Bahan untuk Panel Diskusi - 17 Agustus 2015
Dalam rangka HUT RI ke-70
Penyelenggara : PKBGT Jemaat Samarinda
Pendahuluan
Salam satu jiwa.....Merdeka!
Hari ini kita merayakan 70 tahun kemerdekaan negeri yang kita cintai. Kita patut bersyukur karena kemerdekaan telah dikaruniakan kepada bangsa kita selama 7 dekade dan diyakini bersama bahwa hal tersebut adalah "berkat rahmat Allah yang mahakuasa".
Kita patut memberikan apresiasi kepada para pendiri negeri ini sehingga mereka tidak mengklaim bahwa kemerdekaan ini karena berkat perjuangan satu kelompok tertentu, suku tertentu atau perjuangan dari satu kelompok agama tertentu; melainkan Rahmat Allah sebagaimana yang dinyatakan dalam naskah Pembukaan UUD 1945, sebegai berikut:
"Atas berkat rahmat Allah yang Mahakuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyaakan dengan ini kemerdekaannya".
Karena itu saya merasa prihatin jikalau masih saja ada sekelompok dari anak negeri ini yang mengklaim bahwa Kemerdekaan Indonesia adalah karena perjuangan kelompok mereka. Adakah mereka lupa pada fakta sejarah bahwa sejak kaum penjajah menginjakkan kaki di bumi persada ini hingga tumbuhnya kesadaraan akan kebangsaan yang satu (1908), perjuangan untuk melepaskan diri dari kungkungan kaum penjajah yang sifatnya primordial ternyata menemui jalan buntu? Apakah kita belum sadar bahwa justru karena penonjolan suku atau pun agama tertentu membuat kaum penjajah berhasil menerapkan politik "ADU DOMBA" sehingga kemerdekaan hanyalah sebuah mimpi?
Barulah ketika kesadaran kebangsaan itu muncul (1908) sehingga seluruh anak negeri ini merasa "senasib-sepenanggungan" dan puncaknya adalah tercetusnya ikrar bersama (1928): "1). Bertanah air satu, 2). Berbangsa satu, 3). Berbahasa satu; yakni INDONESIA" dan di tengah-tengah pencetusan ikrar bersama (28 Oktober 1928), Wage Rudolf Soepratman mempersembahkan buah karyanya yang agung dan mengkumandangkannya lalu dikemudian hari menjadi lagu kebangsaan negeri ini yakni "INDONESIA RAYA". Jiwa lagu ini membakar semangat seluruh komponen bangsa untuk berjuang bersama demi "KEMERDEKAAN".
Karena itu, pada hari Raya Kemerdekaan RI yang ke-70, saya sebagai Hamba Tuhan hendak menegaskan kembali bahwa kemerdekaan bangsa ini adalah berkat rahmat Allah yang Mahakuasa yang telah menumbuhkan kesadaran tentang kesatuan di antara seluruh komponen bangsa ini. Dalam terang iman Kristen saya mau mengatakan bahwa, inilah yang diinginkan oleh Allah saat Ia berfirman: "Alangkah baiknya dan indahnya apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun.....Sebab ke sanalah Tuhan memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya (Mzm. 133)" dan sekaligus implementasi dari doa Tuhan Yesus: "Supaya mereka menjadi satu (Yoh. 17:22)". Dengan demikian kita harus meyakini dan mengimani bahwa sejarah perjuangan bangsa ini untuk meraih kemerdekaannya adalah bagian dari sejarah penyelamatan Allah. Dan karena itu menghargai dan menghormati perjuangan para pendahulu kita (yang sudah dipakai sebagai alat di tangan Tuhan) akan menumbuhkan kecintaan kita terhadap negeri ini dan rasa cinta kita terhadap negeri ini merupakan tanggung jawab sejarah untuk mengisi kemerdekaan dengan "peradaban kasih".
Apa yang harus kita lakukan?
Sepanjang perjalanan bangsa 7 dekade pasca 17 Agustus 1945, negeri ini memang telah mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Kita dapat menyaksikan bagaimana kemajuang yang sudah dialami di bidang pengetahuan dan teknologi yang membuat bangsa ini bukan lagi bangsa yang terkebelakang namun menjadi sebuah bangsa yang sudah dapat berdiri sejajar dengan negara-negara maju. Fasilitas-fasilitas kehidupan modern semakin tumbuh dan berkembang bagaikan jamur di musim penghujan, sehingga negeri ini tidak ketinggalan dari negara-negara di sekitarnya.
Namun di tengah kemajnuan yang begitu pesat, masih begitu banyak anak negeri ini berada di bawah taraf kehidupan yang sangat memprihatinkan. Kemiskinan dan kemelaratan masih menjadi bingkai dari pesatnya kemajuan yang ada, sehingga kita bertanya: untuk siapa sesungguhnya kemajuan ini? Bila kesejahteraan tidak merata atau tidak dinikmati oleh seluruh anak negeri ini, tidakkan hal ini menjadi pertanda bahwa nilai-nilai luhur dari Pancasila dan UUD 1945 belum terlaksana sebagaimana mestinya? Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan rasa cinta kita kepada negei ini jikalau kekacaan dan kemajuan negeri ini berada di tangan segelintir orang saja dari anak bangsa? Tidakkah kesenjangan sosial yang terjadi menjadi sinyal bahwa negeri ini memang telah merdeka dari penjajahan asing, namun di tengah menikmati kemerdekaan yang ada ternyata sebagian besar rakyatnya masih terjajah oleh saudaranya sendiri?
Apa yang bisa kita lakukan?
Ketika negeri ini membutuhkan keterlibatan warganya untuk mengisi kemerdekaan, segelintir orang mengeruk kekayaan bumi persada untuk kepentingan diri dan kelompoknya, bahkan mengatasnamakan agama lalu mereka menghalalkan tindakan merampas hak hidup sesamanya yang berbeda keyakinan? Tidakkah hal ini mencederai perjuangan bersama yang sudah terbangun dari awal perjuangan merebut kemerdekaan negeri ini? Tidakkah tindakan seperti itu akan melemahkan upaya membangun peradaban kasih yang melihat negeri ini sebagai "rumah bersama"?.
Saya kini merasa kuatir, jangan sampai kita yang notabene "PENGIKUT YESUS" justru ikut merusak negeri ini? Jangan sampai "SARAF MALU" kita telah ikut terputus, sehingga kita tanpa merasa bersalah menjadi pelanggar hukum dan tatanan hidup bersama? Jangan sampai kita turut memperparah penyakit masyarakat sehingga mati rasa terhadap nilai-nilai moral dan etika?
Saya kini merasa kuatir, bahwa justru "PENGIKUT YESUS" dari waktu ke waktu menjadi motor penggerak untuk melemahkan semangat kebersamaan dengan tidak mau ambil bagian dalam perjuangan bersama demi kemanusiaan yang beradab? Jangan sampai kita justru yang melemahkan semangat tenggang rasa antar warga dengan sikap exclusive (tertutup) sehingga tanpa sadar kita telah menumbuhkan rasa benci di atara sesama dan hal ini menciderai kekurunan hidup bertetangga dan bermasyarakat?
Jika demikian adanya, maka saya dapat mengatakan bahwa ternyata kita belum merdeka dari kuasa dosa yang merajalela di negeri ini. Sadar atau tidak, ternyata bahwa kita masih belum terlibat tuntas dalam mengelolah kemerdekaan yang adalah perjuangan bersama yang dirahmati Allah, dan hal ini menjadi pertanda bahwa kita belum sungguh-sungguh (sepenuh hati) mewujudkan cinta kepada negeri ini yang telah direbut dan dibangun di atas pengorbanan harta, jiwa dan raga dari para pendahulu kita.
Bagaimana seharusnya Pengikut Yesus memposisikan dirinya?
Saya terkesan pasa sebuah catatan, dan saya setuju akan hal tersebut. Mudah-mudahan hal ini menggelitik kita semua, yakni kecenderunggan Umat Tuhan (orang Kristen) untuk tidak mau tahu hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan bersama sebagai anak bangsa, terlebih pada hal-hal yang berbau "POLITIK". Boleh jadi bahwa masih ada di antara kita yang terjebak dalam pola pikir "tabu bagi GEREJA untuk membicarakan hal tersebut".
Mari kita lihat catatan tersebut!
Pada tahun 1942, di masa awal masa penjajahan Jepang (NIPPON); Amir Syarifuddin Harahap berbicara dalam Perayaan Natal BPPKK (Badan Persiapan Persatuan Kaum Kristen). Tokoh Kristen yang kemudian menjadi Perdana Menteri RI itu menghimbau agar warga Gereja (umat Kristen/Pengikut Yesus) tidak hanya memikirkan "ALAM BAKA", tetapi "harus berdiri dengan kedua kakinya di tengah masyarakat yang bergolak". Amir berkata demikian karena umat Kristen Indonesia masa itu cenderung apatis terhadap dinamika masyarakat. Gereja hanya fokus pada hal-hal ritual (Rohani) dan merasa tabu bersentuhan dengan hal-hal yang berbau duniawi.
Apa yang disampaikan oleh sang Maestro (Amir Syarifuddin Harahap) menjadi cikal bakal pencetusan berdirinya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan sekaligus membuka jalan bagi pembentukan Dewan Gereja-gereja Di Indonesia (DGI, yang sekarang menjadi PGI). Ucapan Sang Maestro membuka mata umat bahwa rana hidup bersama membangun Indonesia yang berdaulat adalah bagian dari Panggilan Gereja, dan karena itu Gereja harus melibatkan diri bahkan menjadi motor penggerak utama.
Namun puluhan tahun kemudian, setelah Indonesia merdeka, kecenderungan Gereja yang hanya memikirkan hal-hal ritual atau rohani kembali menjadi masalah. Banyak Gereja mengaku "menjunjung Alkitab", tetapi sayang cenderung apatis terhadap persoalan bangsa Gereja hanya berpikir tentang dirinya. Sidang-sidang Gerejawi hanya fokus membirakan hal-hal yang berkaitan dengan Ibadah, Pekabaran Injil dan pelayanan diakonat yang sifatnya internal anggotanya. Soal mengisi kemerdekaan dengan keterlibatan di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara nyaris tidak pernah dikaji atau ditekankan.
Ada dua sisi ekstrem yang kita dapat saksikan dari kehidupan ber-Gereja.
Pada satu sisi, terdapat warga Gereja yang siap mati karena paham dogma gerejanya yang menyatakan bahwa tabu hukumnya untuk melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang berbau politik. Kelompok ini sangat menekankan status diri mereka sebagai anak-anak Tuhan sehingga berusaha membangun tembok yang kokoh agar kehidupan mereka tidak terkontaminasi dengan hal-hal yang bersifat keduniaan. Karena itu, mereka hanya menekankan hal-hal yang bersifat vertikal (hubungannya dengan Tuhan), lalu tidak menaruh kepedulian terhadap panggilan hidup berbangsa dan bernegara; termasuk, tidak mau membayar pajak, tidak mau bergotong royong untuk kemaslahatan hidup bersama, tidak mau memberi hak suara mereka pada kegiatan-kegiatan kenegaraan (pemilu), dan hal-hal lain yang bersentuhan dengan dunia politik.
Pada sisi yang lain, terdapat pula warga Gereja yang terlalu memperhatikan hal-hal duniawi lalu tidak mau ambil pusing dengan kehidupan ritual. Kelompok ini menganggap kehidupan beragama adalah formalitas belaka. Yang penting sudah menjadi anggota Gereja, itu sudah lebih dari cukup. Bahkan yang fatal ialah, menganggap kehidupan ritual sebagai penghalang bagi mereka untuk meraih kesuksesan. Orang yang demikian, KTP tercatat Kristen, namun hati dan perilaku hidup mereka bertolak-belakang dengan nilai-nilai hidup Kristiani. Yang demikian hanya mempertopengkan agama, tetapi menghalalkan segala cara untuk kesenangan duniawi.
Pertanyaannya sekarang:
Apa yang harus dilakukan oleh Gereja?
Gereja harus menyuarakan Suara Kenabiannya (Profetis).
Ingat:
Warga Gereja memiliki status ganda, yaitu sebagai "anak Tuhan" dan sekaligus sebagai "anak Bangsa". Oleh karena itu, warga Gereja harus taat kepada Tuhannya tetapi juga harus bertanggung jawab penuh sebagai bagian dari anak bangsa. Sebagai anak bangsa, warga Gereja harus bertanggung jawab untuk bersikap taat kepada pemerintah dalam segala hal (Titus 3:1). Sebagai anak Tuhan, warga Gereja harus siap melakukan pekerjaan yang baik sebagaimana yang dikehendakki oleh Tuhan.
Satu contoh, dan bisa jadi gambaran tersebut adalah realita dari sebagian besar Gereja di Indonesia. Orang Krsiten yang ada di Pulau Kreta yang mempunyai nama jelek dalam masyarakat. Mereka tidak berperilaku baik terhadap negara maupun terhadap sesama. Mereka secara tidak langsung dianggap menyangkali status mereka sebagai anak-anak Tuhan, yang seharusnya menjadi berkat bagi negeri di mana mereka berada, namun justru sebaliknya, mereka menjadi batu sandungan.
Rasul Paulus menasehati Titus agar mengingatkan orang-orang Kreta agar tunduk kepada pemerintah dan penguasa. Mereka harus sadar bahwa Tuhan menempatkan mereka untuk mengusahakan dan memberikan sumbangsih positif bagi bangsanya. Orang Kristen harus taat kepada pemerintah dan memperhatikan sesama serta mengasihi dengan kasih Agape, dengan memperhatikan kebutuhan rohani dan kebutuhan jasmani orang lain. Orang Kristen adalah anak-anak Tuhan dan sekaligus anak bangsa yang harus memperhatikan keseimbangan dalam kehidupan.
Warga Gereja yang adalah PENGIKUT YESUS, hendaknya memperhatikan kehidupan yang berketeladanan sebagaimana teladan yang telah ditinggalkan oleh Tuhan Yesus. Keteladanan bukan hanya dalam hal berbuat baik dengan berkata santun dan mengulurkan tangan untuk menolong sesama, tetapi juga kesiapan dan kesediaan untuk menanggung resiko dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan dan kejujuran. Cinta kepada tanah air terwujud dalam kesungguhan kita untuk mempertahankan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagai HARGA MATI. Kesungguhan kita teruji karena dewasa ini kita sadari pula ada usaha-usaha untuk merongrong Dasar Negara, merubah UUD dengan Syariat Agama dan menghancurkan nilai-nilai luhur Bhinneka Tunggal Ika. Kalau dasar negara rapuh dan UUD 1945 tergantikan, akan tumbanglah bangunan NKRI.
Dengan cinta terhadap negeri ini, Gereja memilih untuk mengisi kemerdekaan dengan rela melakukan apa yang baik (1 Ptr. 2:13-17), yaitu dengan: membangun persaudaraan, bukan mencerai-beraikan; menghormati sesama, bukan mencela atau merendahkan; mengasihi sesama, bukan menyingkirkan orang lain karena berbeda suka-agama-ras-golongan. Warga Gereja yang adalah yang adalah juga sebagai warga negara yang bertanggung jawab, harus memberika apa yang wajib diberikan kepada negara, dan kepada Allah apa yang wajib diberikan kepada Allah (Mat. 22:21).
Kita harus berani mengatakan bahwa iman akan Yesus Kristus adalah sungguh-sungguh baik dan sempurna untuk membangun negeri ini, karena akan menghadirkan terang bagi kebaikan bersama. Iman Kristen justru akan membantu untuk membangun masyarakat sedemikian rupa, sehingga bangsa ini dapat melakukan perjalanan menuju masa depan penuh harapan.
Dalam merayakan 7 dekade Kemerdekaan RI, maka ada ajakan bersama sebagai warga Gereja agar mengisi kemerdekaan dengan membangun PERADABAN KASIH. Untuk itu, hendaknya:
Pertama:
Dimulai dalam keluarga. Perlu ditumbuh-kembangkan rasa cinta kepada sesama dan lingkungan kehidupan di mana kita berada, agar anak-anak yang kita cintai hidup dalam PERADABAN KASIH, memiliki rasa memiliki dan dimiliki negeri ini.
Kedua
Masyarakat sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya pribadi, maka perlu diperhatikan dan dihembuskan atmosfir yang mendukung suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik dan benar. Hendaknya kita berani berpegang pada prinsip hidup yang mengutamakan kesejahteraan umum, dengan menghidupi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai perwujudan cinta kita kepada negeri ini secara kritis dan bertanggung jawab.
Ketiga
Gereja sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pembentukan karakter yang berketeladanan. Gereja harus lebih pro-aktif dalam menyusun konsep-konsep strategis dari sisi pemehaman iman Kristen tentang tugas-tugas panggilan hidup bergereja dalam hubungannya dengan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dengan demikian, Gereja akan menjadi pandu dalam pembentukan jiwa PATRIOTISME TAKUT yang AKAN TUHAN.
Akhirnya
Marilah kita yang tinggal di negeri ini, yang memiliki tanggung jawab sejarah pada negeri ini, yang dihidupi oleh Tuhan dalam negeri ini; marilah kita mencintainya, mengisinya dengan kemerdekaan sejati, dengan melakukan segala perbuatan baik yang menghasilkan kebaikan bagi semua. J.F. Kennedy meninggalkan pesan ini:
"Don't ask what do country for you, but you ask what do you for your country".
Selamat berproficiat atas kemerdekaan yang dikaruniakan Allah kepada kita.
Selamat mengisi kemerdekaan dengan peradaban kasih.
Dirgahayu Indonesiaku.......jayalah NEGERIKU.
No comments:
Post a Comment