Renungan Malam, Senin - 26 Oktober 2015
Sebuah Refleksi Pribadi
"Jika anda ingin mendapat nilai yang baik di mata Tuhan, maka latihlah dirimu untuk belajar apa yang diinginkanNya dan bersukacitalah jika engkau diuji olehNya" - Pdt. Joni Delima.
Bacaan : 1 Petrus 1 : 3 - 12
Mendahului perenungan atas perikop bacaan ini, saya hendak mengajak anda untuk sejenak bediam diri, saya berharap anda bermeditasi; berusaha menempatkan diri anda sebagai bagian dari orang-orang yang mengalami peristiwa yang hendak saya ceritakan ini.
Tgl. 13 Oktober 2015, sehari sebelum Tahun Baru Islam - 1 Muharram 1437 Hijriah (14 Oktober 2015), terjadi peristiwa yang menodai ke-Bhinnekaan di negeri ini. Sekelompok orang yang lengkap dengan senjata (parang, tombak, bambu runcing bahkan bom molotov) melakukan pergerakan tanpa mampu dihalau oleh aparat (Polisi dan TNI) sehingga hal yang tidak diharapkan pun terjadi. Peristiwa tersebut adalah peristiwa pembakaran Gedung Gereja di Kabupaten Aceh Singkil (Aceh).
Jujur saya akui bahwa saya menangis.
Hati saya tersentuh oleh saudara seiman yang sedang berlutut di dalam gedung itu, dengan khusyuk berdoa berharap keajaiban. Hati saya tersentuh oleh tangisan dan ratapan kaum wanita dan anak-anak pada saat detik-detik gedung itu dibakar hingga rata dengan tanah. Hati saya tersentuh oleh sikap diam, tanpa perlawanan; namun di tengah kondisi yang mencekam itu mereka tetap melantunkan pujian diringi airmata.
Dan oleh kenyataan itu, saya pun menulis sebuah refleksi jiwa:
"Di Manakah Engkau"
(Samarinda, 14 Oktober 2015 - Pdt. Joni Delima)
Tuhan...
Dalam batas kewajaran,
aku masih pasrah walau hidupku dinistakan.
Dalam batas kewajaran,
aku masih bertahan walau harus menanggung nestapa.
Dalam batas kewajaran,
aku masih mampu berdiri walau menahan gelora kebencian.
Dalam batas kewajaran,
aku masih mampu berkata: "Jadilah kehendakMu".
Tapi sekarang....
Melampaui batas kewajaran,
masihkah aku harus pasrah kala hidupku dinistakan?
Melampaui batas kewajaran,
masihkah aku harus tetap bertahan menanggung nestapa?
Melampaui batas kewajaran,
masihkah aku harus tetap tegak berdiri menahan gelora kebencian?
Melampaui batas kewajaran,
masihkah aku harus tetap berkata: "Jadilah kehendakMu"?
Di sini.......di atas puncak ketidak-kewajaran.
Aku berdiri sambil menepuk dada:
maafkanlah aku jika aku berteriak menuntut keadilanMu,
maafkanlah aku jika aku sedikit tergoncang bagai orang yang hilang kesadaran,
merasa bahwa Tuhanku telah pergi dan tak menghiraukanku lagi,
maafkanlah aku jika aku seperti orang yang kesurupan mencari kebenaran,
lalu kutampar wajahku,
karena merasa dibodohi oleh keindahan sorga yang terlampau jauh di sana,
maafkanlah aku jika aku berkata bahwa penyembahanku selama ini hanyalah kesia-siaan.
Sungguh di sini....
aku merasa sepi,
karena aku merasa diri ditinggalkan oleh Tuhanku,
tersisih dalam rumah sendiri oleh kebencian tanpa belas kasihNya.
Sungguh di sini...
aku berkata pada diriku;
mengapa engkau masih berharap?
Sedang mata Tuhanmu mulai rabun,
wajahmu tersamar di pelupuk mataNya
walau sekujur tubuhmu penuh luka,
hal itu tak tampak lagi olehNya.
Sungguh di sini....
aku berkata pada diriku;
mengapakah engkau masih berharap?
Sedang tangan Tuhanmu terlampau pendek untuk menyentuh tubuhmu,
terlampau pendek untuk membalut luka batinmu.
Tangan itu tak mampu merangkulmu,
untuk menarik dirimu masuk dalam damaiNya.
Melampaui batas kewajaran....
aku berteriak:
"Di manakah Engkau?"
Ketika pedang terhunus mengejar umatMu,
mengapa tanganMu tak terancung menentang para pembenciMu,
seperti Engkau menentang Firaun,
dan dengan tangan yang kokoh Engkau membebaskan umatMu,
menuntunnya sepanjang peziarahan padang gurun,
dan menghalau semua bangsa yang merintangi jalan mereka?
"Di manakah Engkau?"
Ketika godam dan martil menghantam bangunan tempat namaMu dipuji dan diagungkan,
mengapa Engkau membisu dan tidak menghardik mereka,
seperti Engkau menghardik lautan,
sehingga terbelah dua menjadi tanah kering,
lalu umatMu berjalan di tanah yang rata,
tetapi musuh-musuhMu tenggelam dalam lumpur,
dan dihempaskan oleh gelombang samudera?
"Di manakah Engkau?"
Ketika api melahap habis dan asap pekat membumbung naik,
mengapa Engkau hanya memandang dan tidak bertindak,
seperti saat Engkau bertindak di Yerikho,
hanya dengan pujian yang membumbung naik,
tembok yang kokoh pun runtuhlah?
Maafkanlah aku jika aku bertanya:
"Di manakah Engkau?"
Lalu izinkan aku berkata:
Tuhanku....
Jangan Engkau menutup mata dan telingaMu,
dan janganlah Engkau berpangku-tangan menyaksikan derita umatMu.
Jika Engkau mau, maka Engkau dapat melakukan lebih dari yang kami harap.
Tuhanku...
"Di manakah Engkau?"
Saudaraku....
Memang sepintas agak konyol....tapi itulah refleksi jiwa dari hati yang tertekan. Namun bukan berarti bahwa keyakinan akan kuasa dan kasih Tuhan jadi sirna!
Pertanyaannya sekarang:
Apa yang hendak dikatakan oleh Tuhan melalui realita tersebut?
Saudaraku...
Saya mau katakan bahwa dalam hidup ini, memang banyak hal yang harus kita lewati. Jangan pernah berharap bahwa langkah kita mudah! Kerikil-kerikil tajam bahkan onak dan duri, menghalang laju perjalanan kita; dan hal ini adalah realita yang tidak bisa dihindari. Terlebih, realita sebagai anak-anak Tuhan (pengikut Tuhan Yesus). Gesekan bahkan kebencian dan penolakan dunia terhadap anak-anak Tuhan sudah menjadi menu harian.
Namun ada satu hal yang saya sungguh yakini ketika diri saya harus diperhadapkan dengan kondisi yang amat sulit, yakni Tuhan sedang memberi kesempatan kepada saya untuk membuktikan kebenaran firmanNya; bahwa sama seperti dunia membenci Yesus, demikian juga dunia akan membenci para pengikutNya. Yang saya maksudkan di sini adalah, ketika dunia tidak lagi memberi peluang dan tidak lagi bisa diharapkan, sementara Iblis terus berkeliaran dan membisikan segala kenikmatan dan kenyamanan hidup dengan maksud agar saya menjadi goyah dan lemah; pada saat itulah saya sedang diperhadapkan dengan ujian iman. Dan saya harus kuat dan tegas untuk mengatakan "Tidak" pada semua tawaran Iblis, walau konsekwensi yang harus saya terima adalah "Menderita". Tetapi, bagi saya itulah kebahagiaan dan itulah kebenaran firman Tuhan, sebab dapatkah dikatakan sebuah kebajikan jika seseorang menderita karena berbuat jahat? Lebih baik menderita karena berbuat baik jikalau hal itu dikehendaki Allah, daripada menderita karena berbuat jahat (1 Ptr. 3:17).
Saudaraku...
Apapun bentuk ujian yang menantang imanmu, engkau harus bertahan; dan itulah harga yang harus anda bayar. Jika anda mengharapkan sesuatu yang berkualitas, maka anda harus berani membayar dengan harga yang mahal. Tetapi jika tidak, maka anda akan mendapatkan sesuatu yang mudah rusak dan hampa. Oleh karena itu, Petrus melihat sebuah ujian sebagai jalan untuk menempah hidup anda dan sekaligus sebagai sarana pembuktian kualitas iman: "Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu - yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api - sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diriNya (1 Ptr. 1:7)".
Selamat melatih diri untuk diuji olehNya. Itulah harga yang harus anda bayar dalam mengikut Dia.
Sebuah Refleksi Pribadi
"Jika anda ingin mendapat nilai yang baik di mata Tuhan, maka latihlah dirimu untuk belajar apa yang diinginkanNya dan bersukacitalah jika engkau diuji olehNya" - Pdt. Joni Delima.
Bacaan : 1 Petrus 1 : 3 - 12
Mendahului perenungan atas perikop bacaan ini, saya hendak mengajak anda untuk sejenak bediam diri, saya berharap anda bermeditasi; berusaha menempatkan diri anda sebagai bagian dari orang-orang yang mengalami peristiwa yang hendak saya ceritakan ini.
Tgl. 13 Oktober 2015, sehari sebelum Tahun Baru Islam - 1 Muharram 1437 Hijriah (14 Oktober 2015), terjadi peristiwa yang menodai ke-Bhinnekaan di negeri ini. Sekelompok orang yang lengkap dengan senjata (parang, tombak, bambu runcing bahkan bom molotov) melakukan pergerakan tanpa mampu dihalau oleh aparat (Polisi dan TNI) sehingga hal yang tidak diharapkan pun terjadi. Peristiwa tersebut adalah peristiwa pembakaran Gedung Gereja di Kabupaten Aceh Singkil (Aceh).
Jujur saya akui bahwa saya menangis.
Hati saya tersentuh oleh saudara seiman yang sedang berlutut di dalam gedung itu, dengan khusyuk berdoa berharap keajaiban. Hati saya tersentuh oleh tangisan dan ratapan kaum wanita dan anak-anak pada saat detik-detik gedung itu dibakar hingga rata dengan tanah. Hati saya tersentuh oleh sikap diam, tanpa perlawanan; namun di tengah kondisi yang mencekam itu mereka tetap melantunkan pujian diringi airmata.
Dan oleh kenyataan itu, saya pun menulis sebuah refleksi jiwa:
"Di Manakah Engkau"
(Samarinda, 14 Oktober 2015 - Pdt. Joni Delima)
Tuhan...
Dalam batas kewajaran,
aku masih pasrah walau hidupku dinistakan.
Dalam batas kewajaran,
aku masih bertahan walau harus menanggung nestapa.
Dalam batas kewajaran,
aku masih mampu berdiri walau menahan gelora kebencian.
Dalam batas kewajaran,
aku masih mampu berkata: "Jadilah kehendakMu".
Tapi sekarang....
Melampaui batas kewajaran,
masihkah aku harus pasrah kala hidupku dinistakan?
Melampaui batas kewajaran,
masihkah aku harus tetap bertahan menanggung nestapa?
Melampaui batas kewajaran,
masihkah aku harus tetap tegak berdiri menahan gelora kebencian?
Melampaui batas kewajaran,
masihkah aku harus tetap berkata: "Jadilah kehendakMu"?
Di sini.......di atas puncak ketidak-kewajaran.
Aku berdiri sambil menepuk dada:
maafkanlah aku jika aku berteriak menuntut keadilanMu,
maafkanlah aku jika aku sedikit tergoncang bagai orang yang hilang kesadaran,
merasa bahwa Tuhanku telah pergi dan tak menghiraukanku lagi,
maafkanlah aku jika aku seperti orang yang kesurupan mencari kebenaran,
lalu kutampar wajahku,
karena merasa dibodohi oleh keindahan sorga yang terlampau jauh di sana,
maafkanlah aku jika aku berkata bahwa penyembahanku selama ini hanyalah kesia-siaan.
Sungguh di sini....
aku merasa sepi,
karena aku merasa diri ditinggalkan oleh Tuhanku,
tersisih dalam rumah sendiri oleh kebencian tanpa belas kasihNya.
Sungguh di sini...
aku berkata pada diriku;
mengapa engkau masih berharap?
Sedang mata Tuhanmu mulai rabun,
wajahmu tersamar di pelupuk mataNya
walau sekujur tubuhmu penuh luka,
hal itu tak tampak lagi olehNya.
Sungguh di sini....
aku berkata pada diriku;
mengapakah engkau masih berharap?
Sedang tangan Tuhanmu terlampau pendek untuk menyentuh tubuhmu,
terlampau pendek untuk membalut luka batinmu.
Tangan itu tak mampu merangkulmu,
untuk menarik dirimu masuk dalam damaiNya.
Melampaui batas kewajaran....
aku berteriak:
"Di manakah Engkau?"
Ketika pedang terhunus mengejar umatMu,
mengapa tanganMu tak terancung menentang para pembenciMu,
seperti Engkau menentang Firaun,
dan dengan tangan yang kokoh Engkau membebaskan umatMu,
menuntunnya sepanjang peziarahan padang gurun,
dan menghalau semua bangsa yang merintangi jalan mereka?
"Di manakah Engkau?"
Ketika godam dan martil menghantam bangunan tempat namaMu dipuji dan diagungkan,
mengapa Engkau membisu dan tidak menghardik mereka,
seperti Engkau menghardik lautan,
sehingga terbelah dua menjadi tanah kering,
lalu umatMu berjalan di tanah yang rata,
tetapi musuh-musuhMu tenggelam dalam lumpur,
dan dihempaskan oleh gelombang samudera?
"Di manakah Engkau?"
Ketika api melahap habis dan asap pekat membumbung naik,
mengapa Engkau hanya memandang dan tidak bertindak,
seperti saat Engkau bertindak di Yerikho,
hanya dengan pujian yang membumbung naik,
tembok yang kokoh pun runtuhlah?
Maafkanlah aku jika aku bertanya:
"Di manakah Engkau?"
Lalu izinkan aku berkata:
Tuhanku....
Jangan Engkau menutup mata dan telingaMu,
dan janganlah Engkau berpangku-tangan menyaksikan derita umatMu.
Jika Engkau mau, maka Engkau dapat melakukan lebih dari yang kami harap.
Tuhanku...
"Di manakah Engkau?"
Saudaraku....
Memang sepintas agak konyol....tapi itulah refleksi jiwa dari hati yang tertekan. Namun bukan berarti bahwa keyakinan akan kuasa dan kasih Tuhan jadi sirna!
Pertanyaannya sekarang:
Apa yang hendak dikatakan oleh Tuhan melalui realita tersebut?
Saudaraku...
Saya mau katakan bahwa dalam hidup ini, memang banyak hal yang harus kita lewati. Jangan pernah berharap bahwa langkah kita mudah! Kerikil-kerikil tajam bahkan onak dan duri, menghalang laju perjalanan kita; dan hal ini adalah realita yang tidak bisa dihindari. Terlebih, realita sebagai anak-anak Tuhan (pengikut Tuhan Yesus). Gesekan bahkan kebencian dan penolakan dunia terhadap anak-anak Tuhan sudah menjadi menu harian.
Namun ada satu hal yang saya sungguh yakini ketika diri saya harus diperhadapkan dengan kondisi yang amat sulit, yakni Tuhan sedang memberi kesempatan kepada saya untuk membuktikan kebenaran firmanNya; bahwa sama seperti dunia membenci Yesus, demikian juga dunia akan membenci para pengikutNya. Yang saya maksudkan di sini adalah, ketika dunia tidak lagi memberi peluang dan tidak lagi bisa diharapkan, sementara Iblis terus berkeliaran dan membisikan segala kenikmatan dan kenyamanan hidup dengan maksud agar saya menjadi goyah dan lemah; pada saat itulah saya sedang diperhadapkan dengan ujian iman. Dan saya harus kuat dan tegas untuk mengatakan "Tidak" pada semua tawaran Iblis, walau konsekwensi yang harus saya terima adalah "Menderita". Tetapi, bagi saya itulah kebahagiaan dan itulah kebenaran firman Tuhan, sebab dapatkah dikatakan sebuah kebajikan jika seseorang menderita karena berbuat jahat? Lebih baik menderita karena berbuat baik jikalau hal itu dikehendaki Allah, daripada menderita karena berbuat jahat (1 Ptr. 3:17).
Saudaraku...
Apapun bentuk ujian yang menantang imanmu, engkau harus bertahan; dan itulah harga yang harus anda bayar. Jika anda mengharapkan sesuatu yang berkualitas, maka anda harus berani membayar dengan harga yang mahal. Tetapi jika tidak, maka anda akan mendapatkan sesuatu yang mudah rusak dan hampa. Oleh karena itu, Petrus melihat sebuah ujian sebagai jalan untuk menempah hidup anda dan sekaligus sebagai sarana pembuktian kualitas iman: "Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu - yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api - sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diriNya (1 Ptr. 1:7)".
Selamat melatih diri untuk diuji olehNya. Itulah harga yang harus anda bayar dalam mengikut Dia.
No comments:
Post a Comment