"Jangan pernah memperbesar masalahmu, tetapi perbesar keyakinanmu untuk mengecilkan masalahmu" - Pdt. Joni Delima
Samarinda, 5 Maret 2015
Disadur dari kumpulan Motifasi Kristen
(Penceritaannya telah mengalami perubahan tanpa menghilangkan maknanya. Refleksi yang ada di bagian akhir adalah perenungan pribadi dari Pdt. Joni Delima)
Di sebuah dusun yang sunyi, tenang dan damai, tinggallah seorang kakek yang bijaksana. Walau ia hidup sebatang kara, namun ia tetap mensyukuri kehidupannya. Karena sikapnya yang demikian maka banyak orang yang datang kepadanya untuk meminta saran dan masukan, khususnya mereka yang mempunyai masalah dengan kehidupannya.
Pada suatu hari, datanglah seorang anak muda yang sedang dirudung banyak masalah. Langkahnya gontai dengan raut muka ruwet seolah tiada harapan dengan tatapan yang kosong. Ia kemudian menyampaikan masalahnya kepada kakek bijaksana itu dan dengan penuh kesabaran si kakek mendengarkan apa yang disampaikan pemuda tersebut. Si kakek hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum mendengarkan cerita anak muda itu
Setelah pemuda itu selesai menyampaikan semua isi hatinya. Si kakek kemudian berdiri dan menuju ke dapur. Ia kemudian memerintahkan anak muda itu untuk menuangkan air ke dalam gelas lalu ia memasukkan tiga sendok makan garam dapur ke dalam gelas yang sudah diisi air tersebut. Si kakek memerintahkan anak muda itu untuk mengaduk-aduk air yang ada di dalam gelas tersebut dan yang sudah diisi oleh garam.
Selesai air dan garam bercampur merata. Ia kemudian memerintahkan anak muda itu untuk mencoba air tersebut. Baru saja seteguk, ia menyemburkan air tersebut dari dalam mulutnya. Ait itu terasa asin dan pahit, dan pemuda itu tidak kuasa menahan rasa yang tidak enak dari air tersebut.
Kakek bijaksana tersebut hanya tersenyum melihat tingkah dari pemuda itu yang tidak henti-hentinya membuang ludah. Sambil membawa sebungkus penuh garam dapur, ia mengajak pemuda tersebut menuju ke sebuah telaga. Kakek bijaksana kemudian menaburkan garam di atas permukaan telaga dan dengan sepotong ranting kayu ia mengaduk-aduk air telaga sehingga menimbulkan riak-riak kecil. Tak lama sesudah itu, ia meminta anak muda tersebut menceduk segelas air dari telaga itu dan memerintahkannya untuk diminum.
Saat pemuda itu selesai meneguk air telaga, si kakek bijak bertanya:
Bagaimana rasanya air telaga itu?
Pemuda tersebut menyahut:
Segar dan nyaman sekali di tenggorokanku!
Kakek bijaksana tersebut kembali bertanya:
Apakah engkau merasakan garam di dalam air itu?
Pemuda itu pun menjawab:
Sedikitpun air ini tidak terasa garamnya!
Dengan kasih sayang si kakek menepuk-nepuk punggung anak muda tersebut lalu mengajaknya duduk berhadap-hadapan di bawah sebuah pohon yang tumbuh di tepi telaga itu. Ia kemudian mengajarkan tentang makna kehidupan kepada anak muda itu.
Anak muda! Dengarkanlah hal ini dan simpan baik-baik di hatimu.
Pahitnya kehidupan ini seumpama segenggam garam, tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu sama dan memang akan tetap selalu sama. Tapi kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Dan wadah itu adalah hati kita.
Untuk tidak hanyut atau tenggelam dalam kepahitan hidup, maka lapangkan dan luaskan hatimu untuk menampung kepahitan itu. Jangan jadikan hatimu seperti gelas, sebab jika itu yang terjadi maka hidupmu tidak memiliki arti dan engkau akan tercampakkan. Buatlah hatimu laksana telaga. Seberapa banyak kepahitan yang datang walau menimbulkan riak-riak di permukaannya, namun hal tersebut tidak akan merubah keadaanmu sebagai manusia yang memiliki makna lebih dari ciptaan yang lainnya. Justru setiap kepahitan akan semakin membentuk hidupmu semakin tangguh dan kelapangan itulah yang akan merubah kepahitan hidup menjadi kesegaran dan kebahagiaan.
Akhirnya, setelah mendapat petuah dari kakek bijaksana itu, si pemuda mulai menyadari bahwa memang jalan hidup ini penuh dengan tantangan dan masalah. Namun hal tersebut jangan dijadikan alasan untuk mundur atau tidak melakukan apa-apa. Justru tantangan dan persoalan yang ada merupakan cambuk bagi kita untuk menjadi pribadi yang mapan, mandiri, ulet dan bertanggung jawab.
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka bersama-sama telah belajar banyak dari telaga, belajar untuk memaknai kehidupan dengan kepahitan-kepahitan yang ada.
Refleksi:
Ada saat di mana kita mengalami keterpurukan dalam hidup ini. Kita merasa bahwa hidup kita tidak memiliki arti lagi. Dan dalam kondisi seperti ini, selalu saja ada keinginan untuk menempuh jalan yang pintas mengakhiri perjalanan kehidupan.
Saudaraku,
Jika engkau mengalami hal yang demikian, ada satu tempat yang tepat untuk datang menyampaikan segala kepahitan-kepahitan dalam hidup. Saya begitu yakin bahwa DIA tidak akan pernah menolakmu. DIA akan menolongmu dan memberi kekuatan serta jalan keluar dari setiap masalahmu. DIA itu adalah YESUS.
YESUS tahu setiap persoalan hidup kita, dan DIA tidak mau kita tenggelam dalam persoalan tersebut. DOA akan mengantar anda datang dan merasakan kasihNya.
Ketahuilan:
DIA mengerti kepahitan hidupmu, sama seperti DIA mengerti kepahitan yang dialami oleh Hana dan DIA mau merubah kepahitan itu menjadi sukacita (1 Sam. 1:12-18).
DIA akan menolongmu dan memberi kekuatan kepadamu dalam perjuangan hidup seperti DIA telah menolong dan memberi kekuatan kepada Elia untuk terus berjalan (1 Raj. 19:6-8).
Seperti DIA telah memberi kekuatan dan pemulihan kepada Hizkia (2 Raj. 20:5-6) demikian juga DIA akan memulihkan keadaanmu.
Sama seperti DIA memuji iman yang dimiliki oleh perempuan yang mengalami pendarahan 12 tahun lamanya, yang datang kepadaNya (Luk. 8:48); maka demikian juga DIA akan memuji imanmu.
Dan masih begitu banyak pengalaman para kudus di mana mereka mengalami begitu banyak kepahitan dalam hidup, namun TUHAN menjadi jawaban atas persoalan mereka.
Jadi, jika engkau mengalami kepahitan hidup yang begitu berat; maka datanglah kepadaNya. DIA tidak jauh. Jarak antara engkau dengan DIA hanya sebatas lutut dengan lantai.
Karena itu, berlututlah dan berdoalah.
DIA akan memberi jawab untuk semua persoalanmu.
Samarinda, 5 Maret 2015
Disadur dari kumpulan Motifasi Kristen
(Penceritaannya telah mengalami perubahan tanpa menghilangkan maknanya. Refleksi yang ada di bagian akhir adalah perenungan pribadi dari Pdt. Joni Delima)
Di sebuah dusun yang sunyi, tenang dan damai, tinggallah seorang kakek yang bijaksana. Walau ia hidup sebatang kara, namun ia tetap mensyukuri kehidupannya. Karena sikapnya yang demikian maka banyak orang yang datang kepadanya untuk meminta saran dan masukan, khususnya mereka yang mempunyai masalah dengan kehidupannya.
Pada suatu hari, datanglah seorang anak muda yang sedang dirudung banyak masalah. Langkahnya gontai dengan raut muka ruwet seolah tiada harapan dengan tatapan yang kosong. Ia kemudian menyampaikan masalahnya kepada kakek bijaksana itu dan dengan penuh kesabaran si kakek mendengarkan apa yang disampaikan pemuda tersebut. Si kakek hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum mendengarkan cerita anak muda itu
Setelah pemuda itu selesai menyampaikan semua isi hatinya. Si kakek kemudian berdiri dan menuju ke dapur. Ia kemudian memerintahkan anak muda itu untuk menuangkan air ke dalam gelas lalu ia memasukkan tiga sendok makan garam dapur ke dalam gelas yang sudah diisi air tersebut. Si kakek memerintahkan anak muda itu untuk mengaduk-aduk air yang ada di dalam gelas tersebut dan yang sudah diisi oleh garam.
Selesai air dan garam bercampur merata. Ia kemudian memerintahkan anak muda itu untuk mencoba air tersebut. Baru saja seteguk, ia menyemburkan air tersebut dari dalam mulutnya. Ait itu terasa asin dan pahit, dan pemuda itu tidak kuasa menahan rasa yang tidak enak dari air tersebut.
Kakek bijaksana tersebut hanya tersenyum melihat tingkah dari pemuda itu yang tidak henti-hentinya membuang ludah. Sambil membawa sebungkus penuh garam dapur, ia mengajak pemuda tersebut menuju ke sebuah telaga. Kakek bijaksana kemudian menaburkan garam di atas permukaan telaga dan dengan sepotong ranting kayu ia mengaduk-aduk air telaga sehingga menimbulkan riak-riak kecil. Tak lama sesudah itu, ia meminta anak muda tersebut menceduk segelas air dari telaga itu dan memerintahkannya untuk diminum.
Saat pemuda itu selesai meneguk air telaga, si kakek bijak bertanya:
Bagaimana rasanya air telaga itu?
Pemuda tersebut menyahut:
Segar dan nyaman sekali di tenggorokanku!
Kakek bijaksana tersebut kembali bertanya:
Apakah engkau merasakan garam di dalam air itu?
Pemuda itu pun menjawab:
Sedikitpun air ini tidak terasa garamnya!
Dengan kasih sayang si kakek menepuk-nepuk punggung anak muda tersebut lalu mengajaknya duduk berhadap-hadapan di bawah sebuah pohon yang tumbuh di tepi telaga itu. Ia kemudian mengajarkan tentang makna kehidupan kepada anak muda itu.
Anak muda! Dengarkanlah hal ini dan simpan baik-baik di hatimu.
Pahitnya kehidupan ini seumpama segenggam garam, tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu sama dan memang akan tetap selalu sama. Tapi kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Dan wadah itu adalah hati kita.
Untuk tidak hanyut atau tenggelam dalam kepahitan hidup, maka lapangkan dan luaskan hatimu untuk menampung kepahitan itu. Jangan jadikan hatimu seperti gelas, sebab jika itu yang terjadi maka hidupmu tidak memiliki arti dan engkau akan tercampakkan. Buatlah hatimu laksana telaga. Seberapa banyak kepahitan yang datang walau menimbulkan riak-riak di permukaannya, namun hal tersebut tidak akan merubah keadaanmu sebagai manusia yang memiliki makna lebih dari ciptaan yang lainnya. Justru setiap kepahitan akan semakin membentuk hidupmu semakin tangguh dan kelapangan itulah yang akan merubah kepahitan hidup menjadi kesegaran dan kebahagiaan.
Akhirnya, setelah mendapat petuah dari kakek bijaksana itu, si pemuda mulai menyadari bahwa memang jalan hidup ini penuh dengan tantangan dan masalah. Namun hal tersebut jangan dijadikan alasan untuk mundur atau tidak melakukan apa-apa. Justru tantangan dan persoalan yang ada merupakan cambuk bagi kita untuk menjadi pribadi yang mapan, mandiri, ulet dan bertanggung jawab.
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka bersama-sama telah belajar banyak dari telaga, belajar untuk memaknai kehidupan dengan kepahitan-kepahitan yang ada.
Refleksi:
Ada saat di mana kita mengalami keterpurukan dalam hidup ini. Kita merasa bahwa hidup kita tidak memiliki arti lagi. Dan dalam kondisi seperti ini, selalu saja ada keinginan untuk menempuh jalan yang pintas mengakhiri perjalanan kehidupan.
Saudaraku,
Jika engkau mengalami hal yang demikian, ada satu tempat yang tepat untuk datang menyampaikan segala kepahitan-kepahitan dalam hidup. Saya begitu yakin bahwa DIA tidak akan pernah menolakmu. DIA akan menolongmu dan memberi kekuatan serta jalan keluar dari setiap masalahmu. DIA itu adalah YESUS.
YESUS tahu setiap persoalan hidup kita, dan DIA tidak mau kita tenggelam dalam persoalan tersebut. DOA akan mengantar anda datang dan merasakan kasihNya.
Ketahuilan:
DIA mengerti kepahitan hidupmu, sama seperti DIA mengerti kepahitan yang dialami oleh Hana dan DIA mau merubah kepahitan itu menjadi sukacita (1 Sam. 1:12-18).
DIA akan menolongmu dan memberi kekuatan kepadamu dalam perjuangan hidup seperti DIA telah menolong dan memberi kekuatan kepada Elia untuk terus berjalan (1 Raj. 19:6-8).
Seperti DIA telah memberi kekuatan dan pemulihan kepada Hizkia (2 Raj. 20:5-6) demikian juga DIA akan memulihkan keadaanmu.
Sama seperti DIA memuji iman yang dimiliki oleh perempuan yang mengalami pendarahan 12 tahun lamanya, yang datang kepadaNya (Luk. 8:48); maka demikian juga DIA akan memuji imanmu.
Dan masih begitu banyak pengalaman para kudus di mana mereka mengalami begitu banyak kepahitan dalam hidup, namun TUHAN menjadi jawaban atas persoalan mereka.
Jadi, jika engkau mengalami kepahitan hidup yang begitu berat; maka datanglah kepadaNya. DIA tidak jauh. Jarak antara engkau dengan DIA hanya sebatas lutut dengan lantai.
Karena itu, berlututlah dan berdoalah.
DIA akan memberi jawab untuk semua persoalanmu.
No comments:
Post a Comment