Sebuah Refleksi Kehidupan
Atas perjalanan kembaraku selama 47 thn
(dari tgl. 6 Juni 1968 s.d. tgl. 6 Juni 2015)
Tepat pukul 00.00,
kala kesunyian menyelimuti pekatnya malam,
aku duduk termenung.
Kutanya pada diriku,
dimanakah aku berada di saat semua orang hanyut dalam mimpi,
sedang aku sendiri belum merasa terlelap dibuai semilir angin malam.
Aku melihat diriku duduk di antara selaksa manusia yang pulas dalam keheningan,
tapi batinku berkata:
"mengapa engkau hanya seorang diri,
di manakah mereka yang kemarin bersamamu?".
Benar.....
Aku hanya seorang diri,
seolah tenggelam dalam lautan manusia pemimpi.
Seperti seorang pelaut yang terombang-ambing di tengah empasan gelombang,
berpegang pada sebilah balok, berenang merengkuh pantai.
Kesunyian semakin sempurna oleh desiran ombak memecah karang,
ditimpali kicau sang punguk yang hanyut sekejap diterpa sang bayu.
Di pantai tak bernama aku berdiri seorang diri,
memandangi samudera dalam kepekatan malam.
Mataku menerawang, menembus kesenyapan alam,
mencari di antara dinding pemisah waktu yang berlalu,
merentas jubah kehidupan di celah jahitan pada setiap bagian-bagiannya,
sebuah makna keabadian dalam bingkai kefanaanku,
membangun segenggam harapan di antara sejuta kehampaan manusia pemimpi.
Hari ini aku berdiri di pantai tak bernama,
menghampar kepekatan malam sebagai kertas kanvas untuk melukiskan kehidupan.
Walau diriku bukanlah seorang pelukis ulung,
cukuplah kubuat sebuah garis lurus dengan warna-warni yang saling bersambung.
Sebuah dinamika dari masa kembaraku di tengah lautan manusia,
tak peduli aral melintang untuk menghentikan langkahku,
aku terus berjalan hingga embusan nafas terakhir dari sebuah takdirku.
Aku mulai merasa lelah....
lelah dengan sejuta mimpi mereka yang menjadikanku tameng penolak bala,
sebuah harapan untuk menggapai kemenangan dengan menghancurkan diriku.
Aku memang sudah lelah....
lelah dengan sejuta mimpi mereka menggapai kebesaran,
sedang diriku hanyalah sebuah batu pijakan untuk mewujudkan harapan itu,
kala semua tergapai, aku terbuang.....jatuh ke dasar samudera.
Aku pantas lelah......
karena aku membiarkan diriku jadi tangga yang bertumpuh pada tanah berlumpur,
setiap pijakan anak tangga, aku pun tenggelam,
hingga pijakan terakhir kala mereka merengkuh kesenangan,
aku semakin terbenam dalam lumpur hingga nyaris kehilangan asa memandang esok.
Aku memang harus lelah.....
seperti Sang Agung yang tak kuasa memanggul palang menuju puncak tengkorak,
supaya nyata bahwa diriku hanyalah kehampaan,
yang hanya bisa berjalan di atas kaki Sang Pengatur Masa.
Di antara desahan nafasku,
kulafalkan kata :
Tuhanlah bagianku...........
Selain dari Dia, tidak ada yang kuingini di bumi.
Walau tubuh dan jiwaku harus terbenam dalam kehampaan,
namun Allahku tidak menolak diriku.
Hitamnya perjalanan, tak menghalangi pandanganNya untuk menutupi kekuranganku,
kelamnya dosa, tak membatalkan niatNya yang murni untuk tetap mengasihi diriku.
Tuhanlah bagianku.........
Walau tubuh ini harus meregang nyawa karena tombak sang pemfitnah,
Aku akan tetap bertahan hingga detik terakhir kala Dia memanggilku pulang.
Mungkin di sini aku berdiri di pantai tak bernama,
namun di sana.....pada masaNya,
aku akan berdiri di pantai keabadian dan namaku pun akan disebutkan di sana.
Atas perjalanan kembaraku selama 47 thn
(dari tgl. 6 Juni 1968 s.d. tgl. 6 Juni 2015)
Tepat pukul 00.00,
kala kesunyian menyelimuti pekatnya malam,
aku duduk termenung.
Kutanya pada diriku,
dimanakah aku berada di saat semua orang hanyut dalam mimpi,
sedang aku sendiri belum merasa terlelap dibuai semilir angin malam.
Aku melihat diriku duduk di antara selaksa manusia yang pulas dalam keheningan,
tapi batinku berkata:
"mengapa engkau hanya seorang diri,
di manakah mereka yang kemarin bersamamu?".
Benar.....
Aku hanya seorang diri,
seolah tenggelam dalam lautan manusia pemimpi.
Seperti seorang pelaut yang terombang-ambing di tengah empasan gelombang,
berpegang pada sebilah balok, berenang merengkuh pantai.
Kesunyian semakin sempurna oleh desiran ombak memecah karang,
ditimpali kicau sang punguk yang hanyut sekejap diterpa sang bayu.
Di pantai tak bernama aku berdiri seorang diri,
memandangi samudera dalam kepekatan malam.
Mataku menerawang, menembus kesenyapan alam,
mencari di antara dinding pemisah waktu yang berlalu,
merentas jubah kehidupan di celah jahitan pada setiap bagian-bagiannya,
sebuah makna keabadian dalam bingkai kefanaanku,
membangun segenggam harapan di antara sejuta kehampaan manusia pemimpi.
Hari ini aku berdiri di pantai tak bernama,
menghampar kepekatan malam sebagai kertas kanvas untuk melukiskan kehidupan.
Walau diriku bukanlah seorang pelukis ulung,
cukuplah kubuat sebuah garis lurus dengan warna-warni yang saling bersambung.
Sebuah dinamika dari masa kembaraku di tengah lautan manusia,
tak peduli aral melintang untuk menghentikan langkahku,
aku terus berjalan hingga embusan nafas terakhir dari sebuah takdirku.
Aku mulai merasa lelah....
lelah dengan sejuta mimpi mereka yang menjadikanku tameng penolak bala,
sebuah harapan untuk menggapai kemenangan dengan menghancurkan diriku.
Aku memang sudah lelah....
lelah dengan sejuta mimpi mereka menggapai kebesaran,
sedang diriku hanyalah sebuah batu pijakan untuk mewujudkan harapan itu,
kala semua tergapai, aku terbuang.....jatuh ke dasar samudera.
Aku pantas lelah......
karena aku membiarkan diriku jadi tangga yang bertumpuh pada tanah berlumpur,
setiap pijakan anak tangga, aku pun tenggelam,
hingga pijakan terakhir kala mereka merengkuh kesenangan,
aku semakin terbenam dalam lumpur hingga nyaris kehilangan asa memandang esok.
Aku memang harus lelah.....
seperti Sang Agung yang tak kuasa memanggul palang menuju puncak tengkorak,
supaya nyata bahwa diriku hanyalah kehampaan,
yang hanya bisa berjalan di atas kaki Sang Pengatur Masa.
Di antara desahan nafasku,
kulafalkan kata :
Tuhanlah bagianku...........
Selain dari Dia, tidak ada yang kuingini di bumi.
Walau tubuh dan jiwaku harus terbenam dalam kehampaan,
namun Allahku tidak menolak diriku.
Hitamnya perjalanan, tak menghalangi pandanganNya untuk menutupi kekuranganku,
kelamnya dosa, tak membatalkan niatNya yang murni untuk tetap mengasihi diriku.
Tuhanlah bagianku.........
Walau tubuh ini harus meregang nyawa karena tombak sang pemfitnah,
Aku akan tetap bertahan hingga detik terakhir kala Dia memanggilku pulang.
Mungkin di sini aku berdiri di pantai tak bernama,
namun di sana.....pada masaNya,
aku akan berdiri di pantai keabadian dan namaku pun akan disebutkan di sana.
No comments:
Post a Comment