Sebuah Refleksi Pribadi.
(Masale, hari ke-208 tanggal 26 Juli 2018 - Pdt. Joni Delima).
Bacaan : 2 Korintus 12:1-10.
"Tetapi jawab Tuhan kepadaku: cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaku menjadi sempurna".
Shalom Aleichem b'shem Yeshua Ha Maschiach.
(Salam sejahtera bagimu di dalam nama Yesus Sang Mesias).
Semoga hari ini hidup anda diberkati.
Saudaraku...
Saya pernah mengalami bagaimana rasanya jari telunjuk saya tertusuk serpihan dari kayu ulin di antara celah kuku; "sungguh...rasanya pedis dan perih selama belum tercabut". Sekalipun kecil, serpihan itu menimbulkan rasa sakit yang amat sangat dan ketika saya mencoba untuk mencabutnya dengan terburu-buru, justru serpihan itu tertancap lebih dalam lagi dan sakitnya pun terasa sampai ke ubun-ubun.
Nah...ketika membaca perikop ini, saya teringat akan hal tersebut. Saya memahami dan turut merasakan sakit yang diderita Paulus ketika dia berbicara tentang "Duri Dalam Daging (ay. 7)" dan hal itu ia andaikan seperti menggocoh dirinya. Kata "Menggocoh" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti "meninju keras-keras". Jadi duri itu memposisikan Paulus seperti SAMSAK yang menjadi alat latihan para petinju, di mana SAMSAK terus-menerus menjadi sasaran pukulan dan tak punya daya untuk menghindari pukulan tersebut. Itulah kondisi yang dialami oleh Paulus dan ia merasakan sakit yang amat sangat. Karena begitu kerasnya pukulan yang harus diterimanya ("Menggocohnya") sehingga sampai 3 kali Paulus meminta kepada Tuhan agar duri itu tercabut dari dagingnya. Paulus pantas untuk meminta kepada Tuhan agar duri itu dicabut, karena ia telah memberi diri seutuhnya untuk melakukan tugas panggilan pelayanannya sebagai Pemberita Injil. Paulus tidak setengah-setengah hati dalam melaksanakan penugasan Kristus sebagai saksiNya.
Coba anda pertimbangkan, adilkah jika seseorang telah melakukan sebuah pekerjaan yang baik dan mulia tanpa mengenal lelah, lalu ia menerima balasan yang tidak sebanding dengan pengorbanan yang sudah diberikannya?
Bisa jadi jika anda dan saya ada pada posisi Paulus, logika kita akan berkata bahwa Tuhan itu tidak adil, bukan? Jika kita tidak mampu mengolah persoalan yang menyakitkan itu dari sudut pandang positif, maka sudah pasti kita akan bersunggut-sungut, kecewa, mempertanyakan kasih dan kebaikan Tuhan bahkan bisa jadi kita akan meragukan eksistensi Allah: "jika Tuhan itu ada, mengapa Ia memperlakukan dan membiarkan hidup saya demikian?".
Saudaraku...
Ternyata apa yang terlintas dalam pikiran kita tidak demikian yang ada dalam pikiran Paulus. Paulus memang merasakan sakit itu dan ia juga tak memungkiri suara hatinya agar sakit itu dijauhkan dari padanya. Tetapi dalam perkara tersebut, Paulus tidak memaksakan kehendaknya untuk dipenuhi atau diwujudkan oleh Tuhan.
Coba perhatikan cara Paulus mengolah persoalannya:
"Tentang hal itu, aku telah tiga kali berseru kepada Tuhan, ...tetapi jawab Tuhan kepadaku: Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna. Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu, aku senang dan rela dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (2 Kor. 12:8-10)".
Paulus sadar bahwa keluhan, sungut-sungut atau kekecewaan tidak akan pernah menyelesaikan persoalannya; justru sebaliknya akan membuat Paulus semakin terpuruk. Karena itu, semua persoalan yang terjadi dalam hidupnya dipandangnya sebagai rencana dan rancangan Tuhan untuk menyatakan kebesaran dan kekuasaanNya dalam diri Paulus. Duri itu harus tetap ada dalam daging, supaya Paulus sadar bahwa dirinya hanyalah manusia yang lemah dan tak berdaya; dan jika dia masih diberi waktu untuk menorehkan bakti pada Tuhan dengan melakukan tugasnya sebagai pemberita Injil, maka itu adalah sebuah anugerah. Dan ajaib bahwa di tengah kondisi Paulus yang demikian, Injil Yesus Kristus dapat disebarluaskan kepada semua bangsa.
Saudaraku...
Jujur kita harus akui bahwa seringkali kita terlalu fokus pada segala kelemahan dan kekurangan kita; sehingga kita tidak mampu melihat kuasa Tuhan yang sedang bekerja dalam diri kita melalui kelemahan dan kekurangan-kekurangan tersebut. Seringkali kita berkata sama seperti Andreas: "di sini ada seorang anak yang mempunyai 5 roti jelai dan 2 ikan, tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini (Yoh. 6:9)". Mempersoalkan atau memperdebatkan kelemahan atau kekurangan yang kita miliki akan memperkecil ruang gerak Roh Kudus untuk mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik. Tetapi jika kita membuka lebar-lebar kehidupan kita dengan segala kelemahan dan kekurangan yang ada, maka akan memberi ruang yang sangat luas bagi kuasa Tuhan untuk bekerja dan dengan dahsyat akan membuat segala sesuatu yang tidak mungkin menurut logika kita, menjadi mungkin.
Karena itu, saudaraku....
Setiap kita ada duri dalam daging. Itu dimaksudkan bukan untuk membuat hidup kita terpuruk dalam ketidak-berdayaan lalu binasa dan hancur. Duri itu ada di sana agar kita tersungkur dalam kepasrahan penuh untuk membuka diri bagi kekuasaan Tuhan bekerja dalam setiap kelemahan dan kekurangan-kekurangan kita. Dan tepat apa yang dikatakan Paulus bahwa, "di saat aku lemah, justru di saat itu aku menjadi kuat". Artinya, kita sadar akan keterbatasan-keterbatasan kita, lalu kita memberi diri kita untuk diatur dan bimbing oleh kuasa Tuhan: "bukan kehendak kita yang harus jadi, melainkan kehendak Tuhanlah harus terjadi".
Dan tepat lirik lagu ini:
"Di saatku tak berdaya, kuasaMu yang sempurna; ketika kupercaya, mujizat itu nyata. Bukan karna kekuatan, namun RohMu ya Tuhan, ketika kuberdoa, mujizat itu nyata".
Jadi jika duri itu tetap tertancap dalam daging anda, jangan pernah berhenti untuk berdoa dan percaya. Ingatlah selalu bahwa Tuhan selalu punya rencana terindah dalam hidup anda.
Selamat menikmati hari ini walau penuh dengan kekurangan dan keterbatasan.
Tuhan Yesus memberkatimu.
(Masale, hari ke-208 tanggal 26 Juli 2018 - Pdt. Joni Delima).
Bacaan : 2 Korintus 12:1-10.
"Tetapi jawab Tuhan kepadaku: cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaku menjadi sempurna".
Shalom Aleichem b'shem Yeshua Ha Maschiach.
(Salam sejahtera bagimu di dalam nama Yesus Sang Mesias).
Semoga hari ini hidup anda diberkati.
Saudaraku...
Saya pernah mengalami bagaimana rasanya jari telunjuk saya tertusuk serpihan dari kayu ulin di antara celah kuku; "sungguh...rasanya pedis dan perih selama belum tercabut". Sekalipun kecil, serpihan itu menimbulkan rasa sakit yang amat sangat dan ketika saya mencoba untuk mencabutnya dengan terburu-buru, justru serpihan itu tertancap lebih dalam lagi dan sakitnya pun terasa sampai ke ubun-ubun.
Nah...ketika membaca perikop ini, saya teringat akan hal tersebut. Saya memahami dan turut merasakan sakit yang diderita Paulus ketika dia berbicara tentang "Duri Dalam Daging (ay. 7)" dan hal itu ia andaikan seperti menggocoh dirinya. Kata "Menggocoh" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti "meninju keras-keras". Jadi duri itu memposisikan Paulus seperti SAMSAK yang menjadi alat latihan para petinju, di mana SAMSAK terus-menerus menjadi sasaran pukulan dan tak punya daya untuk menghindari pukulan tersebut. Itulah kondisi yang dialami oleh Paulus dan ia merasakan sakit yang amat sangat. Karena begitu kerasnya pukulan yang harus diterimanya ("Menggocohnya") sehingga sampai 3 kali Paulus meminta kepada Tuhan agar duri itu tercabut dari dagingnya. Paulus pantas untuk meminta kepada Tuhan agar duri itu dicabut, karena ia telah memberi diri seutuhnya untuk melakukan tugas panggilan pelayanannya sebagai Pemberita Injil. Paulus tidak setengah-setengah hati dalam melaksanakan penugasan Kristus sebagai saksiNya.
Coba anda pertimbangkan, adilkah jika seseorang telah melakukan sebuah pekerjaan yang baik dan mulia tanpa mengenal lelah, lalu ia menerima balasan yang tidak sebanding dengan pengorbanan yang sudah diberikannya?
Bisa jadi jika anda dan saya ada pada posisi Paulus, logika kita akan berkata bahwa Tuhan itu tidak adil, bukan? Jika kita tidak mampu mengolah persoalan yang menyakitkan itu dari sudut pandang positif, maka sudah pasti kita akan bersunggut-sungut, kecewa, mempertanyakan kasih dan kebaikan Tuhan bahkan bisa jadi kita akan meragukan eksistensi Allah: "jika Tuhan itu ada, mengapa Ia memperlakukan dan membiarkan hidup saya demikian?".
Saudaraku...
Ternyata apa yang terlintas dalam pikiran kita tidak demikian yang ada dalam pikiran Paulus. Paulus memang merasakan sakit itu dan ia juga tak memungkiri suara hatinya agar sakit itu dijauhkan dari padanya. Tetapi dalam perkara tersebut, Paulus tidak memaksakan kehendaknya untuk dipenuhi atau diwujudkan oleh Tuhan.
Coba perhatikan cara Paulus mengolah persoalannya:
"Tentang hal itu, aku telah tiga kali berseru kepada Tuhan, ...tetapi jawab Tuhan kepadaku: Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna. Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu, aku senang dan rela dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (2 Kor. 12:8-10)".
Paulus sadar bahwa keluhan, sungut-sungut atau kekecewaan tidak akan pernah menyelesaikan persoalannya; justru sebaliknya akan membuat Paulus semakin terpuruk. Karena itu, semua persoalan yang terjadi dalam hidupnya dipandangnya sebagai rencana dan rancangan Tuhan untuk menyatakan kebesaran dan kekuasaanNya dalam diri Paulus. Duri itu harus tetap ada dalam daging, supaya Paulus sadar bahwa dirinya hanyalah manusia yang lemah dan tak berdaya; dan jika dia masih diberi waktu untuk menorehkan bakti pada Tuhan dengan melakukan tugasnya sebagai pemberita Injil, maka itu adalah sebuah anugerah. Dan ajaib bahwa di tengah kondisi Paulus yang demikian, Injil Yesus Kristus dapat disebarluaskan kepada semua bangsa.
Saudaraku...
Jujur kita harus akui bahwa seringkali kita terlalu fokus pada segala kelemahan dan kekurangan kita; sehingga kita tidak mampu melihat kuasa Tuhan yang sedang bekerja dalam diri kita melalui kelemahan dan kekurangan-kekurangan tersebut. Seringkali kita berkata sama seperti Andreas: "di sini ada seorang anak yang mempunyai 5 roti jelai dan 2 ikan, tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini (Yoh. 6:9)". Mempersoalkan atau memperdebatkan kelemahan atau kekurangan yang kita miliki akan memperkecil ruang gerak Roh Kudus untuk mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik. Tetapi jika kita membuka lebar-lebar kehidupan kita dengan segala kelemahan dan kekurangan yang ada, maka akan memberi ruang yang sangat luas bagi kuasa Tuhan untuk bekerja dan dengan dahsyat akan membuat segala sesuatu yang tidak mungkin menurut logika kita, menjadi mungkin.
Karena itu, saudaraku....
Setiap kita ada duri dalam daging. Itu dimaksudkan bukan untuk membuat hidup kita terpuruk dalam ketidak-berdayaan lalu binasa dan hancur. Duri itu ada di sana agar kita tersungkur dalam kepasrahan penuh untuk membuka diri bagi kekuasaan Tuhan bekerja dalam setiap kelemahan dan kekurangan-kekurangan kita. Dan tepat apa yang dikatakan Paulus bahwa, "di saat aku lemah, justru di saat itu aku menjadi kuat". Artinya, kita sadar akan keterbatasan-keterbatasan kita, lalu kita memberi diri kita untuk diatur dan bimbing oleh kuasa Tuhan: "bukan kehendak kita yang harus jadi, melainkan kehendak Tuhanlah harus terjadi".
Dan tepat lirik lagu ini:
"Di saatku tak berdaya, kuasaMu yang sempurna; ketika kupercaya, mujizat itu nyata. Bukan karna kekuatan, namun RohMu ya Tuhan, ketika kuberdoa, mujizat itu nyata".
Jadi jika duri itu tetap tertancap dalam daging anda, jangan pernah berhenti untuk berdoa dan percaya. Ingatlah selalu bahwa Tuhan selalu punya rencana terindah dalam hidup anda.
Selamat menikmati hari ini walau penuh dengan kekurangan dan keterbatasan.
Tuhan Yesus memberkatimu.
Amin.
ReplyDelete