Laman

Monday, March 23, 2015

Telapak Tangan Ibu Yang Kasar

Disadur dari FamilyGuide
Penceritaan telah mengalami perubahan

Tanpa menghilangkan maknanya


Kupersembahkan di Hari Ulang Tahun ke-83
Ibuku Yang Tercinta: Ludia Banne

Ada seorang pemuda yang cukup sukses dalam studi dan juga dalam karir. Ia kemudian berkenalan dengan seorang wanita cantik dari kalangan bangsawan dan kaya raya. Hubungan mereka dari hari ke hari semakin serius hingga cinta di antara mereka tidak dapat terbendung lagi.

Suatu ketika, sang pemuda ini memberanikan dirinya untuk melamar wanita cantik dari kalangan bangsawan dan kaya raya itu. Namun karena si pemuda ini dari kalangan orang biasa dan ketahuan bahwa orangtuanya, yakni sang ibu yang sudah lama menjanda hidup dalam keadaan serba kekurangan. Namun karena cinta di antara mereka, sehingga mereka tidak dapat dipisahkan lagi, maka terjadilah kesepakatan bahwa ia boleh menikah asalkan ibunya tidak boleh datang ke resepsi pernikahan tersebut.

Setelah berpikir cukup lama, demi untuk mewujudkan niatnya untuk menikahi wanita yang sangat dicintainya maka si pemuda terpaksa meyetujui permintaan tersebut.

Hari-hari berlalu, hingga mendekati hari pernikahan, namun hatinya tidak tenang. Ia gelisah dan merasa berdosa jika di saat-saat yang indah itu, ibunya tidak hadir. Karena itu, ia pergi menjumpai seorang guru yang bijaksana untuk meminta pendapatnya.

Pemuda: Guru, aku mencintai seorang perempuan dan berniat untuk menikahinya.
Guru : Baik itu, dan memang dilihat dari usiamu maka wajarlah jikalau kau menikah ditambah lagi kau sudah berhasil dalam mengelolah usahamu.
Si pemuda cukup lama terdiam, raut wajahnya nampak sedih. Melihat hal tersebut, sang guru bertanya kepadanya:

Guru : Biasanya jikalau orang akan menikah, wajahnya berseri-seri, tapi wajah kamu koq tampak sedih. Ada apa gerangan? Katakan saja masalahmu, mungkin aku dapat membantumu keluar dari persoalan tersebut?
Pemuda : calon isteriku dari kalangan bangsawan dan juga kaya raya, sedangkan aku dan orangtuaku hanyalah orang biasa-biasa saja dan hidup dalam keadaan serba kekurangan. Keluarga calon isteriku dan juga calon isteriku sendiri hanya mau menikah dengan diriku; dengan syarat bahwa ibuku tidak boleh hadir dalam resepsi pernikahanku.
Guru : Apa pekerjaan ibumu?
Pemuda : Sejak aku kecil, ayahku telah meninggal dunia. Akhirnya, untuk membesarkan dan menyekolahkanku maka ibuku bekerja sebagai tukang cuci pakaian. Dari hasil pekerjaannya itulah maka aku dapat menyelesaikan pendidikanku hingga aku meraih gelar kesarjanaan.
Guru : Begini....hari ini kau pulang dan kau cuci kedua tangan ibumu, setelah itu besok kau kembali lagi ke sini dan aku akan memberikan saran kepadamu.
Pulanglah pemuda tersebut dan dia mendekati ibunya.
Seperti saran sang guru bijaksana, ia mencuci kedua tangan ibunya.
Hatinya tidak tahan melihat telapak sang ibu.
Telapak itu kasar, ada bekas-bekas luka dan kulit yang terkelupas.
Melihat pemandangan itu, ia pun menangis dan memeluk ibunya erat-erat.
Dia mencium telapak tangan ibunya dan membasuhnya dengan airmatanya.

Dan akhirnya, ia tidak membuang-buang waktu lagi menunggu hari esok. Hari itu juga, ia mendatangi sang guru bijaksana dan ia berkata:

Pemuda : Aku tidak akan mengorbankan ibu yang sangat mengasihiku untuk siapa pun juga. Kasih ibuku tidak dapat ditukar dengan apapun, termasuk kenikmatan duniawi.
Dengan itu, sang pemuda memutuskan niatnya untuk menikahi wanita yang walaupun sangat dicintainya, namun cinta ibunya lebih besar dari segalanya.

Refleksi :

Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.
Inilah ungkapan yang sarat dengan makna tentang cinta seorang ibu dibandingkan cinta seorang anak.

Ibu adalah pribadi yang setia dan dengan dorongan cinta yang dimilikinya, ia mengorbankan segala waktu dan kesenangannya hanya demi buah hatinya. Ia mempertaruhkan hidupnya hanya demi masa depan anak yang dilahirkan dan dibesarkannya.

Cinta sang Ibu adalah cinta tak berharap pamrih.
Ia melakukannya bukan karena terpaksa, tapi ia melakukannya karena sudah demikianlah takdirnya untuk melahirkan, menjaga dan membesarkan anak-anak yang keluar dari rahimnya.
Ia tak akan mungkin melukai dan mencampakkan bahagian dari kehidupannya, yakni sang buah hati. Ia ditakdirkan memang untuk mencintai sang buah hati.

Mungkin saja ia buruk rupa, namun hatinya secantik bidadari.
Mungkin saja ia tidak memiliki harta yang dapat diwarikan buat sang buah hati; tetapi pengorbanannya tak dapat dinilai dengan apapun juga, bahkan dunia ini tak dapat membayarnya.

Saatnyalah kita mencuci kedua telapak tangan ibu yang telah melahirkan kita.
Telapak itu mungkin sudah penuh dengan luka, karena setiap saat membalai kita dan membersihkan tubuh kita.
Telapak itu mungkin saja sudah penuh dengan luka, sebab setiap saat tergores oleh pisau saat ia ada di dapur, menyediakan makanan untuk kita santap dengan penuh kenikmatan. Rasa perih itu hilang ketika ia melihat anaknya menyantap makanan itu dengan lahap.
Telapak itu mungkin saja telah penuh dengan luka, karena setiap hari ia mengais rezeki untuk mencari tambahan penghasilan demi kebutuhan sekolah anak-anaknya.

Saatnya kita mencuci telapak tangan ibu kita.
Sebab ada waktu di mana kita mau merasakan kembali belaiannya,
namun kita sudah dipisahkan oleh dua alam yang berbeda.

Buat Mama:
Selamat Ulang Tahun...
Terima kasih untuk doa-doamu....
Terima kasih untuk pengorbananmu.....
Terima kasih untuk semua kasih sayangmu.....
Semoga Mama tetap kuat di hari yang semakin tua
Dan dimungkinkan oleh Sang Khalik menyaksikan anak-anak dan cucu-cicitnya.


No comments:

Post a Comment

Web gratis

Web gratis
Power of Love