Laman

Saturday, April 6, 2013

Mengasihi Tanpa Batas

Bahan Bacaan Alkitab: Yehezkiel 47 : 21 - 23
Pengembangan Khotbah Untuk Ibadah Jemaat,
Minggu, 7 April 2013
Dari Buku Membangung Jemaat


Yehezkiel (Ibr: Yekhezqe'l) mempunyai arti "Allah Menguatkan".
Sebagian ahli Perjanjian Lama sepakat bahwa Yehezkiel putra Busi dibuang ke Babel hampir pasti bersama Raja Yoyakhin pada thn. 597 sM (2 Raj. 24:14-17). Dia dimukimkan di kampung Tel-Abib dekat Sungai Kebar, dan 5 tahun berikutnya ia menerima panggilan untuk menjadi nabi atas umat Israel yang ada di pembuangan Babel (Yeh. 1:2).

5 tahun pertama bangsa Israel di Babel adalah tahun-tahun yang diwarnai dengan kepedihan yang amat mendalam. Kebanggan diri Israel sebagai umat pilihan Tuhan menjadi pudar seiring dengan kenyataan yang mereka alami bukan lagi sebagai bangsa yang merdeka tetapi sebagai bangsa yang tertawan dan menjadi budak bagi bangsa Babel yang nota bene "bangsa kafir yang tidak mengenal Yahweh". Israel seumpama pohon yang tercabut sampai ke akar-akarnyan lalu ditanam di tempat yang asing dan pertumbuhannya tidak seperti yang diharapkan. Pembuangan Israel ke Babel juga membawa dampak atau pengaruh yang cukup kuat terhadap pemahaman spiritual yang menjadikan Yerusalem sebagai Kota Allah dan tempat kediaman Yang Maha Kudus yang tidak akan mungkin tersentuh oleh tangan-tangan najis bangsa-bangsa kafir. Tapi faktanya: "Yerusalem ditaklukkan dan Bait Allah yang menjadi pusat penyembahan dan simbol pemerintahan Allah (Theokrasi) diruntuhan".

Di mata bangsa-bangsa sebelum peristiwa penaklukkan Yerusalem yang berujung pada pembuangan, Kota Yerusalem dengan temboknya yang kokoh dan Bait Allah yang menjadi pusat penyembahan umat adalah sesuatu yang sangat menggentarkan dan jika kota itu dapat ditaklukkan maka menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Ucapan yang terdapat dalam Mzm. 42:10-11 menjadi gambaran bagaimana bangsa Israel pasca penghancuran Yerusalem menjadi bahan cemoohan bagi bangsa-bangsa: "aku berkata kepada Allah, gunung batuku: mengapa Engkau melupakan aku? Mengapa aku harus hidup berkabung di bawah impitan musuh? Seperti tikaman maut ke dalam tulangku, lawanku mencela aku, sambil berkata kepadaku sepanjang hari: di manakah Allahmu?".

Kondisi inilah yang membuat bangsa Israel tidak lagi memiliki harapan untuk hidup dan menatap masa depan mereka dengan kepala tegak. Kondisi seperti inilah yang mendorong Yeremia menulis surat dari pengasingannya di Mesir dan dialamatkan secara khusus kepada semua umat Israel yang ada di pembungan Babel (Yer. 29).

Dalam hal ini juga kita dapat memahami tujuan Allah dalam memilih dan menetapkan Yehezkiel untuk menjadi nabi di tengah-tengah keberadaan bangsa yang sedang ada dalam pembuangan itu. Kehadiran Yehezkiel di tengah-tengah bangsa itu dimaksudkan untuk menyadarkan bangsa itu bahwa penghukuman yang terjadi atas mereka adalah buah dari perbuatan mereka yang tidak lagi berlaku setia kepada Allah. Peristiwa penghancuran Yerusalem dan berujung pada pembuangan umat ke Babel adalah sebuah peringatan bagi bangsa Israel bahwa "Yahweh" yang mereka sembah tidak dapat dipermain-mainkan. Panggilan atas Yehezkiel menjadi nabi bagi umat yang terbuang itu bertujuan untuk menyadarkan bangsa itu tentang perbuatan mereka yang berujung pada penghukuman dan menuntun bangsa itu kepada sebuah "PERTOBATAN". Jadi penghukuman itu bukan berarti bahwa KASIH Allah terhadap Israel telah memudar. Justru sebaliknya, penghukuman itu menjadi bukti bahwa Allah begitu mengasihi Israel dan tidak mau membiarkan Israel hidup seperti bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah.

Perikop bacaan kita hari ini berbicara tentang berita pengharapan dan pemulihan yang hendak dinyatakan Tuhan terhadap umat yang tertawan itu. Ini adalah berita sukacita tentang pembebasan yang akan mereka alami yang dibarengi dengan sebuah amanat yang tegas bahwa mereka harus bertobat dan kembali kepada Allah. Allah melakukan rekonsiliasi dengan umat itu, tetapi konsekwensinya adalah "umat harus berlaku setia dan menempatkan Tuhan di atas segala-galanya. Jika Israel taat dan berlaku setia kepada Allah maka Allah akan menetapkan kesetiaan dalam negeri, menempatkan kembali BaitNya di tengah-tengah mereka, menegakkan kembali takhta Daud dan memberkati umatNya untuk mendiami negeri mereka secara turun-temurun (band.: Yeh. 37:15-28). Tidak ada lagi Israel Utara dan Israel Selatan, yang ada hanyalah Israel Raya; Satu Negeri, Satu Ibu Kota dan Satu Tempat Peribadahan".

Pemulihan yang akan dilakukan oleh Allah terhadap bangsa itu adalah sempurna dan kepada kota Yerusalem yang telah hancur dan yang akan dibangun kembali, Allah memberi nama baru yakni: "YEHOVA-SHAMMAH" yang artinya: "Tuhan Hadir Di Situ". Nama ini mengandung makna theologis yang dalam bahwa "dulu kota ini ditinggalkan oleh Tuhan akibat dosa umat dan dosa para pemimpinnya, tetapi kini Tuhan kembali untuk tinggal bersama dengan umat dan memberkati umat".

Salah satu hal yang ditekankan sebagai bentuk ketaatan umat kepada Allah saat kembali mendiami negeri mereka dan kota Yerusalem yakni: "pembagian tanah secara adil". Tuhan tidak menginginkan kota yang baru itu diwarnai oleh KESERAKAHAN. Tuhan tidak menghendaki Israel melakukan ketidak-adilan di kota itu dengan mengadakan pengkotak-kotakan. Tidak boleh ada diskriminasi, tidak boleh ada kaum pribumi dan non pribumi, tidak boleh ada penduduk asli dan tidak asli. Tepatnya, tidak boleh ada pembedaan antara Yehuda dan Samaria. Jika Allah menyatukan kembali negeri yang dahulu terpecah dua menjadi satu, itu berarti Allah mau supaya negeri itu dimiliki bersama, dinikmati bersama dan disyukuri secara bersama-sama. Mereka harus hidup rukun dan damai dan dalam segala hal saling menopang dan saling memperhatikan satu dengan yang lainnya. Indahnya hidup rukun memungkinkan berkat dari YEHOVA-SHAMMAH dialami dan diwarisi secara turun temurun.

Peristiwa pemusnahan Yerusalem merupakan titik berakhirnya kisah kegagalan kota itu sebagai masyarakat yang adil dan sekaligus menjadi sebuah awal yang baru di mana Allah melakukan pemulihan atas umatNya dan membangun sebuah komunitas yang baru di mana kesejahteraan dapat dinikmati bersama. Apa yang dialami oleh bangsa Israel ini menjadi gambaran dari tindakan yang dilakukan Allah melalui peristiwa Salib dan Kubur Yang Kosong. Salib menjadi titik akhir dari kegagalan manusia menjaga citra dirinya sebagai gambar dan rupa Allah Allah. Yesus menjadi tumbal atas dosa manusia. Tetapi Kubur Yang Kosong menjadi titik balik terbitnya zaman baru, di mana semua orang disatukan untuk mengalami keselamatan dari Allah. Kasih Tuhan menjangkau semua bangsa, dan semua orang yang mengalaminya harus meneruskan kasih itu kepada saudaranya dan siapa saja yang hidup dalam tekanan dan penderitaan.

Karena itu, janganlah jadikan diri anda seperti Laut mati yang hanya mau menerima tetapi tidak mau berbagi dan akibat dari itu adalah kehampaan hidup (yang ada hanyalah kematian). Tetapi jadilah seperti Danau Tiberias yang menerima aliran Sungai Yordan dan mengalirkan dengan sekian banyak anak sungai, sehingga di danau itu berkeriapan segala makhluk hidup. Pantainya berhiaskan bunga-bunga dan sejuta jenis tumbuhan serta kicau burung-burung menambah kesemarakannya. Berbagi kasih akan membuat hidup menjadi lebih hidup.

No comments:

Post a Comment

Web gratis

Web gratis
Power of Love