Bacaan Alkitab: Amsal 10 : 1 - 8
Seorang petani memiliki sebidang lahan, itulah harta karun yang ada padanya. Ia kemudian mengolah lahan tersebut, ia mencangkulnya kemudian menanaminya dengan berbagai jenis bibit tanaman, baik tanaman jangka panjang maupun tanaman jangka pendek. Ia kemudian membuat pagar sekeliling lahan tersebut dan di tengah-tengah lahan itu ia mendirikan menara jaga. Beberapa hari kemudian bibit itu tumbuh dan akar-akarnya mulai kuat. Ia menyianginya dan membersihkan tamanannya dari tanaman pengganggu dan tak lupa ia menaburkan pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman tersebut sebagaimana yang tertera pada petunjuk penggunaannya. Ia menyiram tanamannya di kala hujan tidak turun agar tanaman-tanaman itu tidak layu lalu mati. Dengan tekun dan sabar ia menjagai lahannya dengan satu harapan bahwa apa yang ia lakukan akan memberi hasil yang baik.
Apa sebenarnya yang dilakukan sang petani tersebut?.
Ia tidak lain dan tidak bukan sedang mencangkul kearifan lalu menanam benih-benih hikmat dan dengan ketekunan dan kesabaran ia menantikan buah kebahagiaan.
Dengan perumpamaan ini saya hendak mengatakan bahwa Allah telah mengaruniakan kepada setiap orang talenta atau karunia. Namun demikian talenta atau karunia itu harus dikelolah dan ditumbuh-kembangkan agar menghasilkan buah yang baik. Kita pun harus mengawasi dan memupuk apa yang sudah kita tanam agar dapat tumbuh dengan baik. Perjuangan untuk mendapatkan buah yang baik sangat ditentukan oleh ketekunan dan kesabaran. Tidaklah mungkin apa yang kita tabur dan kita tanam sekarang seketika itu pula akan menghasilkan buah yang kita harapkan. Kita harus bersabar untuk menunggu. Jadi perjuangan untuk mendapatkan apa yang kita dambakan demi sebuah kehidupan yang lebih baik, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Mungkin kita berkata dalam hati (khususnya kaum muda) bahwa hal itu dulu, sekarang zamannya beda! Dulu pepatah: "Biar lambat asal selamat", sekarang tidak dapat dipertahankan lagi. Siapa cepat dialah yang mendapat. Tidakkah ini semboyan salah seorang tokoh di negeri ini: "Lebih cepat, lebih baik".
Memang harus kita akui bahwa dunia sekarang ditandai dengan berbagai kemudahan dan hal ini adalah dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada zaman dahulu, untuk mendapatkan pesan dari seseorang yang berada di tempat yang jauh, maka kita harus menunggu waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Namun sekarang tidak perlu menunggu lama, bahkan sekarang seseorang dapat bertatap muka secara langsung tanpa harus dibatasi oleh ruang, tempat dan waktu. Dalam urusan makanan pun, kita tidak perlu repot. Telah tersedia di mana-mana makanan siap saji. Kita masuk ke mall atau warung-warung di pinggir jalan, dengan mudahnya kita menemukan berbagai makanan instan. Jika anda orang sibuk, dikejar oleh waktu karena pekerjaan, tidak perlu bersusah-susah dalam urusan perut; tinggal siram langsung jadi.
Tapi apakah dengan semua kemudahan-kemudahan yang ada lalu kita dapat mengatakan bahwa kita sudah menikmati kehidupan yang sesungguhnya? Ternyata di zaman yang serba mudah dan canggih ini, kesusahan dan penderitaan semakin merajalela. Berbagai penyakit dan kemiskinan tumbuh bagaikan jamur di musim penghujan. Karena itu manusia mulai bertanya: mungkinkah kebahagiaan itu dapat diraih?
Kitab Amsal merupakan kumpulan nasehat-nasehat orang bijak. Kitab ini merupakan buku tuntunan untuk menjalani kehidupan, sebuah buku pedoman untuk meraih hidup yang berkemenangan; hidup yang diwarnai dengan kebahagiaan (Shalom). Karena itu, kitab Amsal mempertentangkan antara "hikmat dan kebodohan". Mereka yang mencari hikmat dan berusaha untuk mendapatkannya disebut "Orang Yang Berpengertian", sedang mereka yang mencela atau mencemoohkan hikmat disebut "Manusia Bebal" yang sedang menggali lubang kebinasaan bagi dirinya sendiri dan yang sedang berdiri di tepi jurang kehancuran.
Amsal 10:1-8 sering disebut sebagai "Amsal Yang Menyelamatkan Orang Dari Maut". Artinya, ayat-ayat yang ada dalam perikop ini membandingkan berkat-berkat hidup yang benar dengan ketidak-bahagiaan hidup yang fasik. Berkat-berkat hidup yang benar dapat diraih oleh seseorang yang berhikmat dan membangun hidupnya berdasarkan hikmat tersebut. Menurut Raja Salomo, hikmat artinya "hidup dan berpikir sesuai dengan norma, jalan dan pola pikir Allah; atau melakukan setiap hal dari sudut pandang Allah yang adalah satu-satunya standart hidup yang benar dan sejati". Karena itu, memperoleh hikmat jauh lebih berharga dari pada memiliki emas dan perak (Amsal 3:13-14). Awal dari semua hikmat adalah: "Takut Akan Tuhan (Ams. 1:7)". Ketika hikmat itu sudah masuk ke dalam hati seseorang, ia akan melahirkan motivasi, keinginan dan pikiran untuk sebuah kehidupan yang lebih baik (Amsal 2:10).
Memang banyak orang memahami dan menilai kebahagiaan hidup itu dari sudut pandang "Kebendaan" atau dari sudut pandang materi. Salomo pun menyadari akan kecenderungan semacam itu. Manusia memang cenderung tertarik pada hal-hal yang kelihatan lalu menganggap hal-hal yang tidak kelihatan (tentang sorga dan tentang Allah) sebagai kebodohan. Keagamaan dipandang sebagai penghalang yang menghambat kreativitas manusia untuk meraih harta demi harkat dan martabatnya. Namun demikian, jujur harus kita katakan bahwa dalam diri manusia itu sendiri ada tertanam benih-benih kemalasan. Manusia pada waktu tertentu akan merasakan apa yang disebut kejenuhan atau kebosanan. Pengaruh ini hanya dapat ditepis jika seseorang memiliki hikmat. Justru hikmat yang bersumber dari Allah, akan mengajar setiap orang untuk mencari dan mendapat harta benda secara wajar; tidak dengan kefasikan. Hikmat juga mengamini bahwa tidak ada orang yang hidupnya benar akan dibiarkan menderita kelaparan. Hikmat menjaminkan bahwa tangan orang yang rajin akan menjadikannya kaya dan karena itu hikmat menegur kemalasan sebagai salah satu faktor terciptanya kemiskinan. Hikmat juga memberitahukan bahwa kenangan terhadap orang benar yang membangun hidupnya di dalam Tuhan, akan mendatangkan berkat.
Nasehat-nasehat praktis Raja Salomo ini ditujukan kepada semua orang, secara khusus untuk kehidupan keluarga agar tidak memanjakan apalagi membangun kehidupan seorang anak hanya dengan hal-hal yang bersifat kebendaan. Sebaliknya, mengusahakan agar seluruh kehidupan mereka dibangun berdasarkan hikmat yang akan menjadikan mereka bertindak dalam kearifan dan kebijaksanaan.
No comments:
Post a Comment