Laman

Sunday, October 4, 2015

Tujuh Tegoran

Kahlil Gibran - Mirror of the Soul
Kolaborasi dengan Sang Maestro

(Tulisan yang dibold tegak adalah refleksi pribadiku dari setiap ucapan Sang Maestro. Dan ini adalah pengembangan yang sifatnya reflektif dari khotbah untuk hari minggu tgl 4 Oktober 2015 dengan bacaan utama - Ibr. 1 : 1 - 4)




Kutegor jiwaku tujuh kali!

Yang pertama:
Ketika aku berupaya meninggikan diri sendiri dengan mengeksploitasi yang lemah


Terkadang aku melihat seorang dengan atribut kebesaran,
sederet gelar di depan dan di belakang nama diri,
dengan bangga mempertontonkan kelebihannya,
membesar-besarkan masa lalu sebagai prestasi hidup yang tak tertandingi.

Aku terkadang hanyut dalam permainan yang tak berkemanusiaan,
merasa bangga untuk menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Walau kusadari bahwa tingkah-langkah mereka jadi kekejian di mata Sang Khalik,
tapi kebesaran dan kenikmatan duniawi membuat hati risih untuk menjauhi mereka.
Aku tahu bahwa mereka sedang membangun kerajaannya,
dan dalam istananya tak ada ruang bagi kaum yang lemah,
untuk menikmati bagaimana rasanya menjadi pembesar.

Karena kebesaran diri,
mereka menjadi pribadi yang sombong dengan segala atribut,
dan menilai bahwa kelemahan pada yang lain adalah sebuah takdir,
walau sebongkah emas dilemparkan di depannya,
takdir tak bisa diubah.
Karenanya kaum lemah tereksploitasi karena takdirnya,
untuk menjadi pemuas nafsu bagi mereka yang merasa diri besar.
Tak heran jika kebesaran membuat orang lupa diri,
lalu memandang hina dan nista kaum lemah.


Yang kedua:
Ketika aku pura-pura timpang di hadapan mereka yang lumpuh.



Aku melihat lagi sebuah kenyataan di sekitarku,
mereka yang melihat dirinya sebagai bagian dari sesamanya.
Ada rasa simpati terhadap kaum lemah,
tapi kehilangan kepercayaan diri untuk melakukan perubahan.

Bagiku rasa simpati itu baik,
tetapi jauh lebih baik dan lebih mulia sebuah empati.

Empati adalah pengosongan diri,
juga sebuah tekad yang mulia untuk berjuang tanpa berharap pamrih,
membiarkan nilai kebesaran ternoda dalam kehinaan sesama,
berbagi rasa tanpa merasa risih karena perbedaan derajat.

Tapi inilah realita yang tampak di panggung kehidupan.
Sebuah kemunafikan yang tersimpan rapi dalam jiwa agamais.
Menampakkan keperkasaan diri saat berkepentingan,
namun timpang saat menimbun harta serta duduk di takhta kebesaran,
sehingga kepedulian dengan kaum lemah hanya sebuah fatamorgana.


Yang ketiga:
Ketika, setelah diberi pilihan, aku memilih yang mudah ketimbang yang sulit.

Aku semakin heran dengan jalan pikiran mereka yang merasa diri Pembesar,
bingung dalam menyusuri alur nurani mereka yang menilai diri Mulia.
Dan bagiku: Kebesaran mereka adalah sebuah kebodohan,
dan kemuliaan mereka justru sebuah kenistaan.
Sebab kecenderungan mereka hanya pada kemudahan,
tiada kesiapan hati untuk menerima kesulitan.

Aduhai...
Engkau sahabatku yang merasa diri besar dan mulia,
engkau tak lebih dari sang wali negeri yang menghakimi Tuhanku.
Tahu tentang kebenaran,
tapi tiada keberanian menanggung resiko untuk tegak dalam kejujuran.
Sebuah baki dengan air jadi sarana pembenaran diri,
engkau celupkan tanganmu dan berkata:
"aku tidak bertanggung jawab atas darah yang tertumpahkan".

Engkau yang besar dan mulia ternyata tidak lebih dari seorang pecundang;
tak teguh di jalan kebenaran,
tak tega mengikuti nurani untuk berjuang dalam kejujuran,
karena jalan itu mendatangkan petaka bagi kebesaran dan kemuliaanmu.

Namun aku dihiburkan oleh pilihan Tuhanku.
Mataku dicelikkan oleh jalan yang ditempuhNya.
Dibisikkan kata di telingaku:
"justru di jalan yang penuh kemudahan, kebesaran diri jadi sirna;
dan di tempat yang penuh kenyamanan menjadi gerbang menuju pada kehancuran.

Kesulitan adalah batu uji untuk meraih penghargaan,|
dan derita hanyalah cobaan sesaat untuk sebuah kemuliaan yang abadi.

KebesaranKU ketika memilih untuk berjuang demi kaum lemah,
dan kemuliaanKU terletak dalam kerelaan menerima derita di jalan kebenaran.
Sebab lebih mulia mati karena kebaikan dan kejujuran,
dari pada binasa karena pembiaran kebenaran terinjak-injak oleh keserakahan".


Yang keempat:
Ketika aku membuat sesuatu kekeliruan, kuhibur diri sendiri dengan kekeliruan orang lain.

Aku tergelitik ujaran Sang Maestro,
dan dengan lapang dada kuakui kecenderungan hati.

Saat kelemahan diri tersingkapkan,
rahasia hidup jadi pergunjingan di antara saudara,
terlalu berat hati ini menerima teguran,
dan dada ini sesak oleh sejuta nasehat.
Yang terjadi adalah pembenaran diri,
dengan menyebutkan 1001 macam kebobrokan orang lain;
lalu mengatakan bahwa diriku lebih baik dari pada mereka.

Benar bahwa hal ini adalah penghiburan untuk menutupi aib diri,
sebuah mutiara bahasa yang tak bernilai,
terucap karena ketakutan tak beralasan.

Dan kini aku tersadar.
Teringat aku akan ucapan Tuhanku:
"kuman di seberang laut tampak di mata, namun balok di mata sendiri tiadalah tampak".

Wahai sahabatku,
dan pasanglah telingamu hai batinku.
Hari ini tiada waktu untuk berkelit,
sebelum esok datang,
jujurlah pada nurani.

Karena itu;
bersihkanlah hatimu untuk berkata benar pada tingkahmu;
dan berilah dirimu diperlakukan kasar oleh nurani karena ketidak-jujuranmu.
Sebab pengakuan diri yang tulus adalah awal sukses yang besar,
namun pembenaran diri;
dengan bersembunyi di balik kelemahan orang lain adalah akhir dari sebuah kehidupan.


Yang kelima:
Ketika aku bersikap jinak karena ketakutan, lalu mengklaim diriku kuat dalam kesabaran.

Terkadang aku melihat seorang yang penuh kewibawaan,
tertipu mata karena tampilan melebihi orang kebanyakan.
Dengan tenang ia memberi jawab atas semua permasalahan hidup,
dan begitu lihai dalam memberi arahan saat hidup terbentur prahara.
Tak terlihat kerut di wajahnya tanda kekuatiran,
tatapan matanya begitu tajam menembus relung jiwa,
sehingga aku terpukau kagum dibuatnya.

Tapi ternyata ia begitu lemah dari yang kusangkakan.
Hatinya rapuh,
batinnya gersang bagai gurun tak terjamah setetes embun.

Aku pun berkata;
ia adalah seorang yang munafik,
yang bersembunyi dibalik kelemahan dengan tampilan diri bak pahlawan gagah perkasa.
Ia itu pribadi yang diliputi kekuatiran dengan ketakutan tak beralasan,

yang dengan bahasa santun berujar:
kesabaran kunci sebuah kemenangan,
tapi ucapannya tertuju pada diri sendiri untuk menenangkan hatinya yang galau,
ya......
ucapannya tidak tertuju bagi yang lain,
tapi tertuju pada diri sendiri sebagai ucapan penghibur hati yang sedang dalam kekalutan.

Itulah yang disebut kamuflase;
menyamarkan diri agar tak tampak yang sesungguhnya.


Yang keenam:
Ketika kuangkat pakaianku untuk menghindari lumpur kehidupan.

Aku tertegun menyaksikan seorang pembesar menanggalkan jubahnya,
hanya karena menyaksikan seekor anjing kurus terjepit di pagar.
Ia tidak peduli pada suara orang yang lewat,
yang mencibir hanya karena menganggap tindakannya itu sebuah kekonyolan.

Aku pun berkata pada mereka yang memandang salah Sang Pembesar,
bahwa kebesaran tidak terpancar dari jubah yang melekat di tubuh,
tapi oleh kerendahan hati untuk menolong yang terjepit,
walau yang tertolong tak layak menerima pengasihan karena kenistaan diri.
Ia melakukan tidak berharap pamrih,
sebab jubah kebesarannya bukan pada apa yang tampak,
tetapi oleh hati yang dipenuhi rasa cinta.

Aku pun baru tersadarkan,
bahwa terkadang aku lebih mementingkan kebersihan jubah yang melekat pada diriku,
tak tega melihat simbol kebesaran ternodai oleh keadaan sekitar.
Lalu aku tidak menaruh peduli terhadap kaum papa,
dan menutup mata bagi kaum tertindas.
Bahasa kasih hanyalah pemanis bibir,
supaya terlihat bahwa diriku adalah orang yang penuh rasa empati.

Tetapi ternyata diriku lebih bodoh dari yang kusangka bodoh,
Karena bukan oleh ucapanlah aku dapat mempertontonkan kebesaran diri,
sebab hanya dengan bertindak aku akan dihormati dan dihargai oleh sesamaku,
dan dengan cinta maka sorga menjadi realita hidup bersama.

Wahai sahabat-sahabatku.....
Sorga tidak ada di tempat yang bertabur kenikmatan dan kesemarakan,
ia ada di tempat yang hina dan kotor.
Sorga juga tidak berada di gedung bertingkat bertabur kemewahan,
tetapi ia berada di tempat yang paling rendah dan penuh kesederhanaan,
bahkan di lumpur kenistaan.

Tidakkah itu diwujudkan dalam kehadiran Sang Juruselamat.
Ia yang besar keluar dari kandang yang jauh dari kesan kemewahan.
Ia dibaringkan di tempat yang jauh dari kesan kenyamanan dengan aroma minyak narwastu,
berbalutkan lampin yang jauh dari kesan glamour dan trendy.
Ia disambut oleh mereka yang sangat sederhana,
ya...
Dia hanya disambut oleh kaum yang terpinggirkan;
jauh dari kesan kaum bangsawan atau pun kaum berada.

Justru dengan keadaan itu sorga ada di sini,
bukan lagi sebuah mimpi hari esok,
tapi sorga adalah realita kekinian dalam kesederhanaan.

Karena itu,
sebuah tindakan kebodohan,
jika jubah kebesaran kuangkat hanya untuk menghindar dari lumpur kehinaan.
Sebab di tempat yang paling hina,
Sang Khalik menghadirkan diriNya.
Di tempat yang paling nista,
di sana takhta Tuhanku berada.


Yang ketujuh:
Ketika aku berdiri menyanyikan kidung bagi Allah dan menganggap nyanyian itu  suatu kebajikan.


Apakah arti sebuah ritual bagiku?
Apakah faedahnya sebuah ibadah formal bagi imanku?
Tidakkah semua itu menjadikan diriku seorang yang fanatik dalam mempertahankan ajaran,
dan memandang ajaran lain sebagai bidat.

Tuhan tidak menuntut pujian bibir semata,
walau Ia sendiri bersemayam di atas pujian umat.
Tuhan juga tidak berharap ketaatan semata melalui ritual dalam tatanan liturgi yang hikmat,
walau Ia sendiri senang pada ibadah yang tertib dan teratur.

Tapi pujian yang sesungguhnya dan menyukakan hati Tuhan,
bukan hanya dengan bibir yang melantunkan mazmur dan kidung rohani,
bukan juga hanya dengan suara lantang dari mimbar yang menguraikan dogma.
Pujian itu adalah tangan terulur menjangkau kaum papa,
juga kaki yang melangkah ringan menuntun kaum tersesat menuju kota kediaman orang.

Pujian sesungguhnya dan yang menyukakan hati Tuhan,
tidak lain adalah menabur cinta dalam tindakan.
Itulah ibadah yang sejati; itulah yang disebut KEBAJIKAN.


(Catatan khusus)

Tulisan ini kudedikasihkan bagi sahabat-sahabatku yang rela memikul salib demi kaum termarginalkan. Dan juga kupersembahkan buat rekan-rekan Majelis Gereja yang tabah melayani walau sering terhinakan. Tak lupa, kujadikan momentum abadi dalam sanubariku buat kerelaan teman-teman Panitia Pembangunan yang terus berjalan di tengah-tengah badai penolakan; teruslah berkarya dan berpantanglah untuk menyerah. Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai.

Semangati dirimu dengan hati Tuhan yang datang bukan untuk dilayani namun untuk melayani. Lakukanlah dalam ketulusan seolah-olah hari esok hidupmu akan berakhir. Perbuatlah yang terbaik, sebab ketika panggilan itu datang; maka hari ini tak akan pernah terulang.
Ya...
tidak akan pernah terulang dalam sejarah hidup yang engkau tinggalkan dan wariskan bagi anak cucumu. Hitam-putihnya apa yang engkau torehkan hari ini, akan dikisahkan pada hari esok.

Aku sangat bangga bisa mengenal anda dan dalam doaku aku mengenang segala jerih dan juangmu. Aku memohon kepada Rajaku, semoga kasih dan anugerahNya dinyatakan dengan berlimpah-limpah dalam kehidupanmu.

Salam dan doaku.........Pdt. Joni Delima.

No comments:

Post a Comment

Web gratis

Web gratis
Power of Love