Laman

Thursday, April 16, 2015

Kubur Yang Menelan Tubuh Tuhanku

Sebuah Refleksi Batin

Kebanggaan Yang Sia-sia
(Samarinda, 16 April 2015)


Menggali Makna Di Balik Kebangkitan Kristus


Karya ini kudedikasikan buat mereka yang berhati tulus;
bagi pribadi yang mau memberi diri untuk melakukan perubahan dan pembaruan;
menjadikan Gereja sebagai Kubur Yang Kosong,
untuk mewartakan kebenaran yang hakiki.
Bahwa di sini IA tidak ada lagi, lihatlah tempat di mana IA dibaringkan.
IA sudah hidup, dan IA menjumpai umat dalam kesehariannya.

Karya ini juga kupersembahkan buat Anakku yang berulang tahun tepat tgl. 16 April 2015, Ulang Tahun Listra Avriel Delima yang ke-10. Mungkin hari ini ia belum mengerti apa yang kutuliskan, namun 15 tahun yang akan datang ia akan mengerti akan maksud ayahnya ini.

Kubur Yang Menelan Tubuh Tuhanku
(Kebanggaan Yang Sia-sia)

Buah Karya : Pdt. Joni Delima


Suatu waktu,
di kala aku masih kecil.
Kisah ini di tanam bak benih di tanah yang subur.
Melahirkan generasi baru yang akan mengulang kisah itu.
Dengan harapan budayaku,
kisah itu diwariskan bagi generasi yang kulahirkan,
dengan tidak menambahi atau pun menguranginya.

Aku yang dilahirkan dan dibesarkan dalam tradisi lisan,
walau sedikit waktu belajar baca dan tulis hingga mengerti dunia yang sesungguhnya.
Aku dibentuk dalam budaya yang tak terbantahkan,
menjadi hal yang taboo untuk dilanggar walau hanya setitik dari padanya.

Konon....
Moyangku harus bertaruh nyawa karenanya,
membangun sebuah gedung dengan menara menjulang tinggi,
jadi simbol kebenaran hakiki yang tak dapat ditolak,
walau bersimbah darah sebagai bukti kesetiaan.

Di gedung ini aku disuguhi kisah tentang Dia yang tersalib bagi para pendosa,
bermahkotakan duri berjubah ungu,
yang jadi gambaran nyata dari kebesaran yang merendah,
kemuliaan yang berbakti,
dan keagungan yang bersedekah.
Budi baikNya harus dibayar dengan nyawa,
dan jasadNya diletakkan di antara kubur para pelanggar hukum Ilahi.

TubuhNya harus ditaruh di tempat yang gelap,
sebuah liang yang ditutup dengan bongkahan batu besar,
yang dimateraikan di atas cap wali negeri,
dan dikukuhkan oleh maklumat para pembesar agama,
dengan tentara terlatih berjaga-jaga di luar kuburNya,
sehingga tempat di mana Ia dibaringkan,
menjadi wilayah terlarang bagi yang tidak berkepentingan.

Namun kisah itu tidak berhenti di kubur yang gelap,
kisah itu tak dapat diberangus oleh kuasa kematian,
tidak juga oleh kuasa para pembesar duniawi dan alim ulama,
tidak juga dengan kekuatan prajurit dengan mengandalkan senjatanya.
Kisah itu harus dihidupkan dan keluar dari wilayah terlarang,
gaungnya harus menembus ruang dan waktu,
hingga terdengar ke seluruh penjuru negeri,
menjadi buah bibir manusia sejagad raya.

Kisah ini bagai gempa yang mengguncangkan sendi-sendi bangunan,
menimbulkan keretakan pada bagian yang kokoh,
dan kehancuran pada bagian yang rapuh.
Tak ada lagi menara yang menjulang tinggi simbol sebuah kesombongan,

dan kemegahan istana runtuh karenanya.

Kristusku bangkit....
Pasukan penjaga kubur terperanjat dan berdiri kaku,
tak ada kata yang terucap,
tak juga ada desiran cambuk yang menghalangi langkahNya.
Ia meninggalkan kubur itu,
langkahNya tak dapat ditahan oleh rangkulan wanita-wanita Yerusalem,
Ia harus pergi dan menjumpai murid-muridNya,
Ia mau agar berita ini tersebar,
bukan hanya di Yerusalem, tetapi seluruh Yudea dan Samaria,
bahkan sampai ke ujung bumi.

Aku bangga dengan kisah ini,
sebuah kisah yang dituturkan di kala aku masih kanak-kanak.
Kristusku bangkit....
Aku pun meloncat kegirangan.

Tapi kini aku dewasa....
Yang sangat sulit percaya pada sebuah kisah tanpa telaah,
seperti Thomas yang tak mau percaya tanpa menyentuh dan meraba.

Ah...
Bodohkah aku ini?

Tak peduli apa kata orang tentang diriku,
namun aku tetap pada pendirianku,
hatiku berontak dan berbisik; engkau bukan anak kecil lagi,
dan aku pun bertaruh pada kebenaran hakiki,
sebab aku tak dapat membohongi nuraniku,
dan menutup telinga pada suara batinku.
Aku terdesak olehNya;
dan suara  Tuhanku bagai petir menyambar tubuhku.
Ia meneguhkan batinku dan memantapkan langkahku;
janganlah engkau takut terhadap mereka,
karena tidak sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka,
dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui.
Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap,
katakanlah itu dalam terang;
dan apa yang dibisikkan ke telingamu,
beritakanlah itu dari atap rumah.


Jujur kukatakan.....
Sesungguhnya Yesus belum bangkit,
Karena ulah orang-orang yang menganggap diri benar.
Ia masih terkurung di ruang gereja.
TubuhNya masih terbujur kaku di altar suci,
dan tahlil dilantunkan oleh umat mengiringi kematianNya tiap minggu.
Tuhanku tak dapat keluar dari sana,
karena tangan dan kakiNya tertambat pada tanduk-tanduk mezbah.

Gereja masih berkeras mengurung tubuh Tuhanku dalam dinding yang kokoh,
dan merasa bangga dengan kuasanya meletakkan jasad Tuhanku di ruang Tabernakel.
Lonceng kematian terus berdentang dari atas puncak menaranya,
memanggil umat berziarah dalam gedung,
mengitari mezbah bertabur kembang dengan wewangian narwastu,
dan asap dari dupa kemenyan membumbung ke langit.
Dengan jubah kebesaran sang imam membacakan sejumlah larangan,
mewajibkan umat untuk tidak menambahi atau pun menguranginya.
Telunjuk mereka diarahkan ke muka orang-orang yang hendak menyampaikan kebenaran,
kepada mereka yang berjuang dalam kejujuran.
Tak cukup dengan itu,
mereka menebar fitnah untuk mengubur hidup-hidup penentang-penentang mereka,
merasa senang ketika orang-orang jujur meneteskan airmata.

Ah.....
Tempat ini tak lebih dari sebuah kubur,
yang mengharuskan tubuh Tuhanku tetap terbujur dan kaku.

Aku terdiam dan bertanya pada diriku sendiri.
Tidakkah dulu tirai ini telah terbelah dua dari atas sampai ke bawah,
dan tiang-tiang penyanggah Bait ini telah terpisah satu dari yang lainnya,
tidak ada lagi pengikat yang menghubungkan sisi-sisinya?

Siapa gerangan yang kembali membangun tempat ini,
dengan mengurung berita itu dalam ruang kedap suara.
Haruskah gempa itu terulang lagi,
dan bilamanakah itu terjadi?

Ah.....
Aku tidak mau berandai-andai tentang waktu dan masa itu.
Dan memang aku diingatkan untuk tidak mempersoalkan hal tersebut.
Aku hanya berusaha untuk setia pada panggilanNya,
belajar untuk taat pada perkataanNya.
Saatnya aku menenangkan batinku,
untuk membuka lembar demi lembar sabda Ilahi,
merentas waktu lalu,
menganyam makna di balik segala hal yang diperbuat Tuhanku.
Cukuplah bagiku untuk percaya bahwa Ia sudah bangkit,
lalu kusebar berita itu sejauh kuatku.
Mengapa aku harus menuruti kata mereka,
tidakkah rasa takut pada Tuhanku harus melebihi rasa takutku memandang wajah mereka.

Ah..............
Mengapa aku harus mempedulikan omongan mereka?
Tidakkah benar kata Tuhanku,
bahwa gereja bagai kuburan,
yang dilabur putih,
yang sebelah luarnya bersih tampaknya,
tetapi yang sebelah dalamnya,
penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.


Inilah yang kusaksikan,
dan menjadi keprihatinanku,
begitu banyak umat yang terpanggil untuk datang menyembah,
dengan segala ritualnya dan menyerukan nama Tuhanku.
Tak peduli apakah mereka mengerti tentang apa yang diperbuatnya,
mereka hanya melakukannya hanya karena tradisi yang diwariskan,
dan diliputi rasa takut karena ancaman api neraka dari para pemimpin agama.

Ya........
Di depan altar itu,
berjajarlah pribadi yang memandang diri pemegang tongkat Harun,
yang diberi amanat melanjutkan kuasa Petrus;
gembalakanlah domba-dombaKU.

Dengan jubah kebesaran mereka tampil bak orang suci,
di depan umat berusaha menjaga hukum keimaman.
Dengan tumpangan tangan menyerukan DAMAI,
namun perbuatan mereka penuh dengan kebusukan,
dan hati mereka jauh dari rasa DAMAI.

Ah...
Aku tidak mau menghakimi diriku sendiri,
sebab tempat di mana aku berada adalah bagian dari diriku juga.
Aku hanya mau menyerukan bahwa Tuhanku sudah bangkit.
IA tidak boleh dikurung dalam ruang ini.
IA tidak boleh di tahan di tempat di mana aku berdiri.
Ruang ini terlalu sempit untuk mengurung Tuhanku,
sebab IA terlalu besar untuk memenuhi tempat ini.
IA harus pergi ke tempat di mana IA berasal,
sebuah tempat yang dapat menjangkau seluruh bumi.
IA harus naik supaya semua mata dunia memandangNya.

Benarlah berita itu....
IA sudah menjumpai murid-muridNya.
IA juga telah menjumpai diriku.
Ia juga telah menjumpai gerejaNya.
IA meninggalkan pesan ini,
kamulah saksi kebenaran,
untuk menyampaikan berita sukacita,
bukan hanya dengan kata semata kebenaran itu harus diwartakan,
tetapi juga dengan perbuatan kabar itu harus dinyatakan.

Bukan di sini tempatnya,
Bukan di dalam sebuah gedung,
bukan juga di atas sebuah menara,
bahkan bukan juga ruang Tabernakel.

Jangan lagi itu mengurung tubuh Dia Yang Hidup.
Semua harus dikosongkan.

SabdaNya;
Siapakah yang mau 'KU-utus untuk mewartakan berita itu?.

Pergi....sampaikan pada dunia
bahwa sungguh....AKU hidup
Kelak Aku akan datang kembali
Membawa kamu ke tempatKU
Supaya di mana AKU ada
Di situ pun kamu berada

No comments:

Post a Comment

Web gratis

Web gratis
Power of Love