalan sambil bercerita tentang kerajaan damai.
Tuhanku tidak disambut laksana raja dengan jamuan besar kerajaan,
tidak di hotel,
tidak di bar dengan dentuman musik memekak telinga,
tidak pula di restoran china dengan pelayan yang bahenol.
Tempatnya hanyalah di warung pojok,
dengan senyum penuh damai,
dinikmatiNya nasi bungkus dengan sambal teri dan segelas air mineral.
Ia berbagi kasih bagi mereka yang lapar,
dan berempati dengan mereka yang haus,
melucuti jubahNya untuk membalut tubuh yang menggigil karena bertelanjang dada,
walau Ia sendiri harus menahan lapar dan haus,
dan jubah itu lambang kebesaranNya tertanggalkan hingga Ia dihinakan orang.
Sebagaimana Tuhanku di tolak oleh kaum Farisi dan Ahli-ahli Taurat,
demikian pula dengan diriku oleh jemaah yang merasa diri bersih dari kenajisan.
Aku dicibir, dicela dan difitnah.
Dipikiran mereka,
aku harus seperti seorang malaikat,
berpakaian putih berbalut cahaya dengan tongkat Harun di tangan.
Suara mereka mengemuruh bak guruh di kala langit berselimutkan awan hitam.
Dengan mata melotot menantang beradu otot,
sambil mejulurkan jari telunjuk di jidatku mengumpat laknat.
Kata-kata mereka mengiang di telingaku:
"Tak pantas bagimu ada di pinggir jalan, tempatmu di ruang kudus!
Tak layak berada di emperan toko berteman para gelandang dan preman pasar,
tempatmu adalah di mimbar dengan toga hitam dan kitab suci di tangan!
Aku pun tertunduk lesuh,
badanku bergetar lalu kaku dan tak dapat kugerakkan lagi.
Jiwaku merontak dalam tubuhku, merana tulang-tulangku karena sakit di batinku.
Aku memandang langit-langit sambil menyampaikan keluhku:
"Haruskah aku melawan panggilan nuraniku?
Tidakkah untuk mereka yang terpinggirkan, berita gembira harus disampaikan?
Haruskah aku menyenangkan hati mereka yang merasa diri suci,
dengan memutar balik fakta tentang panggilan sorgawi bagi kaum papa,
lalu menjual jabatan hanya karena seonggok uang?
Haruskan aku berbohong pada Rajaku,
bahwa aku telah menjalankan perintahNya,
berkoar-koar dari atas podium tentang kenikmatan dan kemuliaan kekal,
tapi semua itu hanya untuk memuaskan telinga mereka yang merasa diri suci?
Sedang di pinggir jalanan,
di persimpangan,
di emperan toko,
serta di lorong-lorong yang pengap, gelap dan kumuh,
di mana gubuk-gubuk berdinding rapuh terbangun di antara tumpukan sampah;
ada begitu banyak tangan bertadah mengharap pengasihan!
Tidakkah mereka itu adalah sahabat-sahabat Rajaku yang harus kukasihi?
Tidakkah aku harus membuka pintu hati ini agar mereka mendapat ruang dalam sanubariku?
Tidakkah Dia menyuruhku pergi menyusuri lorong-lorong itu,
membawa para fakir yang terlunta datang merasakan jamuan Rajaku?"
Aku tersungkur dalam kehampaan,
terpuruk dalam kesendirian memikul beban batin.
Mereka itu kawanku,
yang dengan sejuta sanjungan telah memuji kerjaku karena bait itu.
Mereka itu sahabatku,
kini memandang aku bagai lawan yang harus disingkirkan.
Di depan mataku mereka bertutur santun,
namun dari belakang mereka menusuk aku dengan kegeraman,
bagai harimau betina yang kehilangan anak-anaknya,
menangkap diriku dan mencabik-cabik tubuhku.
Aku mengerang bagai perempuan yang sakit bersalin,
kusampaikan keluhku,
kutumpahkan kekesalanku:
"Janganlah sembunyikan wajahMu kepada hambaMu,
sebab aku tersesak;
segeralah menjawab aku!
Datanglah kepadaku,
tebuslah aku,
sebab aku telah menjadi tawanan musuhku,
terkurung dalam sangkar berbalutkan emas,
terbelenggu dalam istana bertabur zambrut.
Engkau mengenal celaku, maluku dan nodaku;
semua lawanku ada di hadapanMu.
Cela itu telah mematahkan batinku,
dan aku terputus dari asa;
aku menantikan belas kasihan tapi semua jadi sia-sia,
mengharapkan datangnya para penghibur tetapi tidak ada yang datang.
Mereka memberi aku makan racun,
dan pada waktu aku haus,
mereka memberi aku minum anggur asam dan menabur ipuh dalamnya".
Ah.....
hendaknya kekesalan hatiku ditimbang,
dan kemalanganku ditaruh di atas neraca!
Maka beratnya akan melebihi pasir yang terhampar di pantai LumpuE,
dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan pecahan karang di pantai Suppa.
Aku merasa anak panah dari yang Mahakuasa tertancap ditubuhku,
dan racunnya dihisap oleh jiwaku;
kedahsyatan Allah seperti pasukan musuh melawan aku.
Ah......
kiranya terkabul permintaanku,
dan Yang Mahakudus memberi apa yang kuharapkan.
Kiranya Rajaku berkenan meremukkan aku,
kiranya Ia melepas tanganNya dan menghabisi nyawaku.
Bukankah tidak ada lagi pertolongan bagiku,
dan keselamatan menjauh dari padaku.
Karena sakit batinku dan meradang tulang-tulangku,
tergesa-gesalah perkataanku,
melesat jauh bagai meteor jatuh menghantam bumi.
Lalu aku terjerat dalam tingkah langkah mereka,
menebar laknat menaburkan dendam.
Diriku turut dalam permainan kata-kata mereka,
menyanyikan syair berikhtiarkan kutuk:
"Biarlah jamuan yang di depan mereka menjadi jerat,
dan selamatan mereka menjadi perangkap.
Biarlah mata mereka menjadi gelap,
sehingga mereka tidak melihat;
buatlah pinggang mereka goyah senantiasa!
Tumpahkanlah amarahMu ke atas mereka,
dan biarlah murkaMu yang menyala-nyala menimpa mereka.
Biarlah perkemahan mereka menjadi sunyi,
dan biarlah kemah-kemah mereka tidak ada penghuninya.
Tambahkanlah salah kepada salah mereka,
dan jangan sampai Engkau membenarkan mereka.
Biarlah mereka dihapus dari kitab kehidupan,
janganlah nama mereka tercatat bersama-sama dengan aku dalam buku Al-Hayat".
Aku tak sadarkan diri.
Mimpi membawa aku menyusuri via dolorosa,
hingga kaki ini berjejak di Golguta.
Kupandang Rajaku tergantung di sana,
dalam diam disambutNya cambuk murka Bapa,
dijalaninya derita dengan kelembutan hati,
tiada ratap pun tangisan.
Di tengah keterpurukanNya,
Rajaku tersenyum memandang diriku,
Dia berkata:
"Deritamu belum seberapa di bandingkan deritaKu,
dan kesakitanmu belum separah kesakitan yang Kutanggung karena dosa mereka".
Lalu Rajaku mengarahkan pandanganNya ke sorga,
dengan suara bergetar dilantunkannya sepenggal bait nyanyian Kasih:
"Bapa...ampunilah mereka, sebab mereka tiada tahu yang diperbuatnya".
Lalu Rajaku memandangiku lagi,
dengan senyuman ia berkata padaku:
"Pergilah....bagikan kisah ini kepada semua orang.
Jangan lagi takut,
sebab Aku menyertaimu hingga kesudahan zaman.
Siapa yang memberkati engkau akan mendapat berkat,
siapa yang mengutuki engkau akan kena kutuk".
Aku sang kelana,
kembali ke kemah,
menganyam derita di antara cerita indah,
belajar berpasrah diri di tengah gelombang kemelut.
Rajaku menghibur batinku dengan kehadiran putri belahan jiwa.
Kutimang dalam nyanyian sorga berharap hari esok berganti ceria.
Hingga tiba saat yang tidak kudambahkan,
di kala kekasih hatiku terkapar,
teman hidup seperjalanan menyusuri gurun yang penuh derita terbaring lemah.
Berlinang airmata kupandangi tubuhnya yang sekarat,
jerat penyakit membelenggu raganya hingga tiada daya walau bertutur sapa.
Kutengadah langit-langit kemahku,
batinku berteriak menyebut namaNya.
Kutuntut Rajaku karena terpahan derita ini,
kubela sendiri perkaraku tanpa berharap simpati dari yang lain.
Ah....
kutenangkan batinku dengan kata-kata Rajaku,
bahwa derita ini belum sebanding derita yang ditanggungNya.
Kupasrahkan tubuhku dalam rancanganNya,
kutaklukkan pikiranku untuk menyelami pikiranNya
biarlah kehendakMu yang terjadi dan janganlah kehendakku.
Dan akhirnya Rajaku memberi jawab,
dengan kekuatan RohNya menopang aku untuk terus melangkah.
DipulihkanNya kekasihku dan dipersiapkannya diriku untuk berangkat,
menyeberangi lautan luas menjawab panggilan,
memulai hidup dan mendirikan kemah dipersinggahan ketigaku.
Aku sang kelana,
memikul beban dengan segala asa hidup bahagia.
Terlintas dibenakku keindahan hidup di persinggahan ketigaku.
Sebab menurut cerita orang,
inilah tempat yang subur bagai lembah di Sinear,
dialiri seribu anak sungai membawa humus dari hulu hingga ke ilir,
memberi hidup bagi berlaksa pohon di belantara Borneo,
di atas dahan-dahannya yang rindang bertenggerlah burung enggang,
menjadi rumah yang damai bagi berjuta satwa liar.
Dasar samuderanya menyimpan berjuta-juta plankton,
mengundang para jutawan mengais untung.
Di bagian yang dalam, di perut buminya,
tersimpan emas hitam penggoda kaum serakah,
mengundang kedatangan mesin pencakar bumi,
merampas warisan masa lalu bagi anak-cucu Adam.
Ketika kaki berpijak di labuhan Semayang,
mata terkesimah memandang menara bersembur nyala sang agni.
Berderet kilang dengan pipa berkelak-kelok,
berhiaskan hutan kota nan hijau membungkus ratusan bukit di hamparan tanah pasir.
Keramahan masyarakatnya dengan bahasa yang santun,
mengundang rasa damai di hati mengobati luka batinku.
Aku baru tersadar dari lamunanku ketika mendengar kata orang,
bahwa di sini para peziarah beradu nasib,
bertarung dengan waktu,
demi asa mengubah hidup jauh di tanah kelahiran.
Bumi yang kaya ini mengundang para pencari harta karun,
hingga malam tak dapat memaksa mata terkatup sampai pagi bersambut mentari.
Serasa tujuan perziarahan adalah harta dan kekayaan,
dan membangun istana dari batu manikam yang dindingnya bersalutkan emas.
Diriku hanyut dalam kesunyian di tengah lalu lalangnya buruh pelabuhan,
dan kubertanya pada batinku:
"Adakah diri ini bagian dari mereka,
yang hanya menilai kebahagiaan dari sisi ketercukupan finansial?
yang bertutur santun dibalut senyum simpul,
namun di dasar nurani tersimpan nafsu keserakahan.
Ataukah aku tetap jadi seorang kelana,
yang berjalan dari persinggahan yang satu ke persinggahan yang lainnya,
menoreh karya meninggalkan jejak hingga hilang tiada berbekas tertelan masa.
Sebab ini yang kuterima:
Nama tak dikenal dan prestasi dilupakan.
Tinggallah kata-kata fitnah yang melemahkan ragaku?"
Inilah yang kulihat dalam pandangan sesaat,
Ternyata hidup diarahkan pada kerja untuk menumpuk harta,
tanpa sadar bahwa hari esok akan datang,
memanggil pulang tubuh ini dalam ketelanjangan.
Aku sang kelana,
yang terus berjalan dengan sejuta tanya di hati.
Hingga tiba di puncak bukit untuk menancapkan kemahku dipersinggahan ketiga.
Aku pun tersadar bahwa di sini tak lebih dari yang sudah kulalui.
Begitu banyak tangan yang terangkat memelas kasihan dari si kaya.
Sedang mereka hidup di gubuk yang berdinding rapuh dan yang bukan dibuat tangan mereka,
berjalan di antara apartemen mewah di celah istana gading kaum berjois,
berharap rezeki tiba untuk membayar ongkos tempat perteduhan di esok hari,
walau perut menahan lapar dan si kecil menangis meminta segelas susu.
Ah........
Tempat ini terlalu kejam bagi mereka yang bodoh,
dan menjadi neraka bagi kaum pemalas.
Tapi haruskah mereka binasa dalam keserakahan si kaya yang tak berempati?
Di manakah para pejuang kaum papa?
Ke manakah perginya para Imam dan Mubaligh?
Mengapa para peziarah kudus baitullah yang bersorban putih bungkam?
Ada apa dengan suara kenabian Pendeta dan Pedanda hingga tak terdengar?
Dan mengapa para Bhiksu yang mengajarkan damai tetap duduk dalam diam?
Adakah kedudukan suci tergadai juga oleh uang dan kenikmatan,
lalu kebenaran kalian bungkam demi seonggok emas di altar sucimu?
Padahal tangisan dan jeritan mereka terdengar jelas,
dan wajah lesuh menahan lapar ada di depan mata kalian.
Wahai penguasa yang menjalankan kendali kota!
Mengapa pedang keadilan di tanganmu patah di hadapan pengusaha serakah,
hingga rahim ibu pertiwi tergerus habis menyisahkan telaga duka.
Anak-anak negeriku berlari di endapan lumpur kematian,
dan masa depan anak bangsaku hancur oleh nafsu mereka yang tak terpuaskan.
Wahai kaum penguasa
Kuhargai kedudukanmu sebagai wakil Rajaku di bumi.
Berharap diriku padamu;
bukakanlah pintu keadilan bagi kaum termarginalkan,
berilah rasa damai di hati mereka,
walau kecil mereka tapi berharga di mata Rajaku,
walau bodoh mereka tapi mulia di pemandangan Tuhanku.
Aku sang kelana yang terus berjalan mengitari kota.
hingga terkejut batin ini tersadar dari mimpi.
Saudaraku yang bodoh dan terbelenggu dalam kemiskinannya,
tak sadar akan dirinya dan merasa nyaman dalam keadaannya.
Di benak mereka, ini adalah suratan Ilahi,
untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak.
Inilah nasib yang tak dapat diubahkan,
mengapa harus sedih dalam kepapaan,
dan menggerutu dalam kemelaratan?
Mengapa harus menyiksa diri karena ketiadaan,
dan menyesah tubuh karena kegagalan?
Yang terbaik adalah,
jalani hidup dalam kepasrahan.
Inilah kemenangan kami yang berteduh di kemah berdinding rapuh,
mengapa kalian terusik dengan keadaan kami,
sedang kami sendiri tidak merasa bahwa kami miskin dan sengsara.
Astafirullah....
Adakah aku ini bodoh,
ataukah mereka yang bodoh karena tak sadar bahwa mereka itu bodoh,
ataukah juga pura-pura bodoh agar aku terjebak dalam kebodohan,
dan dengan itu aku akan diperlakukan seperti orang bodoh yang mudah dibodohi.
Di sinilah aku memulai pengembaraanku dengan sejuta tanya di hati,
menyusuri lorong-lorong pekat di relung jiwa,
membuka pintu sadar mereka agar bangkit dari keterpurukannya.
Dan mungkin inilah yang disebut kebodohan,
menyusahkan diri di di jalan yang susah dengan menolak jalan yang bertabur permata.
Sambil itu.....
dan ini juga adalah kebodohan,
kubangunlah dengan dan dalam pikiranku sebuah Bait Kudus,
berharap dalam mimpi sebuah istana megah berlantaikan marmer,
sebab tempat kediaman Rajaku yang ada sekarang,
hanya sebuah gubuk tua termakan usia dan rapuh.
Dan di lorongnya yang sumpek dan sempit,
bertaburan kotoran binatang menebar bau busuk menyengat hidung.
Inilah hal yang tak terlupakan bagiku,
karena kebodohanku hingga terbawa dalam sanubariku,
kutermenung memandangi pelataran BaitNya yang kumuh,
walau di tengah kota yang jalan-jalannya tertata bersih dan rapi,
hingga aku diajak sahabatku untuk menenangkan batin,
untuk mengalami perziarahan Para Suci di Tanah Perjanjian.
Dan sekembalinya aku dari perjalanan ziarah rohaniku,
merentas jejak-jejak para nabi dan rasul di kota tua:
Mesir - St. Catharine/Mount Sinai - Yerusalem - Yordania,
kuwujudkan mimpiku walau harus berjibaku dengan keringat dan airmata.
Kutuntaskan karyaku dan kurampungkan tugasku,
menumbuhkan kesadaran dalam batin umat,
bahwa di jalan Tuhan ada masa depan.
Kubuktikan bahwa kemustahilan tiada berdaya di depan kaum beriman,
dengan membangun Bait Rajaku di tengah penolakan.
Dalam hitungan bulan kurampungkan kerjaku,
semua mata melihat hingga tumbuh kesadaran itu:
"engkau dapat berkata pada pohon itu;
terbantunlah dan tercampaklah ke dalam laut,
maka ia akan mengikuti perkataanmu".
Ketika aku hendak menikmati perbuatan Tuhan dalam karyaku;
terdengar suara Rajaku;
"engkau harus berangkat dan tinggalkan tempat ini!".
Bersama dengan kekasih hidupku, teman seperjalanan dalam derita dan ceria,
bak tersambar petir,
bergumam dalam hati;
"mengapa harus pergi,
berikan kami waktu menikmati kegembiraan ini?".
Rajaku memberi jawab sambil memberi tepukan lembut di pundakku;
"Masih banyak yang harus kau kerjakan,
masih banyak yang menantikan karya dan karsamu.
Bukankah engkau hanyalah seorang kelana?
Tidakkah engkau sudah Aku tentukan untuk berjalan di jalanKu!
Ketempat mana Aku menyuruh pergi; haruslah kau lakukan,
dan kepada siapa engkau Kuutus; haruslah engkau pergi".
Aku dan kekasihku saling berpandangan,
pasrah para keputusan Sang Ilahi,
lalu berlutut di hadapan Sang Raja dan berucap kata:
"Inilah aku, utuslah aku!.
Biarlah kehendakMu jadi dan bukan kehendakku; ya Tuhan, ya Rajaku".
Dengan bergegas membenahi dan merapikan kemahku,
walau berat di hati kuteruskan perjalanan kembaraku.
Sekali pun hanya setelepap jaraknya dari persinggahan ketigaku ke tempat yang kutuju,
rasanya tempat itu berada jauh di ujung bumi.
Seandainya jarum jam dapat kuputar kembali,
akan kuperlambat tangan dan kaki ini melayaniNya,
agar tanganNya menekan aku,
tapi aku dapat menikmati hidupku di persinggahan ketiga dalam waktu yang panjang.
Ah...
ternyata dalam jiwaku tumbuh benih karakter para budak Ibrani.
Yang tak mampu menantang gelombang hingga terbuai mimpi indah kala di Mesir,
menghadapi periuk dengan sup kacang merah mengusir lapar,
sekali pun jadi budak namun perut terisi penuh.
Martabat dijual karena semangkuk bakso,
harga diri tergadai oleh sepiring nasi dengan lauk telor mata sapi.
Mata silau karena selembar kertas halus bergambar sang proklamator,
dengan mengumbar puja-puji pada sang pemberi walau kelakuan mereka bejat.
Astaga....
Sungguh bodohnya aku hingga terbelenggu dalam pikiran budak,
yang mudah memutar balik fakta karena uang dan kedudukan.
Lalu kutenangkan batinku,
kukatakan pada jiwaku,
di tempat persinggahanku yang ketiga,
ada banyak teman yang bersimpatik dengan perjuanganku,
sebuah bakhti untuk memanusiakan manusia tanpa membawa panji-panji.
Karena itu, hai para sahabatku!
Kutitipkan tempatku dan umat Tuhanku di kelembutan hati kalian.
Ingatkanlah mereka dalam ketulusan lakumu dan dorong mereka dalam keikhlasan kerjamu.
Katakanlah pada mereka bahwa hidup bukanlah harta,
tapi kelakuan yang memancarkan kemulian sorga.
Kakiku berjejak di Kota Tepian dengan sejuta asa yang baru,
menyusur tepi Mahakam dengan hasrat membara.
Aku masih asing di sini,
yang kuketahui barulah sepenggal,
sebuah kota tempat para pembesar membangun istananya.
dan tempat kaum cendikia berdebat akan arti kehidupan,
hingga lupa bahwa hidup bukanlah kata yang harus diributkan,
tetapi realita persimpangan jalan antara kehendak sorga dan bumi.
Di sini perjalanan dari perziarahanku hampir berakhir,
dan takut menuturkan sebuah kisah sebelum menutup perjalanan kembaraku.
Cukuplah aku katakan bahwa aku masih ada di sini.
Cukuplah kuucapkan bahwa aku sedang berbuat di sini.
Dan kini kupasrahkan diriku ditempah oleh waktu,
di mana tangan Rajaku menuntun aku melewati kerasnya gurun yang akan kulalui.
Aku sang kelana,
kutenangkan batinku dengan Kalam yang keluar dari mulut Tuhanku:
"Seorang pun tidak akan dapat bertahan menghadapi engkau,
seperti Aku menyertai Musa,
demikianlah Aku akan menyertai engkau;
Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.
Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh,
bertindaklah hati-hati,
jangan menyimpang ke kanan atau ke kiri,
supaya engkau beruntung ke mana pun engkau pergi.
Janganlah kecut dan tawar hati,
sebab Aku menyertai engkau ke mana pun engkau pergi".
Oh Tuhanku...
Aku berusaha bungkam menyembunyikan kisahku,
namun nuraniku menghukum sekujur tubuhku,
serasa hilang dayaku karena bibirku terkatup.
Karenanya kumohon...
Izinkanlah aku bertutur tentang hari-hariku,
berikan waktu walau sejenak mengisahkan jalan hidupku,
agar jiwaku tenang menanti ajal yang Kau tentukan bagi sekalian makhluk.
Sesungguhnya terbesik kebanggaan ketika aku di sini,
sebab mereka yang kutemui menyanjung diri karena tempat diamnya,
sebuah Kanaan yang konon memberi harapan hidup yang lebih baik,
dan sangkaku,
batinku akan bertepik sorak karena tempat tinggal yang nyaman menurut gambaran mereka.
Tapi.....
Ketika hari berganti bulan berlalu,
bulan pun berlalu berganti tahun.
Hari-hariku di persinggahan keempat penuh dengan perdebatan,
beradu kata hanya karena wacana,
menguras energi tak kunjung membawa hasil,
hingga batinku berbisik:
"Bukankah tempat ini bertabur kaum berhikmat?
Yang olehnya, kaum muda dari segala sudut Borneo menimbah ilmu?
Bukankah di sini adalah istana para raja?
Tempat kaum terhormat menanti puja-puji dari segala negeri?
Bukankah di sini para pengusaha menikmati tidur berkasurkan uang?
memberi kesempatan berbagi kasih bagi kaum yang tersisih?".
Tapi.....
Kulihat mereka yang merasa diri berhikmat,
ternyata lebih bodoh dari seekor keledai.
Sebab sebodoh-bodohnya keledai,
ia ingat tempat mana kakinya terperosok lalu menghindar dari situ.
Kulihat mereka yang bergelimang harta dan merasa diri seorang raja,
bertingkah langkah bak seorang budak,
memelas kasih dari yang lain demi sebuah pengakuan,
menuntut pamrih demi legitimasi sebuah nama besar.
Ah......
Aku sudah terlampau lelah di sini,
dan tak terasa bahwa usiaku semakin bertambah.
Tersadar aku bahwa kekuatanku pun telah tergerus oleh perziarahan yang tak berakhir,
hingga masa tugas mendekati puncak,
menanti suara Rajaku,
kemana aku akan dituntunNya.
Ya Tuhan, ya Rajaku....
Hanya ini doa dan harapanku,
walau sejuta rinduku namun tak muluk berharap semua tergapai.
Tak ada yang lain yang kuingini selain Engkau,
serta hanya satu yang kuimpikan;
"semoga aku dapat keluar dari sini dengan kepala tegak,
walau raga ini lunglai memikul beban di pundak".
(Sebuah Catatan Sejarah Pelayanan Dalam Gereja Toraja)
Menyelesaikan pendidikan teologia atas rekomendasi Gereja Toraja di STT INTIM Makassar, 30 Mei 1994.
Mengajukan surat Lamaran untuk menjadi pelayan dalam Gereja Toraja tgl. 9 Juni 1994.
Ditawarkan untuk menjadi Proponen di Jemaat Pangli dan Jemaat Buntu Kendek Klasis Sasi (Wilayah II Rantepao) pada bulan Juli 1994 namun tidak ditanggapi (ditolak).
Ditawarkan untuk menjadi Proponen di Jemaat Pangkajene Sidenreng, Klasis Parepare (Wilayah IV Makassar) pada bulan Agustus 1994.
Jawaban penerimaan dari Jemaat Pangkajene Sidenreng tgl. 4 September 1994.
Surat Keputusan Pengangkatan sebagai Proponen dari BPS Gereja Toraja tgl. 15 September 1994.
Pemeriksaan Ajaran dan Perilaku dilaksanakan pada tgl. 20 April 1996.
Diurapi menjadi Pendeta Gereja Toraja yang ke-315 pada tgl. 25 Mei 1996.
Dimutasikan dari Jemaat Pangkajene Sidenreng ke Jemaat Parepare, Klasis Parepare pada tgl. 12 Januari 2002.
Dimutasikan dari Jemaat Parepare, Klasis Parepare ke Jemaat Elim Balikpapan, Klasis Kaltim Balikpapan pada tgl. 7 Januari 2007.
Setelah Jemaat Elim dimekarkan pada 23 Juni 2008 menjadi dua jemaat (yakni Jemaat Elim dan Jemaat Eben Haezer), maka terhitung 1 Oktober 2008 melayani di Jemaat Eben Haezer Balikpapan.
Dimutasikan dari Jemaat Eben Haezer Balikpapan, Klasis Kaltim Balikpapan ke Jemaat Samarinda Klasis Kaltimteng tgl. 8 Januari 2012.
Diteguhkan sebagai Pendeta Jemaat di Jemaat Samarinda Klasis Kaltimteng tgl. 15 Januari 2012.
Masih melayani di Jemaat Samarinda sampai tulisan ini dipublish (November 2016).
(Catatan Berkeluarga)
Menikah dengan Hermiaty Damma, STh, tgl. 28 Nopember 1997.
Dikarunia 3 orang anak:
1). Hiel Ade Prasetya Delima, Lahir di Pangkajene tgl. 19 September 1998
2). Justus Chrisostomus Abdiel Delima, Lahir di Pangkajene tgl. 10 Agustus 2001.
3). Listra Avriel Delima, Lahir di Parepare tgl. 16 April 2005.
22 Tahun Pelayananku Dalam Jemaat
(1994 - 2016 / Sebuah Catatan Pribadi)
Akulah sang kelana,
yang berjalan dari satu titik ke titik yang lainnya,
bercerita indahnya hidup kepada tiap orang yang kujumpai di jalan,
mengisahkan sebuah taman yang dihuni para bidadari,
yang berlari riang tanpa keluh di hati,
sedang dalam diriku,
ya.....jauh di relung hatiku,
di tempat yang tak terjangkau oleh akal yang lain,
tak terjangkau oleh tangan saudaraku,
di situlah peperangan batin berkecamuk,
bak dentum meriam memekak gendang telingaku.
Pedang-pedang masalah menjauhkan diriku dari taman kesenanganku,
sebab di pundakku ada beban yang menekan,
yang bagi mereka mungkin sebuah hal yang tak berarti,
dan tanpa perasaan menyebut diriku cengeng dan kolokan.
Namun kudiamkan batinku dan terus melangkah,
sebab beban itu tak dapat kutanggalkan,
karena ia menyatu dengan tubuhku,
walau berat,
kuhibur diriku dengan menyanyikan kidung sorgawi,
dan kutenangkan batinku dengan sabda Ilahi,
sambil tertunduk dalam kepasrahan dan kukatakan pada batinku: Tuhan bersamamu.
Aku, sang kelana yang tak lelah dalam pencarian,
walau lunglai tak berdaya terbelenggu dalam penjara batin,
kubisikkan kata-kata indah melerai duka,
kunyanyikan kidung cinta menghapus nestapa,
kutatap langit bertabur bintang mencari obat penawar lara,
namun tiada satu yang dapat memberi kesejukan bagi batinku yang merana,
lalu tertunduk dalam kepasrahan dan kukatakan pada jiwaku: Tuhanlah Perteduhanmu.
Aku, sang kelana yang terus berjalan dengan sejuta asa,
tak muluk berharap semuanya dapat kugapai,
cukuplah jika satu atau dua yang dapat kunikmati sebagai upah dari jerih payahku,
namun itu pun melahirkan iri di hati mereka dan menyebut aku manusia serakah.
Seperti pedang bermata dua mereka mencerca diriku,
kata-kata mereka menusuk sangat dalam dan menyayat jantungku.
Aku mengap-mengap bagaikan seorang yang jatuh dari ketinggian,
tenggelam di dasar samudera.
Lalu aku berniat meninggalkan mereka,
namun ke manakah aku harus lari menjauhi mereka,
agar aku dapat menenangkan diriku dalam kesunyian.
Tapi beban itu tetap ada di pundakku,
walau aku harus turun ke dunia orang mati, beban itu tetap di sana,
batinku meronta dalam tubuhku,
hingga terdengar suara:
"mengapa engkau harus mengeluh karenanya?
Cukuplah karuniaKu bagimu!
Karena kepada siapa engkau Kuutus maka engkau harus pergi;
dan kepada siapa engkau Kusuruh, engkau harus ke sana",
lalu kutertunduk dalam kepasrahan dan kukatakan pada diriku: Tuhanlah Jaminanmu.
Aku, sang kelana yang terkurung dalam kebisingan,
mencari keheningan di tengah lautan manusia,
beban di pundak memaksa aku untuk memperkatakan Kalam Ilahi,
"serukanlah kuat-kuat kedamaian yang jadi dambaan segala makhluk".
Lalu kuserukan kedamaian itu di antara iri dan dendam,
dengan menawarkan cinta sebagai wadah menerima Rahmat.
Sebab Rahmat adalah Roh yang menghidupkan,
yang olehNya kebenaran dan keadilan bertemu dan berciuman,
Sang Rahmat menumbuhkan di hati; kasih - sukacita - damai sejahtera -
kesabaran - kebaikan - kesetiaan - kelemahlembutan - penguasaan diri.
Sang Rahmat menampik : perseteruan - perselisihan - iri hati - amarah -
kepentingan diri sendiri - percideraan - roh pemecah.
Lalu kubangun mercusuar di tempat persinggahan pertamaku,
dan dari puncak menaranya kupancarkan cahaya kedamaian,
kusasar sejauh mungkin tempat-tempat yang tersembunyi,
bahkan dengan sisa nafasku, kujelajahi lorong-lorong yang ada.
Tapi apa yang kuimpikan tidak seperti itu yang kulihat,
apa yang kudamba tidak seperti itu yang nyata,
sakit hatiku dan meradang batinku karena sebagian dari mereka menolak perkataanku,
menyebut aku sang pembual dan pemimpi.
Kedudukan telah membuat mereka terlelap dalam kenikmatan dosa,
harta membutakan mata mereka untuk melihat kebenaran,
aku pun merasa sendiri di tengah kebisingan yang ada,
dan dalam kepenatan jiwa, aku berkata:
"sebagian dari mereka dahulu adalah teman karibku,
dan kupandang mereka sebagai saudara yang lahir dari satu moyang,
darah-daging Adam dan Hawa.
Namun karena Kalam Sang Rahmat, aku dipandang sebagai musuh,
dianggap sampah busuk penyebar kuman".
Kukatakan pada batinku:
"Tempat ini asing bagiku dan di sini tak layak kubangun kemahku".
Tapi aku tak bisa lari dari sini,
serasa ada tali-temali melilit tubuhku.
Aku merontah hingga hilanglah dayaku.
Haruskah aku diam dan mengikuti tingkah-langkah mereka?
Atau apakah mungkin ini yang terbaik untuk menenangkan batinku?
Sebab kulihat dalam kejahatan mereka ada juga kenikmatan?
Dan karena di sini tanah dan kediaman mereka,
haruskah aku jadi seorang penjilat,
dengan menyampaikan berita indah di telinga mereka agar aku pun merasa nyaman?
Aku tertunduk lesu dan Sang Rahmat membisikkan kata:
Tenanglah....Aku ini,
Jangan takut. Sebab Jerih payahmu tidak sia-sia.
Kualihkan pandanganku kepada kaum terpinggirkan,
tergerak batinku oleh belas kasihan,
terlahir dalam sanubariku kerinduan untuk merangkul,
menjamu mereka seperti Tuhanku memberi makan 5000 orang.
Sungguh, aku bagai punguk yang merindukan bulan,
berhasrat memeluk bumi, apa daya tangan tak sampai.
Tubuhku gemetar sebab aku juga bagian dari mereka,
yang tiap hari menadahkan tangan berharap pengasihan si kaya.
Dapakah aku memuaskan hasrat mereka dengan bersedekah,
sedang aku sendiri terhimpit oleh kemiskinanku?
Haruskah aku membiarkan mereka menangis, karena aku juga menangis oleh kekuranganku?
Haruskah aku berkata; terimalah nasibmu, sedang aku sendiri menolak takdirku?
Haruskah aku bungkam dan tidak mau peduli lagi dengan keadaan ini?
Aku tak sadarkan diri lalu menghakimi diriku sendiri.
Sungguh betapa bodohnya aku,
menawarkan kenikmatan sorga di tengah kemiskinan dan kelaparan,
memberitakan masa depan di tengah ketiadaan harapan.
Tiba-tiba Hikmat memberi jalan di benakku,
bahwa hidup bukanlah suratan takdir,
kelaparan dan kemiskinan bukanlah Qadar dari sang nasib.
Semua itu dikandung oleh kemalasan, dan terlahir oleh sikap masa-bodoh.
Hikmat menunjukkan solusi untuk memerangi keadaan,
dengan menumbuhkan kesadaran bahwa aku memiliki dua kaki untuk melangkah,
dua tangan untuk bekerja dan dua mata untuk melihat.
Jika aku berharap hidup mereka berubah, maka hal itu harus kumulai dari diriku sendiri.
Betapa bodohnya aku selama ini,
dengan membiarkan tiap jengkal tanah ditumbuhi rumput liar, onak dan duri,
dan kujadikan pekaranganku menjadi lahan tidur.
Aku pun tersentak dari mimpiku,
kuambil sabit dan kutebas rumput dan onak duri itu,
kuayunkan cangkul mengikuti irama nafasku dan kubuat bedengan hingga tapal batas tenagaku.
Berpeluh aku menyingkirkan bebatuan yang ada,
tak peduli terik mentari membakar tubuh demi menggapai harapan.
Kusemai di atas bedeng itu berbagai tanaman,
hingga tiba masa aku memetik hasil dari jerih lelahku.
Dan tak kusadari,
begitu banyak mata yang menyaksikan tingkah langkahku,
terusik oleh kelakuanku dan menganggap sebagai kegilaan baru,
tapi banyak hati yang tergerak dengan kegilaan itu,
lalu bangkit dan berlaku sama dengan diriku.
Dari puncak menara suar di persinggahan pertamaku,
Kunyanyikan kidung ini:
"Tiap tebasan sabit adalah perang melawan takdir,
cangkul berayun menghantam bumi adalah harapan untuk tumbuhnya kehidupan baru,
peluh yang jatuh membasahi tiap jengkal tanah adalah doa demi perubahan,
airmata yang mengalir di celah bedeng adalah nyanyian awal sebuah kemenangan,
benih yang ditabur dengan langkah gontai berbungkuk badan adalah gerbang sukacita,
dan guratan kasar di tangan adalah titian menggapai bahagia"
Lalu kususuri jalan yang sudah kulalui,
kucari jejak tapak kakiku namun tak kujumpa lagi,
aku hanyut dalam keheningan yang kuciptakan,
berupaya menganyam sejarah dalam untaian kata indah,
penawar hati duka, menyembuhkan lara batinku,
karena sang pencemooh mencampakkan diriku di masa lalu,
menggali lubang kehancuran dalam kebengisan yang mematikan semangatku.
Asaku bangkit untuk menuntaskan dendamku,
Amarah membara dalam benciku untuk melampiaskan kesumat,
tapi jejak yang kucari tak kutemu jua,
hingga teringat aku pada sabdaNya:
"yang lalu sudah berlalu, yang baru sudah datang".
Aku pun malu dengan diriku,
kusesali kebaradaan dalam lakuku,
dan kubersimpuh di altarNya dengan kedua telapak menutup wajah,
hingga kurasakan sentuhanNya dengan lembut berbisik kata:
"engkau telah berlaku bijak, memberitakan InjilKu dalam lakumu. Bangkitlah dan teruskanlah perziarahan di persinggahan pertamamu".
Aku sang kelana,
yang terus berjalan dalam kesendirian dan kepasrahan,
hingga Sang Khalik menjawab kehampaan batinku,
kutemukan dia,
sang bidadari pelipur laraku,
terbangun mahligai cinta di relung batinku,
menghiasi langit-langit kemah perteduhan tubuhku,
berbuah manis dengan kelahiran putra-putra harapan,
hingga awan pekat kebencian dan dendamku tenggelam dalam canda mereka.
Dan kini kukatakan pada diriku:
"engkau tak sendiri lagi!".
Hikmat telah mengajariku arti kehidupan,
di tiap luka batinku tersimpan mutiara sorgawi
Kini berbalutkan kasih dalam karsa kususuri lorong kehidupan,
berbagi canda di kala suka,
berpeluk dalam tangis di kala duka,
berpasrah dalam iman merajut cita,
hingga berakhir perziarahan di persinggahan pertamaku,
senyum kebahagian menghiasi batinku,
dan jiwaku berseru:
"Trima kasih Tuhan untuk segala rahmatMu,
karena ridhoMu kutiba pada gerbang akhir persinggahan ziarah pertamaku.
Kusyukuri kasihMu:
bagi diriku - bagi keluargaku - bagi lawan dan kawan yang kujumpai dalam perziarahanku.
Sungguh, segalanya jadi indah pada waktunya".
Bagai iringan para musafir,
berjalan menyusuri gurun, menembus gersangnya padang,
kuteruskan perziarahanku hingga tiba di persinggahan baru.
Sebuah bukit tengah kota menghadap lautan lepas.
Nyanyian sang camar terdengar memecah gemuruh ombak.
Kebisingan kota tak menghalangi murai dan walet melantunkan nyanyian alam.
Dan aku berkata pada diriku:
"adakah ini tempat yang baik untuk mendirikan kemahku di antara bait-bait megah,
yang dengan menara menggapai langit,
membiaskan cahya lembayung sang mentari di kala senja,
dan dari atas puncaknya terdengar suara adzan,
memanggil dan mengantar para pesholat melantunkan shalawat nabi".
Akulah sang kelana,
di persinggahan keduaku,
kubangun baitNya di antara menara-menara gading.
Kutuntaskan semua semampu kuat yang kumiliki.
Ada kepuasan memandang karya dari atas puncak bukit,
laksana Bait di Yerusalem terlihat dari Mount Olive.
Di situ para pelancong datang berteduh,
di bawah pohon yang rindang mereka melepas lelah.
Namun hati menuduhku berpuas diri dengan benda yang mati,
sebuah prestasi yang tiada arti di pemandangan Rajaku.
Sebab di antara Bait itu hiduplah mereka yang terlunta-lunta,
di antara lorong-lorongnya terdengar tangisan pilu anak jalanan menahan lapar.
Aku tergerak jumpa mereka dalam kemiskinan,
kelaparan,
kehausan,
kedinginan karena ketelanjangan.
Kupandang gubuk mereka dengan sebuah harapan terbangunnya Taj Mahal,
menyapa lembut mengulur tangan dengan bersambut dekapan mesra.
Aku sang kelana,
yang belajar membiasakan diri dengan keadaan.
Berceloteh tentang sang camar yang bermain di antara deru gelombang,
dan walet dengan riuhnya memecah kebisingan kota.
Aku sang kelana terus berjalan,
Sambil mengisap sebatang rokok dan berbagi kisah,
ada canda-tawa lepas di sudut kota bersama anak jalanan,
dengan senyum simpul kujalin tali-temali persahabatan dengan preman pasar,
dan tembok sungkan kuruntuhkan sambil duduk menengak segelas tuak di warung pojok.
Aku merasa bahwa mereka telah menjadi bagian dari kehidupan baruku,
tanpa menyembunyikan identitasku, mereka tak malu dengan tingkahku.
Di trotoar jalan kami bernyanyi tentang lagu kehidupan,
menggelar tikar lusuh di emperan toko sambil bermain domino.
Sebungkus nasi campur dimakan bersama,
walau seribu mata memandang dengan rasa jijik sambil membuang ludah.
Kurasakan dalam diriku masa di kala Tuhanku duduk bersama para pendosa,
berbagi canda dengan para pemungut cukai dan preman kampung,
menyampaikan kisah tentang sorga kepada para pelacur,
dan dengan kelembutan, dirangkulnya anak-anak jalanan.
TempatNya bukanlah di dalam gedung yang terbangun dari batu-batu pualam,
duduknya bukan di kursi empuk layaknya para pemimpin yang haus kekuasaan.
TempatNya adalah gubuk-gubuk kumuh berdinding kardus,
duduk di emperan jalan sambil bercerita tentang kerajaan damai.
Tuhanku tidak disambut laksana raja dengan jamuan besar kerajaan,
tidak di hotel,
tidak di bar dengan dentuman musik memekak telinga,
tidak pula di restoran china dengan pelayan yang bahenol.
Tempatnya hanyalah di warung pojok,
dengan senyum penuh damai,
dinikmatiNya nasi bungkus dengan sambal teri dan segelas air mineral.
Ia berbagi kasih bagi mereka yang lapar,
dan berempati dengan mereka yang haus,
melucuti jubahNya untuk membalut tubuh yang menggigil karena bertelanjang dada,
walau Ia sendiri harus menahan lapar dan haus,
dan jubah itu lambang kebesaranNya tertanggalkan hingga Ia dihinakan orang.
Sebagaimana Tuhanku di tolak oleh kaum Farisi dan Ahli-ahli Taurat,
demikian pula dengan diriku oleh jemaah yang merasa diri bersih dari kenajisan.
Aku dicibir, dicela dan difitnah.
Dipikiran mereka,
aku harus seperti seorang malaikat,
berpakaian putih berbalut cahaya dengan tongkat Harun di tangan.
Suara mereka mengemuruh bak guruh di kala langit berselimutkan awan hitam.
Dengan mata melotot menantang beradu otot,
sambil mejulurkan jari telunjuk di jidatku mengumpat laknat.
Kata-kata mereka mengiang di telingaku:
"Tak pantas bagimu ada di pinggir jalan, tempatmu di ruang kudus!
Tak layak berada di emperan toko berteman para gelandang dan preman pasar,
tempatmu adalah di mimbar dengan toga hitam dan kitab suci di tangan!
Aku pun tertunduk lesuh,
badanku bergetar lalu kaku dan tak dapat kugerakkan lagi.
Jiwaku merontak dalam tubuhku, merana tulang-tulangku karena sakit di batinku.
Aku memandang langit-langit sambil menyampaikan keluhku:
"Haruskah aku melawan panggilan nuraniku?
Tidakkah untuk mereka yang terpinggirkan, berita gembira harus disampaikan?
Haruskah aku menyenangkan hati mereka yang merasa diri suci,
dengan memutar balik fakta tentang panggilan sorgawi bagi kaum papa,
lalu menjual jabatan hanya karena seonggok uang?
Haruskan aku berbohong pada Rajaku,
bahwa aku telah menjalankan perintahNya,
berkoar-koar dari atas podium tentang kenikmatan dan kemuliaan kekal,
tapi semua itu hanya untuk memuaskan telinga mereka yang merasa diri suci?
Sedang di pinggir jalanan,
di persimpangan,
di emperan toko,
serta di lorong-lorong yang pengap, gelap dan kumuh,
di mana gubuk-gubuk berdinding rapuh terbangun di antara tumpukan sampah;
ada begitu banyak tangan bertadah mengharap pengasihan!
Tidakkah mereka itu adalah sahabat-sahabat Rajaku yang harus kukasihi?
Tidakkah aku harus membuka pintu hati ini agar mereka mendapat ruang dalam sanubariku?
Tidakkah Dia menyuruhku pergi menyusuri lorong-lorong itu,
membawa para fakir yang terlunta datang merasakan jamuan Rajaku?"
Aku tersungkur dalam kehampaan,
terpuruk dalam kesendirian memikul beban batin.
Mereka itu kawanku,
yang dengan sejuta sanjungan telah memuji kerjaku karena bait itu.
Mereka itu sahabatku,
kini memandang aku bagai lawan yang harus disingkirkan.
Di depan mataku mereka bertutur santun,
namun dari belakang mereka menusuk aku dengan kegeraman,
bagai harimau betina yang kehilangan anak-anaknya,
menangkap diriku dan mencabik-cabik tubuhku.
Aku mengerang bagai perempuan yang sakit bersalin,
kusampaikan keluhku,
kutumpahkan kekesalanku:
"Janganlah sembunyikan wajahMu kepada hambaMu,
sebab aku tersesak;
segeralah menjawab aku!
Datanglah kepadaku,
tebuslah aku,
sebab aku telah menjadi tawanan musuhku,
terkurung dalam sangkar berbalutkan emas,
terbelenggu dalam istana bertabur zambrut.
Engkau mengenal celaku, maluku dan nodaku;
semua lawanku ada di hadapanMu.
Cela itu telah mematahkan batinku,
dan aku terputus dari asa;
aku menantikan belas kasihan tapi semua jadi sia-sia,
mengharapkan datangnya para penghibur tetapi tidak ada yang datang.
Mereka memberi aku makan racun,
dan pada waktu aku haus,
mereka memberi aku minum anggur asam dan menabur ipuh dalamnya".
Ah.....
hendaknya kekesalan hatiku ditimbang,
dan kemalanganku ditaruh di atas neraca!
Maka beratnya akan melebihi pasir yang terhampar di pantai LumpuE,
dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan pecahan karang di pantai Suppa.
Aku merasa anak panah dari yang Mahakuasa tertancap ditubuhku,
dan racunnya dihisap oleh jiwaku;
kedahsyatan Allah seperti pasukan musuh melawan aku.
Ah......
kiranya terkabul permintaanku,
dan Yang Mahakudus memberi apa yang kuharapkan.
Kiranya Rajaku berkenan meremukkan aku,
kiranya Ia melepas tanganNya dan menghabisi nyawaku.
Bukankah tidak ada lagi pertolongan bagiku,
dan keselamatan menjauh dari padaku.
Karena sakit batinku dan meradang tulang-tulangku,
tergesa-gesalah perkataanku,
melesat jauh bagai meteor jatuh menghantam bumi.
Lalu aku terjerat dalam tingkah langkah mereka,
menebar laknat menaburkan dendam.
Diriku turut dalam permainan kata-kata mereka,
menyanyikan syair berikhtiarkan kutuk:
"Biarlah jamuan yang di depan mereka menjadi jerat,
dan selamatan mereka menjadi perangkap.
Biarlah mata mereka menjadi gelap,
sehingga mereka tidak melihat;
buatlah pinggang mereka goyah senantiasa!
Tumpahkanlah amarahMu ke atas mereka,
dan biarlah murkaMu yang menyala-nyala menimpa mereka.
Biarlah perkemahan mereka menjadi sunyi,
dan biarlah kemah-kemah mereka tidak ada penghuninya.
Tambahkanlah salah kepada salah mereka,
dan jangan sampai Engkau membenarkan mereka.
Biarlah mereka dihapus dari kitab kehidupan,
janganlah nama mereka tercatat bersama-sama dengan aku dalam buku Al-Hayat".
Aku tak sadarkan diri.
Mimpi membawa aku menyusuri via dolorosa,
hingga kaki ini berjejak di Golguta.
Kupandang Rajaku tergantung di sana,
dalam diam disambutNya cambuk murka Bapa,
dijalaninya derita dengan kelembutan hati,
tiada ratap pun tangisan.
Di tengah keterpurukanNya,
Rajaku tersenyum memandang diriku,
Dia berkata:
"Deritamu belum seberapa di bandingkan deritaKu,
dan kesakitanmu belum separah kesakitan yang Kutanggung karena dosa mereka".
Lalu Rajaku mengarahkan pandanganNya ke sorga,
dengan suara bergetar dilantunkannya sepenggal bait nyanyian Kasih:
"Bapa...ampunilah mereka, sebab mereka tiada tahu yang diperbuatnya".
Lalu Rajaku memandangiku lagi,
dengan senyuman ia berkata padaku:
"Pergilah....bagikan kisah ini kepada semua orang.
Jangan lagi takut,
sebab Aku menyertaimu hingga kesudahan zaman.
Siapa yang memberkati engkau akan mendapat berkat,
siapa yang mengutuki engkau akan kena kutuk".
Aku sang kelana,
kembali ke kemah,
menganyam derita di antara cerita indah,
belajar berpasrah diri di tengah gelombang kemelut.
Rajaku menghibur batinku dengan kehadiran putri belahan jiwa.
Kutimang dalam nyanyian sorga berharap hari esok berganti ceria.
Hingga tiba saat yang tidak kudambahkan,
di kala kekasih hatiku terkapar,
teman hidup seperjalanan menyusuri gurun yang penuh derita terbaring lemah.
Berlinang airmata kupandangi tubuhnya yang sekarat,
jerat penyakit membelenggu raganya hingga tiada daya walau bertutur sapa.
Kutengadah langit-langit kemahku,
batinku berteriak menyebut namaNya.
Kutuntut Rajaku karena terpahan derita ini,
kubela sendiri perkaraku tanpa berharap simpati dari yang lain.
Ah....
kutenangkan batinku dengan kata-kata Rajaku,
bahwa derita ini belum sebanding derita yang ditanggungNya.
Kupasrahkan tubuhku dalam rancanganNya,
kutaklukkan pikiranku untuk menyelami pikiranNya
biarlah kehendakMu yang terjadi dan janganlah kehendakku.
Dan akhirnya Rajaku memberi jawab,
dengan kekuatan RohNya menopang aku untuk terus melangkah.
DipulihkanNya kekasihku dan dipersiapkannya diriku untuk berangkat,
menyeberangi lautan luas menjawab panggilan,
memulai hidup dan mendirikan kemah dipersinggahan ketigaku.
Aku sang kelana,
memikul beban dengan segala asa hidup bahagia.
Terlintas dibenakku keindahan hidup di persinggahan ketigaku.
Sebab menurut cerita orang,
inilah tempat yang subur bagai lembah di Sinear,
dialiri seribu anak sungai membawa humus dari hulu hingga ke ilir,
memberi hidup bagi berlaksa pohon di belantara Borneo,
di atas dahan-dahannya yang rindang bertenggerlah burung enggang,
menjadi rumah yang damai bagi berjuta satwa liar.
Dasar samuderanya menyimpan berjuta-juta plankton,
mengundang para jutawan mengais untung.
Di bagian yang dalam, di perut buminya,
tersimpan emas hitam penggoda kaum serakah,
mengundang kedatangan mesin pencakar bumi,
merampas warisan masa lalu bagi anak-cucu Adam.
Ketika kaki berpijak di labuhan Semayang,
mata terkesimah memandang menara bersembur nyala sang agni.
Berderet kilang dengan pipa berkelak-kelok,
berhiaskan hutan kota nan hijau membungkus ratusan bukit di hamparan tanah pasir.
Keramahan masyarakatnya dengan bahasa yang santun,
mengundang rasa damai di hati mengobati luka batinku.
Aku baru tersadar dari lamunanku ketika mendengar kata orang,
bahwa di sini para peziarah beradu nasib,
bertarung dengan waktu,
demi asa mengubah hidup jauh di tanah kelahiran.
Bumi yang kaya ini mengundang para pencari harta karun,
hingga malam tak dapat memaksa mata terkatup sampai pagi bersambut mentari.
Serasa tujuan perziarahan adalah harta dan kekayaan,
dan membangun istana dari batu manikam yang dindingnya bersalutkan emas.
Diriku hanyut dalam kesunyian di tengah lalu lalangnya buruh pelabuhan,
dan kubertanya pada batinku:
"Adakah diri ini bagian dari mereka,
yang hanya menilai kebahagiaan dari sisi ketercukupan finansial?
yang bertutur santun dibalut senyum simpul,
namun di dasar nurani tersimpan nafsu keserakahan.
Ataukah aku tetap jadi seorang kelana,
yang berjalan dari persinggahan yang satu ke persinggahan yang lainnya,
menoreh karya meninggalkan jejak hingga hilang tiada berbekas tertelan masa.
Sebab ini yang kuterima:
Nama tak dikenal dan prestasi dilupakan.
Tinggallah kata-kata fitnah yang melemahkan ragaku?"
Inilah yang kulihat dalam pandangan sesaat,
Ternyata hidup diarahkan pada kerja untuk menumpuk harta,
tanpa sadar bahwa hari esok akan datang,
memanggil pulang tubuh ini dalam ketelanjangan.
Aku sang kelana,
yang terus berjalan dengan sejuta tanya di hati.
Hingga tiba di puncak bukit untuk menancapkan kemahku dipersinggahan ketiga.
Aku pun tersadar bahwa di sini tak lebih dari yang sudah kulalui.
Begitu banyak tangan yang terangkat memelas kasihan dari si kaya.
Sedang mereka hidup di gubuk yang berdinding rapuh dan yang bukan dibuat tangan mereka,
berjalan di antara apartemen mewah di celah istana gading kaum berjois,
berharap rezeki tiba untuk membayar ongkos tempat perteduhan di esok hari,
walau perut menahan lapar dan si kecil menangis meminta segelas susu.
Ah........
Tempat ini terlalu kejam bagi mereka yang bodoh,
dan menjadi neraka bagi kaum pemalas.
Tapi haruskah mereka binasa dalam keserakahan si kaya yang tak berempati?
Di manakah para pejuang kaum papa?
Ke manakah perginya para Imam dan Mubaligh?
Mengapa para peziarah kudus baitullah yang bersorban putih bungkam?
Ada apa dengan suara kenabian Pendeta dan Pedanda hingga tak terdengar?
Dan mengapa para Bhiksu yang mengajarkan damai tetap duduk dalam diam?
Adakah kedudukan suci tergadai juga oleh uang dan kenikmatan,
lalu kebenaran kalian bungkam demi seonggok emas di altar sucimu?
Padahal tangisan dan jeritan mereka terdengar jelas,
dan wajah lesuh menahan lapar ada di depan mata kalian.
Wahai penguasa yang menjalankan kendali kota!
Mengapa pedang keadilan di tanganmu patah di hadapan pengusaha serakah,
hingga rahim ibu pertiwi tergerus habis menyisahkan telaga duka.
Anak-anak negeriku berlari di endapan lumpur kematian,
dan masa depan anak bangsaku hancur oleh nafsu mereka yang tak terpuaskan.
Wahai kaum penguasa
Kuhargai kedudukanmu sebagai wakil Rajaku di bumi.
Berharap diriku padamu;
bukakanlah pintu keadilan bagi kaum termarginalkan,
berilah rasa damai di hati mereka,
walau kecil mereka tapi berharga di mata Rajaku,
walau bodoh mereka tapi mulia di pemandangan Tuhanku.
Aku sang kelana yang terus berjalan mengitari kota.
hingga terkejut batin ini tersadar dari mimpi.
Saudaraku yang bodoh dan terbelenggu dalam kemiskinannya,
tak sadar akan dirinya dan merasa nyaman dalam keadaannya.
Di benak mereka, ini adalah suratan Ilahi,
untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak.
Inilah nasib yang tak dapat diubahkan,
mengapa harus sedih dalam kepapaan,
dan menggerutu dalam kemelaratan?
Mengapa harus menyiksa diri karena ketiadaan,
dan menyesah tubuh karena kegagalan?
Yang terbaik adalah,
jalani hidup dalam kepasrahan.
Inilah kemenangan kami yang berteduh di kemah berdinding rapuh,
mengapa kalian terusik dengan keadaan kami,
sedang kami sendiri tidak merasa bahwa kami miskin dan sengsara.
Astafirullah....
Adakah aku ini bodoh,
ataukah mereka yang bodoh karena tak sadar bahwa mereka itu bodoh,
ataukah juga pura-pura bodoh agar aku terjebak dalam kebodohan,
dan dengan itu aku akan diperlakukan seperti orang bodoh yang mudah dibodohi.
Di sinilah aku memulai pengembaraanku dengan sejuta tanya di hati,
menyusuri lorong-lorong pekat di relung jiwa,
membuka pintu sadar mereka agar bangkit dari keterpurukannya.
Dan mungkin inilah yang disebut kebodohan,
menyusahkan diri di di jalan yang susah dengan menolak jalan yang bertabur permata.
Sambil itu.....
dan ini juga adalah kebodohan,
kubangunlah dengan dan dalam pikiranku sebuah Bait Kudus,
berharap dalam mimpi sebuah istana megah berlantaikan marmer,
sebab tempat kediaman Rajaku yang ada sekarang,
hanya sebuah gubuk tua termakan usia dan rapuh.
Dan di lorongnya yang sumpek dan sempit,
bertaburan kotoran binatang menebar bau busuk menyengat hidung.
Inilah hal yang tak terlupakan bagiku,
karena kebodohanku hingga terbawa dalam sanubariku,
kutermenung memandangi pelataran BaitNya yang kumuh,
walau di tengah kota yang jalan-jalannya tertata bersih dan rapi,
hingga aku diajak sahabatku untuk menenangkan batin,
untuk mengalami perziarahan Para Suci di Tanah Perjanjian.
Dan sekembalinya aku dari perjalanan ziarah rohaniku,
merentas jejak-jejak para nabi dan rasul di kota tua:
Mesir - St. Catharine/Mount Sinai - Yerusalem - Yordania,
kuwujudkan mimpiku walau harus berjibaku dengan keringat dan airmata.
Kutuntaskan karyaku dan kurampungkan tugasku,
menumbuhkan kesadaran dalam batin umat,
bahwa di jalan Tuhan ada masa depan.
Kubuktikan bahwa kemustahilan tiada berdaya di depan kaum beriman,
dengan membangun Bait Rajaku di tengah penolakan.
Dalam hitungan bulan kurampungkan kerjaku,
semua mata melihat hingga tumbuh kesadaran itu:
"engkau dapat berkata pada pohon itu;
terbantunlah dan tercampaklah ke dalam laut,
maka ia akan mengikuti perkataanmu".
Ketika aku hendak menikmati perbuatan Tuhan dalam karyaku;
terdengar suara Rajaku;
"engkau harus berangkat dan tinggalkan tempat ini!".
Bersama dengan kekasih hidupku, teman seperjalanan dalam derita dan ceria,
bak tersambar petir,
bergumam dalam hati;
"mengapa harus pergi,
berikan kami waktu menikmati kegembiraan ini?".
Rajaku memberi jawab sambil memberi tepukan lembut di pundakku;
"Masih banyak yang harus kau kerjakan,
masih banyak yang menantikan karya dan karsamu.
Bukankah engkau hanyalah seorang kelana?
Tidakkah engkau sudah Aku tentukan untuk berjalan di jalanKu!
Ketempat mana Aku menyuruh pergi; haruslah kau lakukan,
dan kepada siapa engkau Kuutus; haruslah engkau pergi".
Aku dan kekasihku saling berpandangan,
pasrah para keputusan Sang Ilahi,
lalu berlutut di hadapan Sang Raja dan berucap kata:
"Inilah aku, utuslah aku!.
Biarlah kehendakMu jadi dan bukan kehendakku; ya Tuhan, ya Rajaku".
Dengan bergegas membenahi dan merapikan kemahku,
walau berat di hati kuteruskan perjalanan kembaraku.
Sekali pun hanya setelepap jaraknya dari persinggahan ketigaku ke tempat yang kutuju,
rasanya tempat itu berada jauh di ujung bumi.
Seandainya jarum jam dapat kuputar kembali,
akan kuperlambat tangan dan kaki ini melayaniNya,
agar tanganNya menekan aku,
tapi aku dapat menikmati hidupku di persinggahan ketiga dalam waktu yang panjang.
Ah...
ternyata dalam jiwaku tumbuh benih karakter para budak Ibrani.
Yang tak mampu menantang gelombang hingga terbuai mimpi indah kala di Mesir,
menghadapi periuk dengan sup kacang merah mengusir lapar,
sekali pun jadi budak namun perut terisi penuh.
Martabat dijual karena semangkuk bakso,
harga diri tergadai oleh sepiring nasi dengan lauk telor mata sapi.
Mata silau karena selembar kertas halus bergambar sang proklamator,
dengan mengumbar puja-puji pada sang pemberi walau kelakuan mereka bejat.
Astaga....
Sungguh bodohnya aku hingga terbelenggu dalam pikiran budak,
yang mudah memutar balik fakta karena uang dan kedudukan.
Lalu kutenangkan batinku,
kukatakan pada jiwaku,
di tempat persinggahanku yang ketiga,
ada banyak teman yang bersimpatik dengan perjuanganku,
sebuah bakhti untuk memanusiakan manusia tanpa membawa panji-panji.
Karena itu, hai para sahabatku!
Kutitipkan tempatku dan umat Tuhanku di kelembutan hati kalian.
Ingatkanlah mereka dalam ketulusan lakumu dan dorong mereka dalam keikhlasan kerjamu.
Katakanlah pada mereka bahwa hidup bukanlah harta,
tapi kelakuan yang memancarkan kemulian sorga.
Kakiku berjejak di Kota Tepian dengan sejuta asa yang baru,
menyusur tepi Mahakam dengan hasrat membara.
Aku masih asing di sini,
yang kuketahui barulah sepenggal,
sebuah kota tempat para pembesar membangun istananya.
dan tempat kaum cendikia berdebat akan arti kehidupan,
hingga lupa bahwa hidup bukanlah kata yang harus diributkan,
tetapi realita persimpangan jalan antara kehendak sorga dan bumi.
Di sini perjalanan dari perziarahanku hampir berakhir,
dan takut menuturkan sebuah kisah sebelum menutup perjalanan kembaraku.
Cukuplah aku katakan bahwa aku masih ada di sini.
Cukuplah kuucapkan bahwa aku sedang berbuat di sini.
Dan kini kupasrahkan diriku ditempah oleh waktu,
di mana tangan Rajaku menuntun aku melewati kerasnya gurun yang akan kulalui.
Aku sang kelana,
kutenangkan batinku dengan Kalam yang keluar dari mulut Tuhanku:
"Seorang pun tidak akan dapat bertahan menghadapi engkau,
seperti Aku menyertai Musa,
demikianlah Aku akan menyertai engkau;
Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.
Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh,
bertindaklah hati-hati,
jangan menyimpang ke kanan atau ke kiri,
supaya engkau beruntung ke mana pun engkau pergi.
Janganlah kecut dan tawar hati,
sebab Aku menyertai engkau ke mana pun engkau pergi".
Oh Tuhanku...
Aku berusaha bungkam menyembunyikan kisahku,
namun nuraniku menghukum sekujur tubuhku,
serasa hilang dayaku karena bibirku terkatup.
Karenanya kumohon...
Izinkanlah aku bertutur tentang hari-hariku,
berikan waktu walau sejenak mengisahkan jalan hidupku,
agar jiwaku tenang menanti ajal yang Kau tentukan bagi sekalian makhluk.
Sesungguhnya terbesik kebanggaan ketika aku di sini,
sebab mereka yang kutemui menyanjung diri karena tempat diamnya,
sebuah Kanaan yang konon memberi harapan hidup yang lebih baik,
dan sangkaku,
batinku akan bertepik sorak karena tempat tinggal yang nyaman menurut gambaran mereka.
Tapi.....
Ketika hari berganti bulan berlalu,
bulan pun berlalu berganti tahun.
Hari-hariku di persinggahan keempat penuh dengan perdebatan,
beradu kata hanya karena wacana,
menguras energi tak kunjung membawa hasil,
hingga batinku berbisik:
"Bukankah tempat ini bertabur kaum berhikmat?
Yang olehnya, kaum muda dari segala sudut Borneo menimbah ilmu?
Bukankah di sini adalah istana para raja?
Tempat kaum terhormat menanti puja-puji dari segala negeri?
Bukankah di sini para pengusaha menikmati tidur berkasurkan uang?
memberi kesempatan berbagi kasih bagi kaum yang tersisih?".
Tapi.....
Kulihat mereka yang merasa diri berhikmat,
ternyata lebih bodoh dari seekor keledai.
Sebab sebodoh-bodohnya keledai,
ia ingat tempat mana kakinya terperosok lalu menghindar dari situ.
Kulihat mereka yang bergelimang harta dan merasa diri seorang raja,
bertingkah langkah bak seorang budak,
memelas kasih dari yang lain demi sebuah pengakuan,
menuntut pamrih demi legitimasi sebuah nama besar.
Ah......
Aku sudah terlampau lelah di sini,
dan tak terasa bahwa usiaku semakin bertambah.
Tersadar aku bahwa kekuatanku pun telah tergerus oleh perziarahan yang tak berakhir,
hingga masa tugas mendekati puncak,
menanti suara Rajaku,
kemana aku akan dituntunNya.
Ya Tuhan, ya Rajaku....
Hanya ini doa dan harapanku,
walau sejuta rinduku namun tak muluk berharap semua tergapai.
Tak ada yang lain yang kuingini selain Engkau,
serta hanya satu yang kuimpikan;
"semoga aku dapat keluar dari sini dengan kepala tegak,
walau raga ini lunglai memikul beban di pundak".
(Sebuah Catatan Sejarah Pelayanan Dalam Gereja Toraja)
Menyelesaikan pendidikan teologia atas rekomendasi Gereja Toraja di STT INTIM Makassar, 30 Mei 1994.
Mengajukan surat Lamaran untuk menjadi pelayan dalam Gereja Toraja tgl. 9 Juni 1994.
Ditawarkan untuk menjadi Proponen di Jemaat Pangli dan Jemaat Buntu Kendek Klasis Sasi (Wilayah II Rantepao) pada bulan Juli 1994 namun tidak ditanggapi (ditolak).
Ditawarkan untuk menjadi Proponen di Jemaat Pangkajene Sidenreng, Klasis Parepare (Wilayah IV Makassar) pada bulan Agustus 1994.
Jawaban penerimaan dari Jemaat Pangkajene Sidenreng tgl. 4 September 1994.
Surat Keputusan Pengangkatan sebagai Proponen dari BPS Gereja Toraja tgl. 15 September 1994.
Pemeriksaan Ajaran dan Perilaku dilaksanakan pada tgl. 20 April 1996.
Diurapi menjadi Pendeta Gereja Toraja yang ke-315 pada tgl. 25 Mei 1996.
Dimutasikan dari Jemaat Pangkajene Sidenreng ke Jemaat Parepare, Klasis Parepare pada tgl. 12 Januari 2002.
Dimutasikan dari Jemaat Parepare, Klasis Parepare ke Jemaat Elim Balikpapan, Klasis Kaltim Balikpapan pada tgl. 7 Januari 2007.
Setelah Jemaat Elim dimekarkan pada 23 Juni 2008 menjadi dua jemaat (yakni Jemaat Elim dan Jemaat Eben Haezer), maka terhitung 1 Oktober 2008 melayani di Jemaat Eben Haezer Balikpapan.
Dimutasikan dari Jemaat Eben Haezer Balikpapan, Klasis Kaltim Balikpapan ke Jemaat Samarinda Klasis Kaltimteng tgl. 8 Januari 2012.
Diteguhkan sebagai Pendeta Jemaat di Jemaat Samarinda Klasis Kaltimteng tgl. 15 Januari 2012.
Masih melayani di Jemaat Samarinda sampai tulisan ini dipublish (November 2016).
(Catatan Berkeluarga)
Menikah dengan Hermiaty Damma, STh, tgl. 28 Nopember 1997.
Dikarunia 3 orang anak:
1). Hiel Ade Prasetya Delima, Lahir di Pangkajene tgl. 19 September 1998
2). Justus Chrisostomus Abdiel Delima, Lahir di Pangkajene tgl. 10 Agustus 2001.
3). Listra Avriel Delima, Lahir di Parepare tgl. 16 April 2005.
No comments:
Post a Comment