Karya Kahlil Gibran
Disadur dari buku : CINTA Tak Pernah Mati
Judul Asli:
The Treasured Writing of Kahlil Gibran Vol. III
Akulah orang asing di dunia ini.
Di pengasinganku terdapat segumpal keterasingan yang penuh amarah dan kesepian yang menyakitkan.
Namun, itu membuatku berpikir tentang kampung impian yang tak kukenal.
Orang-orang mengasingkan mimpiku dengan hantu-hantu dari tanah jauh yang tak pernah kulihat.
Aku orang asing bagi keluarga dan teman-temanku.
Jika aku bertemu salah seorang dari mereka, aku berkata pada jiwaku:
Siapakah itu?
Bagaimana aku mengenalnya?
Aturan apa yang mengikat aku dengannya?
Bagaimana aku berhubungan dengannya?
Dan mengapa pula aku berhubungan dengannya?
Aku orang asing bagi jiwaku.
Apabila kudengar lidahku bertutur, telingaku terkejut mendengar suaraku,
dan kulihat hakikat tersembunyiku tertawa dan menangis, antara berani dan takut.
Kehidupanku tercengang dengan keberadaanku dan jiwaku senantiasa mencari arti sejati.
Tapi aku tetap tersembunyi,
terkunci,
dibendung kabut,
ditudungi kesunyian.
Aku orang asing bagi tubuhku.
Bila aku berhenti di depan cermin, kulihat makhluk yang tak kukenal,
kulihat di mataku apa yang tak tersembunyi di kedalamanku.
Kutempuh jalanan kota dan anak-anak mengikutiku sambil bersorak:
"Ia buta! Mari, kita beri ia tongkat untuk bertumpuh".
Tergesa-gesa aku lari dari mereka,
hanya untuk menemui kerumunan gadis-gadis yang bergayut di bajuku dan berteriak:
"Ia setuli batu! Mari kita isi telinganya dengan lagu-lagu penuh cumbu dan cinta".
Aku lari meninggalkan mereka dan berjumpa sekawanan anak muda.
Mereka berdiri mengelilingiku dan berkata:
"Ia bisu bagai kuburan! Mari, kita uraikan lidahnya terlebih dahulu".
Seraya merasa takut, kutinggalkan mereka dan bertemu dengan sekelompok orang tua,
menunjuk ke arahku dengan jemari yang bergetar:
"Ia orang gila! Akalnya telah rusak di tanah kaum jin dan hantu".
Aku orang asing di dunia ini.
Aku orang asing yang mengembarai dunia Timur dan Barat.
Tak kutemukan tempat untuk membaringkan kepalaku,
juga tak kutemukan orang yang mengakui dan mendengarkanku.
Kalau aku terbangun pagi hari,
kudapati diriku bagaikan tawanan di gua gelap,
ular berbisa bergelantungan di atapnya,
dan serangga berlarian di sudutnya.
Kalau aku keluar mencari cahaya,
bayangan tubuhku mengikutiku dan citra jiwaku berjalan di depanku,
menuntunku ke tempat yang tak kukenal,
mengundangku ke tempat yang tak kumengerti,
mengikatku dengan sesuatu yang tak kubutuhkan.
Ketika malam tiba,
kubaringkan diri di atas kasur dari tanduk dan bulu burung unta.
Hasrat dan pikiran yang aneh menggodaku,
menggelisahkanku lalu menggembirakan,
menyakitkan lalu menyenangkan.
Di malam hari,
hantu-hantu masa lalu,
jiwa-jiwa bangsa yang terlupakan,
datang padaku dari lorong-lorong gua.
Kupandangi mereka, mereka juga memandangiku.
Aku berbicara pada mereka, mencoba mengerti, dan mereka menjawab, tersenyum.
Kucoba menyentuh mereka,
tapi mereka sirna bagai asap disapu angin.
Aku orang asing di dunia ini.
Aku orang asing dan tak ada seorang pun di dunia yang mengerti sepatah kata pun dari bahasa jiwaku.
Aku mengembarai belantara hampa dan melihat air sungai menggelembung dan berjingkrak naik dari kedalaman lembah ke puncak-puncak gunung.
Kulihat pepohonan mengembang menjadi daun, bunga dan buah,
lalu melepaskan dedaunannya, semua terjadi dalam satu saat.
Lalu rerantingnya berguguran hancur menjadi seperti liukan ular.
Kulihat burung-burung membumbung naik dan turun,
memekik dan bernyanyi.
Mereka mendarat dan membuka sayapnya,
beralih menjadi wanita-wanita telanjang,
dengan rambut panjang terurai,
kepala terjulur,
menatapku dengan penuh gairah dari belakang kelopak mata yang diwarnai celak,
tersenyum padaku dengan bibir bagaikan mawar madu,
menggapaiku dengan tangan lembut dan diiringi aroma kemenyan dan cendana.
Mereka lalu berlari ketakutan dan bersembunyi dari pandanganku,
sirna bagai kabut,
menyisakan tawa yang menggema di udara untuk mengejek dan mengolokku.
Aku orang asing di dunia ini.
Aku seorang penyair kesepian.
Kutulis prosa kehidupan dalam bait-bait puisi,
dan sajak kehidupan dalam baris-baris prosa.
Akulah orang asing,
dan akan tetap menjadi orang asing sampai kematian merenggut
dan membawaku kembali ke kampung halaman.
Disadur dari buku : CINTA Tak Pernah Mati
Judul Asli:
The Treasured Writing of Kahlil Gibran Vol. III
Akulah orang asing di dunia ini.
Di pengasinganku terdapat segumpal keterasingan yang penuh amarah dan kesepian yang menyakitkan.
Namun, itu membuatku berpikir tentang kampung impian yang tak kukenal.
Orang-orang mengasingkan mimpiku dengan hantu-hantu dari tanah jauh yang tak pernah kulihat.
Aku orang asing bagi keluarga dan teman-temanku.
Jika aku bertemu salah seorang dari mereka, aku berkata pada jiwaku:
Siapakah itu?
Bagaimana aku mengenalnya?
Aturan apa yang mengikat aku dengannya?
Bagaimana aku berhubungan dengannya?
Dan mengapa pula aku berhubungan dengannya?
Aku orang asing bagi jiwaku.
Apabila kudengar lidahku bertutur, telingaku terkejut mendengar suaraku,
dan kulihat hakikat tersembunyiku tertawa dan menangis, antara berani dan takut.
Kehidupanku tercengang dengan keberadaanku dan jiwaku senantiasa mencari arti sejati.
Tapi aku tetap tersembunyi,
terkunci,
dibendung kabut,
ditudungi kesunyian.
Aku orang asing bagi tubuhku.
Bila aku berhenti di depan cermin, kulihat makhluk yang tak kukenal,
kulihat di mataku apa yang tak tersembunyi di kedalamanku.
Kutempuh jalanan kota dan anak-anak mengikutiku sambil bersorak:
"Ia buta! Mari, kita beri ia tongkat untuk bertumpuh".
Tergesa-gesa aku lari dari mereka,
hanya untuk menemui kerumunan gadis-gadis yang bergayut di bajuku dan berteriak:
"Ia setuli batu! Mari kita isi telinganya dengan lagu-lagu penuh cumbu dan cinta".
Aku lari meninggalkan mereka dan berjumpa sekawanan anak muda.
Mereka berdiri mengelilingiku dan berkata:
"Ia bisu bagai kuburan! Mari, kita uraikan lidahnya terlebih dahulu".
Seraya merasa takut, kutinggalkan mereka dan bertemu dengan sekelompok orang tua,
menunjuk ke arahku dengan jemari yang bergetar:
"Ia orang gila! Akalnya telah rusak di tanah kaum jin dan hantu".
Aku orang asing di dunia ini.
Aku orang asing yang mengembarai dunia Timur dan Barat.
Tak kutemukan tempat untuk membaringkan kepalaku,
juga tak kutemukan orang yang mengakui dan mendengarkanku.
Kalau aku terbangun pagi hari,
kudapati diriku bagaikan tawanan di gua gelap,
ular berbisa bergelantungan di atapnya,
dan serangga berlarian di sudutnya.
Kalau aku keluar mencari cahaya,
bayangan tubuhku mengikutiku dan citra jiwaku berjalan di depanku,
menuntunku ke tempat yang tak kukenal,
mengundangku ke tempat yang tak kumengerti,
mengikatku dengan sesuatu yang tak kubutuhkan.
Ketika malam tiba,
kubaringkan diri di atas kasur dari tanduk dan bulu burung unta.
Hasrat dan pikiran yang aneh menggodaku,
menggelisahkanku lalu menggembirakan,
menyakitkan lalu menyenangkan.
Di malam hari,
hantu-hantu masa lalu,
jiwa-jiwa bangsa yang terlupakan,
datang padaku dari lorong-lorong gua.
Kupandangi mereka, mereka juga memandangiku.
Aku berbicara pada mereka, mencoba mengerti, dan mereka menjawab, tersenyum.
Kucoba menyentuh mereka,
tapi mereka sirna bagai asap disapu angin.
Aku orang asing di dunia ini.
Aku orang asing dan tak ada seorang pun di dunia yang mengerti sepatah kata pun dari bahasa jiwaku.
Aku mengembarai belantara hampa dan melihat air sungai menggelembung dan berjingkrak naik dari kedalaman lembah ke puncak-puncak gunung.
Kulihat pepohonan mengembang menjadi daun, bunga dan buah,
lalu melepaskan dedaunannya, semua terjadi dalam satu saat.
Lalu rerantingnya berguguran hancur menjadi seperti liukan ular.
Kulihat burung-burung membumbung naik dan turun,
memekik dan bernyanyi.
Mereka mendarat dan membuka sayapnya,
beralih menjadi wanita-wanita telanjang,
dengan rambut panjang terurai,
kepala terjulur,
menatapku dengan penuh gairah dari belakang kelopak mata yang diwarnai celak,
tersenyum padaku dengan bibir bagaikan mawar madu,
menggapaiku dengan tangan lembut dan diiringi aroma kemenyan dan cendana.
Mereka lalu berlari ketakutan dan bersembunyi dari pandanganku,
sirna bagai kabut,
menyisakan tawa yang menggema di udara untuk mengejek dan mengolokku.
Aku orang asing di dunia ini.
Aku seorang penyair kesepian.
Kutulis prosa kehidupan dalam bait-bait puisi,
dan sajak kehidupan dalam baris-baris prosa.
Akulah orang asing,
dan akan tetap menjadi orang asing sampai kematian merenggut
dan membawaku kembali ke kampung halaman.
No comments:
Post a Comment