Sebuah Refleksi Pribadi.
(Masale, 8 Mei 2019 - Pdt. Joni Delima).
Bacaan : 1 Korintus 4:1-5.
Saudaraku...
Menjadi seorang hamba atau menghambakan diri pada orang lain adalah sesuatu yang tidak diharapkan oleh siapapun juga. Sebab ketika anda menjadi hamba untuk seseorang, maka itu berarti anda harus siap mengorbankan seluruh kesenangan anda dan hanya fokus pada satu hal; yakni, bagaimana anda membuat "SENANG" orang yang kepadanya anda menghamba. Seorang hamba harus melupakan dirinya dan hanya fokus pada tanggung jawabnya untuk melayani dan membuat gembira hati orang yang kepadanya ia menghamba. Dan melihat konteks hamba yang demikian, maka tak seorang pun yang siap untuk hal tersebut, bukan?
Tapi anehnya, ketika kata "Hamba" itu ditambah dengan label "TUHAN", maka banyak orang berebutan dan menjadikan status kehambaannya itu sebagai sesuatu yang sangat dibangga-banggakan; seolah-olah sebutan "Hamba Tuhan" memberi nilai tambah bagi dirinya. Mereka merasa bahwa menjadi seorang Hamba Tuhan berarti yang bersangkutan harus mendapatkan perlakuan spesial; fasilitas VVIP, penghormatan dan penerimaan yang serba plus.
Memang tidak salah, jika seorang Hamba Tuhan itu disambut dan diperlakukan secara spesial; tetapi jangan menjadikan hal tersebut sebagai tujuan, seolah-olah karena sebutan Hamba Tuhan maka anda menuntut perlakuan dan fasilitas yang serba waow: VVIP. Jika tujuannya demikian, maka sesungguhnya yang bersangkutan bukanlah Hamba Tuhan, melainkan Hamba Mammon.
Saudaraku...
Seorang Hamba Tuhan harus menyadari tanggung jawab yang diembankan kepadanya; bukan agar dia dihormati dan dihargai, tetapi agar Tuhan yang dilayaninya itu dimuliakan dan diagungkan. Karakter seorang Hamba Tuhan yang terpercaya akan nampak dari integritas hidup dalam pelayanan. Karena itu, seorang Hamba Tuhan harus menjadikan seluruh kehidupannya sebagai sarana pelayanan bagi setiap orang untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Dan saya perlu tegaskan bahwa, Integritas seorang Hamba Tuhan tidak hanya dinilai dari kemampuannya untuk mengkomunikasikan kebenaran-kebanaran firman Tuhan dari atas mimbar, atau dinilai dari kemampuannya untuk mempengaruhi orang lewat pengajaran dan khotbah-khotbahnya. Tetapi lebih dari pada itu, yakni kemampuannya untuk mengkomunikasikan kebenaran firman Tuhan dalam kehidupan keseharian melalui tindakan dan perbuatannya (peri hidupnya). Dan anda harus ingat bahwa kesalahan fatal yang dilakukan para ahli Taurat dan orang Farisi adalah: "Hebat dalam pengajaran, tetapi bobrok dalam perilaku".
Karena itu, layak-tidaknya seseorang disebut Hamba Tuhan, hal itu dapat dilihat dari integritasnya sebagai seorang pelayanan: yakni menyatunya kata dan perbuatannya. Artinya, ada keselarasan antara kata dan tindakan: "apa yang dikatakan, itu juga yang dilakukan". Dan teladan seorang Hamba Tuhan yang sesungguhnya telah dipertontonkan oleh Tuhan Yesus; Dia tidak hanya hebat dalam mengajarkan tentang KASIH, tetapi Ia sendiri MENDEMONSTRASIKAN KASIH itu dengan memberi seluruh hidupNya untuk menjadi korban penebusan atas dosa manusia.
Dan satu hal yang hendak saya katakan kepada anda ialah; jika kita mampu mempertontonkan integritas diri kita sebagai seorang Hamba Tuhan yang melayani, maka kita layak untuk mendapatkan penyambutan dan penerimaan yang baik, sebagai mana Yesus Kristus menyambut dan menerima kita dengan sebutan yang baru: "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabatKu, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. Aku tidak lagi menyebut kamu HAMBA, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu SAHABAT, karena Aku telah memberitahukan segala sesuatu yang telah Kudengar dari BapaKu (Yoh. 15:13-15)".
Setiap orang yang memberi dirinya untuk melayani adalah Hamba Tuhan. Karena itu, mari kita jaga identitas diri kita ini dengan terus menjaga kekudusan dari tanggung jawab yang diembankan Tuhan kepada kita, yakni INJIL. Jangan sampai Injil itu dicemari karena kita lebih mengejar nikmat duniawi dari pada panggilan sorgawi; yakni membawa setiap orang berjumpa dengan Kristus.
Selamat beristirahat.
Tuhan Yesus memberkati.
(Masale, 8 Mei 2019 - Pdt. Joni Delima).
Bacaan : 1 Korintus 4:1-5.
Saudaraku...
Menjadi seorang hamba atau menghambakan diri pada orang lain adalah sesuatu yang tidak diharapkan oleh siapapun juga. Sebab ketika anda menjadi hamba untuk seseorang, maka itu berarti anda harus siap mengorbankan seluruh kesenangan anda dan hanya fokus pada satu hal; yakni, bagaimana anda membuat "SENANG" orang yang kepadanya anda menghamba. Seorang hamba harus melupakan dirinya dan hanya fokus pada tanggung jawabnya untuk melayani dan membuat gembira hati orang yang kepadanya ia menghamba. Dan melihat konteks hamba yang demikian, maka tak seorang pun yang siap untuk hal tersebut, bukan?
Tapi anehnya, ketika kata "Hamba" itu ditambah dengan label "TUHAN", maka banyak orang berebutan dan menjadikan status kehambaannya itu sebagai sesuatu yang sangat dibangga-banggakan; seolah-olah sebutan "Hamba Tuhan" memberi nilai tambah bagi dirinya. Mereka merasa bahwa menjadi seorang Hamba Tuhan berarti yang bersangkutan harus mendapatkan perlakuan spesial; fasilitas VVIP, penghormatan dan penerimaan yang serba plus.
Memang tidak salah, jika seorang Hamba Tuhan itu disambut dan diperlakukan secara spesial; tetapi jangan menjadikan hal tersebut sebagai tujuan, seolah-olah karena sebutan Hamba Tuhan maka anda menuntut perlakuan dan fasilitas yang serba waow: VVIP. Jika tujuannya demikian, maka sesungguhnya yang bersangkutan bukanlah Hamba Tuhan, melainkan Hamba Mammon.
Saudaraku...
Seorang Hamba Tuhan harus menyadari tanggung jawab yang diembankan kepadanya; bukan agar dia dihormati dan dihargai, tetapi agar Tuhan yang dilayaninya itu dimuliakan dan diagungkan. Karakter seorang Hamba Tuhan yang terpercaya akan nampak dari integritas hidup dalam pelayanan. Karena itu, seorang Hamba Tuhan harus menjadikan seluruh kehidupannya sebagai sarana pelayanan bagi setiap orang untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Dan saya perlu tegaskan bahwa, Integritas seorang Hamba Tuhan tidak hanya dinilai dari kemampuannya untuk mengkomunikasikan kebenaran-kebanaran firman Tuhan dari atas mimbar, atau dinilai dari kemampuannya untuk mempengaruhi orang lewat pengajaran dan khotbah-khotbahnya. Tetapi lebih dari pada itu, yakni kemampuannya untuk mengkomunikasikan kebenaran firman Tuhan dalam kehidupan keseharian melalui tindakan dan perbuatannya (peri hidupnya). Dan anda harus ingat bahwa kesalahan fatal yang dilakukan para ahli Taurat dan orang Farisi adalah: "Hebat dalam pengajaran, tetapi bobrok dalam perilaku".
Karena itu, layak-tidaknya seseorang disebut Hamba Tuhan, hal itu dapat dilihat dari integritasnya sebagai seorang pelayanan: yakni menyatunya kata dan perbuatannya. Artinya, ada keselarasan antara kata dan tindakan: "apa yang dikatakan, itu juga yang dilakukan". Dan teladan seorang Hamba Tuhan yang sesungguhnya telah dipertontonkan oleh Tuhan Yesus; Dia tidak hanya hebat dalam mengajarkan tentang KASIH, tetapi Ia sendiri MENDEMONSTRASIKAN KASIH itu dengan memberi seluruh hidupNya untuk menjadi korban penebusan atas dosa manusia.
Dan satu hal yang hendak saya katakan kepada anda ialah; jika kita mampu mempertontonkan integritas diri kita sebagai seorang Hamba Tuhan yang melayani, maka kita layak untuk mendapatkan penyambutan dan penerimaan yang baik, sebagai mana Yesus Kristus menyambut dan menerima kita dengan sebutan yang baru: "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabatKu, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. Aku tidak lagi menyebut kamu HAMBA, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu SAHABAT, karena Aku telah memberitahukan segala sesuatu yang telah Kudengar dari BapaKu (Yoh. 15:13-15)".
Setiap orang yang memberi dirinya untuk melayani adalah Hamba Tuhan. Karena itu, mari kita jaga identitas diri kita ini dengan terus menjaga kekudusan dari tanggung jawab yang diembankan Tuhan kepada kita, yakni INJIL. Jangan sampai Injil itu dicemari karena kita lebih mengejar nikmat duniawi dari pada panggilan sorgawi; yakni membawa setiap orang berjumpa dengan Kristus.
Selamat beristirahat.
Tuhan Yesus memberkati.