Bahan Khotbah Untuk Ibadah Jumat Agung
Gereja Toraja Jemaat Samarinda
Tanggal 3 April 2015
Bacaan : Markus 15 : 33 - 39
Sebelum saya menyampaikan apa makna peristiwa Jumat Agung bagi kita dalam konteks kekinian, maka ada sebuah kisah yang memberi kesan tersendiri bagi saya untuk memaknai Jumat Agung tahun ini. Kisah ini dapat kita lihat melalui You Tube, sebuah vidio klip yang diberi judul : "Father Heart of God". Kisah ini, sekali lagi memberi kesan tersendiri bagi saya untuk merefleksikan makna Jumat Agung yang sesungguhnya.
Dikisahkan seorang pria setengah baya yang pekerjaan sehari-harinya adalah menjaga pintu lintasan kereta api di tepi sungai, dan sungai ini merupakan jalur transportasi air yang cukup ramai. Setiap ada kapal yang akan melintas, maka ia harus menggerakkan handel yang akan menggerakkan kren untuk mengangkat jembatan yang tidak lain adalah lintasan kereta api. Tiap hari ia harus ada di tempatnya, untuk mengawasi transportasi sungai dan juga kereta api yang akan melintas di atas jembatan itu.
Pria itu mempunyai seorang anak laki-laki (anak tunggal). Sesibuk-sibuknya dia dengan rutinitas pekerjaan, namun selalu ada waktu ia sisikan untuk bermain bersama dengan anak yang sangat dicintainya. Dan ketika anak ini tahu bahwa ayahnya sibuk, maka ia juga tidak mau mengganggunya sebab ia sadar bahwa pekerjaan yang ditekuni oleh ayahnya berhubungan dengan keselamatan manusia. Ketika ayahnya sibuk, iapun mengisi waktunya untuk memancing di tepi sungai dan ayahnya selalu memantaunya dari ruang kontrol menara jaga.
Tetapi suatu ketika, terjadi sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan. Sebuah kapal muat penumpang (KMP) melintas di sungai itu dan ia sudah terlanjur menggerakkan handel penggerak kren untuk mengangkat jembatan lintasan kereta api agar kapal muat penumpang dapat lewat. Namun tanpa ia sadari, bersamaan dengan itu (dengan jarak yang tidak begitu jauh) kereta api yang juga sarat dengan penumpang akan melintasi jembatan itu. Anaknya sadar bahwa akan terjadi sesuatu yang akan menghancurkan karir ayahnya. Ia berteriak memanggil ayahnya, namun suaranya tidak terdengar karena tenggelam di tengah deru kapal dan kereta api. Ia pun berlari menuju ke tombol manual untuk menurunkan jembatan tersebut, namun ia terperosot dan terjatuh di antara tali seling penggerak kren.
Pria itu sempat melihat anaknya berlari menuju panel tombol manual dan menyaksikan anaknya terperosok, tapi ia juga menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan di mana jembatan itu harus diturunkan agar kereta dapat melintasi jembatan itu dan ia harus memilih salah satu di antaranya. Apakah ia harus menyelamatkan anaknya, tapi pada sisi lain ia harus mengorbankan semua penumpang di kereta tersebut; atau menyelamatkan orang banyak yang ada di kereta itu namun anaknya sendiri harus dikorbankan. Pria ini berada pada posisi terjepit dan dia diberi waktu sekian detik untuk memilih; sebuah dilema yang benar-benar sangat sulit untuk diputuskan.
Namun pada detik terakhir, ia melakukan sesuatu yang bagi saya sungguh amat luar biasa, yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang berhati malaikat bahkan "Berhati Seperti Tuhan". Ia memutuskan untuk menyelamatkan kereta itu yang berisi beraneka ragam manusia dengan kepribadiannya masing-masing; ada orang yang kesepian, pemarah, egois, sakit hati, pecandu narkoba, pencuri bahkan pembunuh. Ia mengorbankan anaknya demi orang-orang ini.
Ketika menyaksikan tayangan ini, hayalan saya tertuju ke sebuah taman; di mana Allah harus memilih salah satu dari dua pilihan yang sangat dilematis. Apakah IA harus mengorbankan Anak TunggalNya demi keselamatan dunia dan segala isinya yang sesungguhnya tidak sepantasnya untuk diselamatkan, ataukah menyelamatkan AnakNya namun dunia dan segala isinya menuju kepada kehancuran. Yesus pun sebagai Anak Tunggal Sang Bapa, ada pada posisi tersebut. Begitu beratnya pergumulan itu, sehingga seluruh tubuhNya berkeringat dan tetes keringatNya jatuh laksana darah membasahi tanah tempat Ia berdoa. Taman Getsemani menjadi saksi bisu dari sebuah pilihan yang sangat dilematis. Tuhan Yesus berkata kepada muridNya: "HatiKu sangat sedih, seperti mau mati rasanya (Mark. 14:34)". Ia harus memilih salah satu dari dua pilihan yang ada. dan pada akhirnya, Yesus berkata: "Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagiMu, ambillah cawan ini dari padaKu, tetapi janganlah yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki (Mark. 14:36)". Pilihan itu Ia serahkan kepada Sang Bapa. Tuhan Yesus taat pada keputusan BapaNya. Dan Allah (Sang Bapa) memilih, Ia harus mengorbankan AnakNya untuk menebus dunia dan segala isinya.
Bukit Golguta ada tempat di mana Allah mendemonstrasikan kasihNya. Penulis Markus mencatat bahwa kira-kira jam 12 kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai 3 jam. Dapatkah saudara membayangkan bahwa di siang hari di mana matahari berada tepat di atas kepala, tiba-tiba terjadi kegelapan dan tenggang waktunya cukup lama, yakni 3 jam. Apa yang terjadi pada peristiwa Golguta, menjadi kegenapan dari nubuatan Nabi Amos : "Pada hari itu akan terjadi, demikianlah firman Tuhan Allah: Aku akan membuat matahari terbenam di siang hari dan membuat bumi gelap pada hari cerah. Aku akan mengubah perayaan-perayaanmu menjadi perkabungan, dan segala nyanyianmu menjadi ratapan. Aku akan mengenakan kain kabung pada setiap pinggang dan menjadikan gundul setiap kepala. Aku akan membuatnya sebagai perkabungan karena kematian anak tunggal, sehingga akhirnya menjadi seperti hari yang pahit pedih (Amos 8:9-10)".Kegelapan dalam konteks Alkitab mengandung arti: Chaos (Tohu wabohu = kacau balau), yaitu sebuah keadaan yang tidak menguntungkan dan ujung-ujungnya adalah kebinasaan. Inilah situasi awal dunia sebelum Allah menciptakan keteraturan agar dengan keteraturan maka memungkinkan kehidupan dapat berlangsung. Demikian dicatat dalam Kej. 1:2 ....."Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya". Dengan demikian maka kegelapan yang terjadi pada proses penyaliban Yesus mengandung makna bahwa jikalau Allah meninggalkan manusia, maka hidup manusia akan kacau balau dan pada akhirnya manusia binasa. Jikalau Allah tidak berbelas kasihan terhadap manusia, maka kematian kekallah yang akan dialami manusia. Karena itu, di tengah-tengah kegelapan, Yesus mewakili kita semua berseru kepada Allah: "Eloi....Eloi.....lama sabakhtani". Seruan ini menyingkapkan tabir gelap, bahkan tabir Bait Suci Yerusalem yang menjadi pembatas ruang Maha Kudus (Tabernakel) terbelah dua dari atas sampai ke bawah. Seruan ini melahirkan harapan hidup yang baru, bahwa Allah membuka hatiNya bagi kita; Ia mau agar kita semua adalah rangkulan kasihNya. Dan itulah harapan dalam doa Tuhan Yesus buat saudara dan saya: "Ya Bapa, Aku mau supaya di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, ........agar mereka memandang kemulianKu yang telah Engkau berikan kepadaKu (Yoh. 17:24)".
Keagungan kasih Allah menjadi pokok kesaksian sang kepala pasukan yang memimpin proses penyaliban tersebut. Ia adalah orang asing, ia adalah tentara Romawi. Ia bukan orang yang paham tentang agama, bukan imam, bukan teolog; tetapi ia lebih dari semua orang yang paham tentang agama, ia lebih dari pada seorang imam, ia juga lebih dari pada seorang teolog. Ia sadar bahwa Yesus tidak sepantasnya ada di salib itu; ia tersungkur di bawah kaki salib itu dan mengatakan: "Sungguh, orang ini adalah Anak Allah". Sekali lagi, sang pemimpin pasukan penyaliban sadar bahwa tak sepantasnya Yesus tergantung di salib itu. Yang pantas digantung di situ adalah dirinya; ya...saudara dan saya. Namun Allah telah menjadikan Yesus (Putra TunggalNya) menjadi tumbal atas dosa kita. Allah tahu, bahwa tidak satupun dari manusia yang mampu menanggung hukuman atas dosa; hanya satu yang mampu, yakni Tuhan Yesus.
Memperingati Jumat Agung tahun ini, ada beberapa pesan moral yang hendak saya sampaikan:
Pertama :
Golguta adalah puncak dari perjuangan Allah untuk menyelamatkan manusia dengan mengorbankan Putra TunggalNya. Ia melakukan hal ini karena "KASIH". Dan inilah yang dikatakan oleh Tuhan Yesus, bahwa tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih seorang yang rela mengorbankan hidupnya demi keselamatan sahabat-sahabatnya. Allah melakukannya untuk kita dan Tuhan Yesus taat pada pilihan BapaNya.
Allah tidak peduli siapa dan bagaimana diri anda. Ia membuka diriNya dan dengan tangan yang terbuka, Ia menyambut anda. Jikalau Tuhan sedemikian mengasihi kita, maka kita pun harus mengasihi satu dengan yang lainnya.
Karena itu, Jumat Agung harus kita maknai dengan membuka diri bagi yang lain. Jika saudaramu melakukan hal yang menorehkan luka di hati anda, ampunilah dia; dan jika anda melakukan kesalahan dengan menorehkan luka batin di hati saudaramu; minta maaflah kepadanya.
Kedua :
Peristiwa Golguta hendak menyadarkan kita semua bahwa dosa merupakan persoalan yang sangat serius; tidak boleh dianggap remeh. Harga yang harus dibayar sebagai tebusan atas dosa, sangatlah mahal; yakni Kristus harus dikorbankan. Karena itu, sebagai orang-orang yang ditebus dari utang dosa, maka diri kita ini bukan milik kita lagi, tapi kita ini adalah milik Kristus. Itu berarti, seluruh kehidupan kita harus takluk kepada Dia; hidup ini harus diatur menurut kehendakNya, bukan menurut kehendak kita.
Peristiwa Jumat Agung adalah moment di mana kita harus menyalibkan segala rasa keegoisan kita; keangkuhan dan kesombongan harus dimatikan, dan kita harus belajar untuk sujud (dalam kerendahan) dan mengaku sama seperti Panglima Pasukan penyaliban itu : "Sungguh, Kristus adalah Anak Allah". Di hadapan Dia yang Agung, diri kita tidak punya arti apa-apa; karena itu, apa yang harus kita banggakan pada diri kita. Saudara dan saya hanyalah debu. Tetapi, ketika kita sujud dalam kerendahan di hadapanNya, maka Dia akan memuliakan kita. Sebab Yesus sendiri telah bersabda: "barangsiapa merendahkan diri maka dia akan ditinggikan; tetapi barangsiapa yang meninggikan diri, maka dia akan direndahkan".
Ketiga :
Peristiwa Golguta mau menyadarkan kita bahwa untuk mencapai hidup yang berkemenangan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak orang salah mengartikan keterpanggilannya sebagai anak-anak Tuhan. Mereka beranggapan bahwa dengan menjadi anak-anak Tuhan maka jalan yang akan dilalui jadi mudah. Ingat, Tuhan tidak pernah menjanjikan hal yang demikian. Ingatlah kata-kata Yesus: "sama seperti dunia membenci Aku, demikianlah juga dunia akan membenci kamu" dan lanjut dikatakan: "lihat, Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah serigala".
Jadi sekali lagi, Tuhan tidak pernah menjanjikan jalan yang mudah untuk menuju kepada kemenangan. Jalan itu sempit dan berliku-liku. Tetapi, di tengah-tengah perjuangan untuk menggapai kemenangan, Ia menjanjikan "PENYERTAANNYA".
Karena itu, kita harus meyakinkan diri kita bahwa sesulit apa pun jalan yang kita tempuh, ternyata Tuhan tidak meninggalkan kita. Eloi...Eloi...lama sabakhtani. Kalimat ini adalah sebuah doa, sebuah seruan, sebuah permohonan. Jika Tuhan ada bersama dengan kita, siapakah yang akan menjadi lawan kita?
Dengan demikian, Jumat Agung harus kita maknai bahwa sesulit apa pun jalan yang kita tempuh, kita tidak boleh kecut dan tawar hati. Ia tidak jauh dari kita. Salib Kristus adalah jaminan kemenangan kita.
Selamat Hari Raya Jumat Agung.
Tuhan Yesus yang tersalib itu, memberkati kita semua.
Gereja Toraja Jemaat Samarinda
Tanggal 3 April 2015
Bacaan : Markus 15 : 33 - 39
Sebelum saya menyampaikan apa makna peristiwa Jumat Agung bagi kita dalam konteks kekinian, maka ada sebuah kisah yang memberi kesan tersendiri bagi saya untuk memaknai Jumat Agung tahun ini. Kisah ini dapat kita lihat melalui You Tube, sebuah vidio klip yang diberi judul : "Father Heart of God". Kisah ini, sekali lagi memberi kesan tersendiri bagi saya untuk merefleksikan makna Jumat Agung yang sesungguhnya.
Dikisahkan seorang pria setengah baya yang pekerjaan sehari-harinya adalah menjaga pintu lintasan kereta api di tepi sungai, dan sungai ini merupakan jalur transportasi air yang cukup ramai. Setiap ada kapal yang akan melintas, maka ia harus menggerakkan handel yang akan menggerakkan kren untuk mengangkat jembatan yang tidak lain adalah lintasan kereta api. Tiap hari ia harus ada di tempatnya, untuk mengawasi transportasi sungai dan juga kereta api yang akan melintas di atas jembatan itu.
Pria itu mempunyai seorang anak laki-laki (anak tunggal). Sesibuk-sibuknya dia dengan rutinitas pekerjaan, namun selalu ada waktu ia sisikan untuk bermain bersama dengan anak yang sangat dicintainya. Dan ketika anak ini tahu bahwa ayahnya sibuk, maka ia juga tidak mau mengganggunya sebab ia sadar bahwa pekerjaan yang ditekuni oleh ayahnya berhubungan dengan keselamatan manusia. Ketika ayahnya sibuk, iapun mengisi waktunya untuk memancing di tepi sungai dan ayahnya selalu memantaunya dari ruang kontrol menara jaga.
Tetapi suatu ketika, terjadi sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan. Sebuah kapal muat penumpang (KMP) melintas di sungai itu dan ia sudah terlanjur menggerakkan handel penggerak kren untuk mengangkat jembatan lintasan kereta api agar kapal muat penumpang dapat lewat. Namun tanpa ia sadari, bersamaan dengan itu (dengan jarak yang tidak begitu jauh) kereta api yang juga sarat dengan penumpang akan melintasi jembatan itu. Anaknya sadar bahwa akan terjadi sesuatu yang akan menghancurkan karir ayahnya. Ia berteriak memanggil ayahnya, namun suaranya tidak terdengar karena tenggelam di tengah deru kapal dan kereta api. Ia pun berlari menuju ke tombol manual untuk menurunkan jembatan tersebut, namun ia terperosot dan terjatuh di antara tali seling penggerak kren.
Pria itu sempat melihat anaknya berlari menuju panel tombol manual dan menyaksikan anaknya terperosok, tapi ia juga menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan di mana jembatan itu harus diturunkan agar kereta dapat melintasi jembatan itu dan ia harus memilih salah satu di antaranya. Apakah ia harus menyelamatkan anaknya, tapi pada sisi lain ia harus mengorbankan semua penumpang di kereta tersebut; atau menyelamatkan orang banyak yang ada di kereta itu namun anaknya sendiri harus dikorbankan. Pria ini berada pada posisi terjepit dan dia diberi waktu sekian detik untuk memilih; sebuah dilema yang benar-benar sangat sulit untuk diputuskan.
Namun pada detik terakhir, ia melakukan sesuatu yang bagi saya sungguh amat luar biasa, yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang berhati malaikat bahkan "Berhati Seperti Tuhan". Ia memutuskan untuk menyelamatkan kereta itu yang berisi beraneka ragam manusia dengan kepribadiannya masing-masing; ada orang yang kesepian, pemarah, egois, sakit hati, pecandu narkoba, pencuri bahkan pembunuh. Ia mengorbankan anaknya demi orang-orang ini.
Ketika menyaksikan tayangan ini, hayalan saya tertuju ke sebuah taman; di mana Allah harus memilih salah satu dari dua pilihan yang sangat dilematis. Apakah IA harus mengorbankan Anak TunggalNya demi keselamatan dunia dan segala isinya yang sesungguhnya tidak sepantasnya untuk diselamatkan, ataukah menyelamatkan AnakNya namun dunia dan segala isinya menuju kepada kehancuran. Yesus pun sebagai Anak Tunggal Sang Bapa, ada pada posisi tersebut. Begitu beratnya pergumulan itu, sehingga seluruh tubuhNya berkeringat dan tetes keringatNya jatuh laksana darah membasahi tanah tempat Ia berdoa. Taman Getsemani menjadi saksi bisu dari sebuah pilihan yang sangat dilematis. Tuhan Yesus berkata kepada muridNya: "HatiKu sangat sedih, seperti mau mati rasanya (Mark. 14:34)". Ia harus memilih salah satu dari dua pilihan yang ada. dan pada akhirnya, Yesus berkata: "Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagiMu, ambillah cawan ini dari padaKu, tetapi janganlah yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki (Mark. 14:36)". Pilihan itu Ia serahkan kepada Sang Bapa. Tuhan Yesus taat pada keputusan BapaNya. Dan Allah (Sang Bapa) memilih, Ia harus mengorbankan AnakNya untuk menebus dunia dan segala isinya.
Bukit Golguta ada tempat di mana Allah mendemonstrasikan kasihNya. Penulis Markus mencatat bahwa kira-kira jam 12 kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai 3 jam. Dapatkah saudara membayangkan bahwa di siang hari di mana matahari berada tepat di atas kepala, tiba-tiba terjadi kegelapan dan tenggang waktunya cukup lama, yakni 3 jam. Apa yang terjadi pada peristiwa Golguta, menjadi kegenapan dari nubuatan Nabi Amos : "Pada hari itu akan terjadi, demikianlah firman Tuhan Allah: Aku akan membuat matahari terbenam di siang hari dan membuat bumi gelap pada hari cerah. Aku akan mengubah perayaan-perayaanmu menjadi perkabungan, dan segala nyanyianmu menjadi ratapan. Aku akan mengenakan kain kabung pada setiap pinggang dan menjadikan gundul setiap kepala. Aku akan membuatnya sebagai perkabungan karena kematian anak tunggal, sehingga akhirnya menjadi seperti hari yang pahit pedih (Amos 8:9-10)".Kegelapan dalam konteks Alkitab mengandung arti: Chaos (Tohu wabohu = kacau balau), yaitu sebuah keadaan yang tidak menguntungkan dan ujung-ujungnya adalah kebinasaan. Inilah situasi awal dunia sebelum Allah menciptakan keteraturan agar dengan keteraturan maka memungkinkan kehidupan dapat berlangsung. Demikian dicatat dalam Kej. 1:2 ....."Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya". Dengan demikian maka kegelapan yang terjadi pada proses penyaliban Yesus mengandung makna bahwa jikalau Allah meninggalkan manusia, maka hidup manusia akan kacau balau dan pada akhirnya manusia binasa. Jikalau Allah tidak berbelas kasihan terhadap manusia, maka kematian kekallah yang akan dialami manusia. Karena itu, di tengah-tengah kegelapan, Yesus mewakili kita semua berseru kepada Allah: "Eloi....Eloi.....lama sabakhtani". Seruan ini menyingkapkan tabir gelap, bahkan tabir Bait Suci Yerusalem yang menjadi pembatas ruang Maha Kudus (Tabernakel) terbelah dua dari atas sampai ke bawah. Seruan ini melahirkan harapan hidup yang baru, bahwa Allah membuka hatiNya bagi kita; Ia mau agar kita semua adalah rangkulan kasihNya. Dan itulah harapan dalam doa Tuhan Yesus buat saudara dan saya: "Ya Bapa, Aku mau supaya di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, ........agar mereka memandang kemulianKu yang telah Engkau berikan kepadaKu (Yoh. 17:24)".
Keagungan kasih Allah menjadi pokok kesaksian sang kepala pasukan yang memimpin proses penyaliban tersebut. Ia adalah orang asing, ia adalah tentara Romawi. Ia bukan orang yang paham tentang agama, bukan imam, bukan teolog; tetapi ia lebih dari semua orang yang paham tentang agama, ia lebih dari pada seorang imam, ia juga lebih dari pada seorang teolog. Ia sadar bahwa Yesus tidak sepantasnya ada di salib itu; ia tersungkur di bawah kaki salib itu dan mengatakan: "Sungguh, orang ini adalah Anak Allah". Sekali lagi, sang pemimpin pasukan penyaliban sadar bahwa tak sepantasnya Yesus tergantung di salib itu. Yang pantas digantung di situ adalah dirinya; ya...saudara dan saya. Namun Allah telah menjadikan Yesus (Putra TunggalNya) menjadi tumbal atas dosa kita. Allah tahu, bahwa tidak satupun dari manusia yang mampu menanggung hukuman atas dosa; hanya satu yang mampu, yakni Tuhan Yesus.
Memperingati Jumat Agung tahun ini, ada beberapa pesan moral yang hendak saya sampaikan:
Pertama :
Golguta adalah puncak dari perjuangan Allah untuk menyelamatkan manusia dengan mengorbankan Putra TunggalNya. Ia melakukan hal ini karena "KASIH". Dan inilah yang dikatakan oleh Tuhan Yesus, bahwa tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih seorang yang rela mengorbankan hidupnya demi keselamatan sahabat-sahabatnya. Allah melakukannya untuk kita dan Tuhan Yesus taat pada pilihan BapaNya.
Allah tidak peduli siapa dan bagaimana diri anda. Ia membuka diriNya dan dengan tangan yang terbuka, Ia menyambut anda. Jikalau Tuhan sedemikian mengasihi kita, maka kita pun harus mengasihi satu dengan yang lainnya.
Karena itu, Jumat Agung harus kita maknai dengan membuka diri bagi yang lain. Jika saudaramu melakukan hal yang menorehkan luka di hati anda, ampunilah dia; dan jika anda melakukan kesalahan dengan menorehkan luka batin di hati saudaramu; minta maaflah kepadanya.
Kedua :
Peristiwa Golguta hendak menyadarkan kita semua bahwa dosa merupakan persoalan yang sangat serius; tidak boleh dianggap remeh. Harga yang harus dibayar sebagai tebusan atas dosa, sangatlah mahal; yakni Kristus harus dikorbankan. Karena itu, sebagai orang-orang yang ditebus dari utang dosa, maka diri kita ini bukan milik kita lagi, tapi kita ini adalah milik Kristus. Itu berarti, seluruh kehidupan kita harus takluk kepada Dia; hidup ini harus diatur menurut kehendakNya, bukan menurut kehendak kita.
Peristiwa Jumat Agung adalah moment di mana kita harus menyalibkan segala rasa keegoisan kita; keangkuhan dan kesombongan harus dimatikan, dan kita harus belajar untuk sujud (dalam kerendahan) dan mengaku sama seperti Panglima Pasukan penyaliban itu : "Sungguh, Kristus adalah Anak Allah". Di hadapan Dia yang Agung, diri kita tidak punya arti apa-apa; karena itu, apa yang harus kita banggakan pada diri kita. Saudara dan saya hanyalah debu. Tetapi, ketika kita sujud dalam kerendahan di hadapanNya, maka Dia akan memuliakan kita. Sebab Yesus sendiri telah bersabda: "barangsiapa merendahkan diri maka dia akan ditinggikan; tetapi barangsiapa yang meninggikan diri, maka dia akan direndahkan".
Ketiga :
Peristiwa Golguta mau menyadarkan kita bahwa untuk mencapai hidup yang berkemenangan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak orang salah mengartikan keterpanggilannya sebagai anak-anak Tuhan. Mereka beranggapan bahwa dengan menjadi anak-anak Tuhan maka jalan yang akan dilalui jadi mudah. Ingat, Tuhan tidak pernah menjanjikan hal yang demikian. Ingatlah kata-kata Yesus: "sama seperti dunia membenci Aku, demikianlah juga dunia akan membenci kamu" dan lanjut dikatakan: "lihat, Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah serigala".
Jadi sekali lagi, Tuhan tidak pernah menjanjikan jalan yang mudah untuk menuju kepada kemenangan. Jalan itu sempit dan berliku-liku. Tetapi, di tengah-tengah perjuangan untuk menggapai kemenangan, Ia menjanjikan "PENYERTAANNYA".
Karena itu, kita harus meyakinkan diri kita bahwa sesulit apa pun jalan yang kita tempuh, ternyata Tuhan tidak meninggalkan kita. Eloi...Eloi...lama sabakhtani. Kalimat ini adalah sebuah doa, sebuah seruan, sebuah permohonan. Jika Tuhan ada bersama dengan kita, siapakah yang akan menjadi lawan kita?
Dengan demikian, Jumat Agung harus kita maknai bahwa sesulit apa pun jalan yang kita tempuh, kita tidak boleh kecut dan tawar hati. Ia tidak jauh dari kita. Salib Kristus adalah jaminan kemenangan kita.
Selamat Hari Raya Jumat Agung.
Tuhan Yesus yang tersalib itu, memberkati kita semua.
No comments:
Post a Comment