Selasa, 17 Juni 2014
Tendensius: Bahaya Laten Bagi Kehidupan Bersama
Bacaan: Markus 10 : 35 - 45
Setiap pagi kita disuguhkan berbagai berita, ada yang faktual dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, tetapi ada juga yang sekedar gosip murahan dan sifatnya sangat tendensius. Terlebih dalam konteks kekinian bangsa Indonesia menjelang Pilpres tanggal 9 Juli yang akan datang, berita tentang para capres dan cawapres mendominasi baik itu media cetak, elektonik (tv dan radio) maupun dunia maya (internet). Ada berita faktual, tetapi ada pula yang sekedar gosip namun hal ini ramai diperbincangkan dan diperdebatkan. Terjebak dalam gosip yang bersifat murahan akan melahirkan tanggapan pro dan kontra, dan yang fatal ialah para pendukung terjebak dalam apa yang tidak diharapkan yakni menyerang (menfitnah) kelompok yang lainnya dengan melakukan apa yang disebut "Black Campaign (Kampanye Hitam)". Mengapa hal tersebut terjadi? Karena manusia melihat kekuasan sebagai tujuan akhir sehingga untuk mencapainya maka mereka menghalalkan berbagai cara. Termasuk dalam hal ini pembunuhan karakter orang yang dipandang sebagai saingan.
Memiliki sifat tendensius terhadap pihak lain akan menciptakan kondisi ketidak-harmonisan antar pribadi (disharmoni) dan hal ini akan merusak tatanan kehidupan bersama dan menciderai kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Dan Alkitab tidak menyangkali akan kecenderungan tersebut bukan hanya dilakukan oleh anak-anak dunia ini, tetapi juga dilakukan oleh anak-anak Tuhan. Jangankan persaingan antar anak-anak dunia ini dengan anak-anak Tuhan lalu mereka saling menjegal, antara anak-anak Tuhan sendiri, jegal-menjegal dipandang sebagai hal yang biasa. Akibatnya, kita tidak lagi dapat membedakan mana warna kehidupan anak-anak dunia ini dan mana warna kehidupan anak-anak Tuhan.
Bagaimana respons Tuhan Yesus?
Yesus tidak mengambil sikap keberpihakan. Ia justru mengajak murid-muridNya untuk memahami bahwa kekuasaan yang menjadi tujuan bagi manusia dunia, justru bagi anak-anak Tuhan harus menjadi alat untuk menggapai kehidupan yang penuh damai dan sejahtera. Jadi, Damai Sejahtera bagi semua, itulah tujuan akhir; bukan kekuasaan.
Untuk itu, Tuhan Yesus menekankan akan hal ini:
"Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mark. 10:43-45)".
Tuhan Yesus menjadi teladan dalam hal ini:
"Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubahNya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggangNya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-muridNya, lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggangNya itu (Yoh. 13:4-5)".
Apa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus menjadi sebuah keharusan bagi murid-muridNya dan bagi setiap orang yang percaya kepadaNya:
"Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Aku adalah Guru dan Tuhan. Jadi, jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu (Yoh. 13:13-15)".
Dunia memang haus kekuasaan, tetapi anak-anak Tuhan tidak boleh serupa dengan dunia ini. Ketika kekuasaan dipakai sebagai alat untuk menguasai bahkan menindas orang lain, maka bagi anak-anak Tuhan, kekuasaan jusru menjadi sarana untuk melayani sesama dan menjadi alat untuk menciptakan damai sejahtera bagi sekalian makhluk.
Dengan demikian saya mau tegaskan bahwa memiliki sikap tendensius terhadap orang lain bukanlah karakter anak-anak Tuhan, itu adalah karakter anak-anak Iblis yang memang tidak menginginkan terciptanya damai sejahtera. Tendensius adalah bahaya laten yang merusak sendi-sendi kehidupan bersama. Karena itu, jadilah penurut-penurut Tuhan.
(Kutuliskan renungan ini sehari pasca debat calon presiden tahap kedua, untuk menjadi bahan perenungan bagi setiap warga jemaat dalam menghadapi situasi yang sedang berlangsung menjelang Pilpres, tgl 9 Juli 2014. Mari kita sukseskan pesta demokrasi sebagai pesta kemenangan bagi seluruh elemen anak bangsa. Ingat, tidak ada yang kalah atau menang dalam perkara ini, sejauh kekuasaan tidak dijadikan tujuan akhir; melainkan yang menjadi tujuan akhir adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia)
Tendensius: Bahaya Laten Bagi Kehidupan Bersama
Bacaan: Markus 10 : 35 - 45
Setiap pagi kita disuguhkan berbagai berita, ada yang faktual dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, tetapi ada juga yang sekedar gosip murahan dan sifatnya sangat tendensius. Terlebih dalam konteks kekinian bangsa Indonesia menjelang Pilpres tanggal 9 Juli yang akan datang, berita tentang para capres dan cawapres mendominasi baik itu media cetak, elektonik (tv dan radio) maupun dunia maya (internet). Ada berita faktual, tetapi ada pula yang sekedar gosip namun hal ini ramai diperbincangkan dan diperdebatkan. Terjebak dalam gosip yang bersifat murahan akan melahirkan tanggapan pro dan kontra, dan yang fatal ialah para pendukung terjebak dalam apa yang tidak diharapkan yakni menyerang (menfitnah) kelompok yang lainnya dengan melakukan apa yang disebut "Black Campaign (Kampanye Hitam)". Mengapa hal tersebut terjadi? Karena manusia melihat kekuasan sebagai tujuan akhir sehingga untuk mencapainya maka mereka menghalalkan berbagai cara. Termasuk dalam hal ini pembunuhan karakter orang yang dipandang sebagai saingan.
Memiliki sifat tendensius terhadap pihak lain akan menciptakan kondisi ketidak-harmonisan antar pribadi (disharmoni) dan hal ini akan merusak tatanan kehidupan bersama dan menciderai kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Dan Alkitab tidak menyangkali akan kecenderungan tersebut bukan hanya dilakukan oleh anak-anak dunia ini, tetapi juga dilakukan oleh anak-anak Tuhan. Jangankan persaingan antar anak-anak dunia ini dengan anak-anak Tuhan lalu mereka saling menjegal, antara anak-anak Tuhan sendiri, jegal-menjegal dipandang sebagai hal yang biasa. Akibatnya, kita tidak lagi dapat membedakan mana warna kehidupan anak-anak dunia ini dan mana warna kehidupan anak-anak Tuhan.
Bagaimana respons Tuhan Yesus?
Yesus tidak mengambil sikap keberpihakan. Ia justru mengajak murid-muridNya untuk memahami bahwa kekuasaan yang menjadi tujuan bagi manusia dunia, justru bagi anak-anak Tuhan harus menjadi alat untuk menggapai kehidupan yang penuh damai dan sejahtera. Jadi, Damai Sejahtera bagi semua, itulah tujuan akhir; bukan kekuasaan.
Untuk itu, Tuhan Yesus menekankan akan hal ini:
"Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mark. 10:43-45)".
Tuhan Yesus menjadi teladan dalam hal ini:
"Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubahNya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggangNya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-muridNya, lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggangNya itu (Yoh. 13:4-5)".
Apa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus menjadi sebuah keharusan bagi murid-muridNya dan bagi setiap orang yang percaya kepadaNya:
"Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Aku adalah Guru dan Tuhan. Jadi, jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu (Yoh. 13:13-15)".
Dunia memang haus kekuasaan, tetapi anak-anak Tuhan tidak boleh serupa dengan dunia ini. Ketika kekuasaan dipakai sebagai alat untuk menguasai bahkan menindas orang lain, maka bagi anak-anak Tuhan, kekuasaan jusru menjadi sarana untuk melayani sesama dan menjadi alat untuk menciptakan damai sejahtera bagi sekalian makhluk.
Dengan demikian saya mau tegaskan bahwa memiliki sikap tendensius terhadap orang lain bukanlah karakter anak-anak Tuhan, itu adalah karakter anak-anak Iblis yang memang tidak menginginkan terciptanya damai sejahtera. Tendensius adalah bahaya laten yang merusak sendi-sendi kehidupan bersama. Karena itu, jadilah penurut-penurut Tuhan.
(Kutuliskan renungan ini sehari pasca debat calon presiden tahap kedua, untuk menjadi bahan perenungan bagi setiap warga jemaat dalam menghadapi situasi yang sedang berlangsung menjelang Pilpres, tgl 9 Juli 2014. Mari kita sukseskan pesta demokrasi sebagai pesta kemenangan bagi seluruh elemen anak bangsa. Ingat, tidak ada yang kalah atau menang dalam perkara ini, sejauh kekuasaan tidak dijadikan tujuan akhir; melainkan yang menjadi tujuan akhir adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia)
No comments:
Post a Comment