Refleksi Batin: Pdt. Joni Delima
(Catatan Sukma Demi Sebuah Perubahan)
Sang Mutlak yang jadi Sumber Ada dari segala yang ada,
dengan wajah yang berkilau bak mentari,
melangkah dengan langkah yang menggoncangkan seisi sorga.
Segala lutut bertekuk di hadapanNya,
dan mata tak kuasa memandang kemuliaanNya.
Lidah pun melekat pada langit-langit,
suara tak terdengar hingga keheningan menyelimuti takhtaNya.
Sang Mutlak duduk di atas singgasanaNya,
desahan nafasNya membuat bulu kuduk berdiri,
merinding seluruh tubuh karena kegentaran.
Seketika terdengar suara menggelegar,
bagai gemuruh menghalau keheningan,
diperintahkanNya membuka gulungan kitab kehidupan,
tempat segala karma tersurat dari segala makhluk yang ada.
Sang Mutlak berang melihat kebejatan,
dengan murka dirangcangkanNya kehancuran.
Tapi hatiNya tersentuh melihat sisi kehidupan mereka yang terpinggirkan,
hidup seadanya dalam ketaatan terhadap Sang Mutlak,
tiada keluh dalam ketidak-beruntungan,
jauh dari sungut walau tubuh berbalutkan derita,
di gubuk yang kumuh terdengar kidung penyembahan,
madah syukur dilantunkan atas nikmat kehidupan.
Mungkinkan laknat harus diwujudkan menghapus segala kebejatan yang ada,
haruskah mereka yang taat binasa bersama mereka yang biadab?
Tidak....jawab Sang Mutlak
Aku harus memulai dari hal-hal ini
Biarlah utusanKu menyampaikan pesan perdamaian,
dan biarlah yang mendengar berbalik dari kebejatan dan hidup dalam kekudusan.
Lalu sang utusan membuka mulutnya, dan menyampaikan Kalam Sang Mutlak:
Menurut Kalam Sang Mutlak,
Dialah Sang Maha Ada,
dan biarlah aku tetap menyebutnya Sang Maha Ada
karena olehNya segala yang ada jadi berada,
bahwa tak pantas bagi yang dibuat menggugat Dia yang membuatnya ada,
tak wajar bagi yang dibuat bertanya akan wibawa Sang Maha Ada
untuk membuat yang ada lebih mulia dari Sang Maha Ada.
Lihatlah dirimu,
engkau hanyalah setitik air di tengah lautan luas,
menyatu dengan samudera,
tak membuat air meluap menutupi daratan,
menguap karena teriknya mentari,
tak mengeringkan samudera,
hilang di angkasa tak mengubah laut jadi hamparan gurun,
tandus dan kerontang.
Sesungguhnya....
Muak Sang Maha Ada melihat tingkah polamu,
merasa lebih tahu segalanya,
ternyata hampa dan tak berarti.
Dengan suara yang menggema,
engkau teriak dari atas podium kesombonganmu,
tapi lihatlah,
semua hilang ditelan luasnya mayapada,
terkubur di kedalaman perut bumi.
Sesungguhnya.....
Muak Sang Maha Ada mendengar ocehanmu,
menganggap diri bersih dari yang lain,
nyatanya: engkau kotor, dekil, bagai kerbau keluar dari kubangannya.
Sesungguhnya.......
Muak Sang Maha Ada mendengar doa-doamu,
menganggap diri suci lebih dari malaikat,
berpakaian putih sebagai simbol kemurnian dari segala yang najis,
tapi tanganmu berlumuran darah kaum tak bersalah,
mulutmu bau bangkai karena fitnah yang tak beralasan,
engkau menyebut dirimu sebagai satu-satunya yang santun,
hingga engkau tak mampu melihat kebaikan yang lain
sebagai hal yang patut dipuji dan diteladani.
Engkau menaruh tanda di dahimu,
sebagai kaum bertawakkal,
namun jubahmu berlumuran noda kenajisan batin,
yang tak berwelas asih bagi yang lain.
Sesungguhnya....
Muak Sang Maha Ada mendengar lantunan pujian penyembahanmu,
semua itu hanya topeng menutup keaibanmu,
kau sembunyikan borok tubuhmu di depan yang lain,
sesama ciptaan yang memiliki setitik kebaikan,
namun kau pandang bodoh dan tak berakhlak.
Engkau menghitung seribu prestasi yang kau torehkan,
namun sejuta kegagalan kau sembunyikan di tempat yang salah,
sebuah peti kaca yang tembus pandang,
sehingga dalam diamnya terungkaplah kebodohanmu.
Sesungguhnya.....
Sang Maha Ada muak meyaksikan sikapmu,
engkau memandang sahabatmu sebagai musuh,
lalu kau singkirkan dia dari pikiranmu dengan sejuta laknat,
dan kau lumat dalam mulutmu dengan selaksa kutuk,
tapi...lihat,
bumi di mana kaki kau pijakkan mulai berperkara,
langit yang di atas kepalamu bersaksi,
kebajikan tak dapat diberangus dalam kelalimanmu,
kebenaran tak dapat terkurung dalam kejahatanmu.
Benarlah Kalam Sang Maha Ada,
bahwa tak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan disingkapkan,
sekalipun itu di langit adanya,
atau sekali pun di alam maut tempatnya,
kebaikan akan bersinar dan gaung kebenaran akan terdengar,
dan bumi akan selamat oleh kebajikan,
tetapi pelaku kejahatan akan dihempaskan,
bagaikan ranting kering yang dicampatkan ke dalam api.Sejenak, Sang utusan terdiam,
menghela nafas,
lalu tangannya meraih segelas air,
diteguknya hingga dahaganya terobati.
Sang utusan melanjutkan perkataannya:
Wahai segala yang ada,
engkau yang terkadang bertindak dari batas ketidak wajaran,
berkoar-koar di luar kontrol pikiran yang bijak.
Tidakkah lebih indah bila engkau jadi setitik embun,
memberi kesejukan bagi rerumputan di kala pagi,
hingga ada harapan hidup kala tiba teriknya sang mentari.
Tidakkah lebih indah jika engkau jadi segelas air,
yang jadi harapan bagi sang musafir melintasi gersangnya gurun,
mengairi keringnya kerongkongan menghapus dahaga,
hingga langkah sang musafir berakhir di kota kediaman orang.
Tidakkah lebih indah engkau jadi anak sungai kecil melintasi ladang,
jadi kebanggaan petani di kala menghadapi kemarau,
hingga ladang anggur bertepik sorak,
dan kebun zaitun tertawa serta hamparan kembang tersenyum di tepi jalan,
menyambut aliran airmu,
walau tak seberapa namun memberi harapan kehidupan.
Wahai engkau yang ada,
terlahir dalam kesucian namun ternoda dalam nafsu dan keserakahan.
Sang Maha Ada menggugat keberadaanmu,
Sang Maha Ada menggugat kehadiranmu.
Jadilah dirimu sebagai gambaran dari Sang Maha Ada,
biarlah perbuatanmu menampakkan rupaNya,
hingga di dalammu Sang Maha Ada dimuliakan,
dan segalanya dituntun ke dalam haribaanNya,
hingga semua yang ada beroleh damai dalam naunganNya.
Sang Maha Ada menggugat,
Jadilah pembawa damai untuk segala yang ada,
karena sorga itu tidaklah terlampau jauh.
Sorga itu ada di setiap jejak langkah yang kau tinggalkan,
ketika semua merasa damai berjumpa denganmu.
(Karya ini kupersembahkan untuk semua orang yang merasa diri anak bangsa. Di saat konstilasi politik semakin memanas, kehidupan bersesama pun sangat rentan terhadap perpecahan. Tak ada hal yang lebih indah selain Kasih. Mengapa Tuhan menggugat? Karena di antara ciptaanNya - manusia, telah kehilangan makna Kasih. Kasih bukanlah rangkaian kata-kata, tetapi kasih adalah sebuah Tindakan)
(Catatan Sukma Demi Sebuah Perubahan)
Sang Mutlak yang jadi Sumber Ada dari segala yang ada,
dengan wajah yang berkilau bak mentari,
melangkah dengan langkah yang menggoncangkan seisi sorga.
Segala lutut bertekuk di hadapanNya,
dan mata tak kuasa memandang kemuliaanNya.
Lidah pun melekat pada langit-langit,
suara tak terdengar hingga keheningan menyelimuti takhtaNya.
Sang Mutlak duduk di atas singgasanaNya,
desahan nafasNya membuat bulu kuduk berdiri,
merinding seluruh tubuh karena kegentaran.
Seketika terdengar suara menggelegar,
bagai gemuruh menghalau keheningan,
diperintahkanNya membuka gulungan kitab kehidupan,
tempat segala karma tersurat dari segala makhluk yang ada.
Sang Mutlak berang melihat kebejatan,
dengan murka dirangcangkanNya kehancuran.
Tapi hatiNya tersentuh melihat sisi kehidupan mereka yang terpinggirkan,
hidup seadanya dalam ketaatan terhadap Sang Mutlak,
tiada keluh dalam ketidak-beruntungan,
jauh dari sungut walau tubuh berbalutkan derita,
di gubuk yang kumuh terdengar kidung penyembahan,
madah syukur dilantunkan atas nikmat kehidupan.
Mungkinkan laknat harus diwujudkan menghapus segala kebejatan yang ada,
haruskah mereka yang taat binasa bersama mereka yang biadab?
Tidak....jawab Sang Mutlak
Aku harus memulai dari hal-hal ini
Biarlah utusanKu menyampaikan pesan perdamaian,
dan biarlah yang mendengar berbalik dari kebejatan dan hidup dalam kekudusan.
Lalu sang utusan membuka mulutnya, dan menyampaikan Kalam Sang Mutlak:
Menurut Kalam Sang Mutlak,
Dialah Sang Maha Ada,
dan biarlah aku tetap menyebutnya Sang Maha Ada
karena olehNya segala yang ada jadi berada,
bahwa tak pantas bagi yang dibuat menggugat Dia yang membuatnya ada,
tak wajar bagi yang dibuat bertanya akan wibawa Sang Maha Ada
untuk membuat yang ada lebih mulia dari Sang Maha Ada.
Lihatlah dirimu,
engkau hanyalah setitik air di tengah lautan luas,
menyatu dengan samudera,
tak membuat air meluap menutupi daratan,
menguap karena teriknya mentari,
tak mengeringkan samudera,
hilang di angkasa tak mengubah laut jadi hamparan gurun,
tandus dan kerontang.
Sesungguhnya....
Muak Sang Maha Ada melihat tingkah polamu,
merasa lebih tahu segalanya,
ternyata hampa dan tak berarti.
Dengan suara yang menggema,
engkau teriak dari atas podium kesombonganmu,
tapi lihatlah,
semua hilang ditelan luasnya mayapada,
terkubur di kedalaman perut bumi.
Sesungguhnya.....
Muak Sang Maha Ada mendengar ocehanmu,
menganggap diri bersih dari yang lain,
nyatanya: engkau kotor, dekil, bagai kerbau keluar dari kubangannya.
Sesungguhnya.......
Muak Sang Maha Ada mendengar doa-doamu,
menganggap diri suci lebih dari malaikat,
berpakaian putih sebagai simbol kemurnian dari segala yang najis,
tapi tanganmu berlumuran darah kaum tak bersalah,
mulutmu bau bangkai karena fitnah yang tak beralasan,
engkau menyebut dirimu sebagai satu-satunya yang santun,
hingga engkau tak mampu melihat kebaikan yang lain
sebagai hal yang patut dipuji dan diteladani.
Engkau menaruh tanda di dahimu,
sebagai kaum bertawakkal,
namun jubahmu berlumuran noda kenajisan batin,
yang tak berwelas asih bagi yang lain.
Sesungguhnya....
Muak Sang Maha Ada mendengar lantunan pujian penyembahanmu,
semua itu hanya topeng menutup keaibanmu,
kau sembunyikan borok tubuhmu di depan yang lain,
sesama ciptaan yang memiliki setitik kebaikan,
namun kau pandang bodoh dan tak berakhlak.
Engkau menghitung seribu prestasi yang kau torehkan,
namun sejuta kegagalan kau sembunyikan di tempat yang salah,
sebuah peti kaca yang tembus pandang,
sehingga dalam diamnya terungkaplah kebodohanmu.
Sesungguhnya.....
Sang Maha Ada muak meyaksikan sikapmu,
engkau memandang sahabatmu sebagai musuh,
lalu kau singkirkan dia dari pikiranmu dengan sejuta laknat,
dan kau lumat dalam mulutmu dengan selaksa kutuk,
tapi...lihat,
bumi di mana kaki kau pijakkan mulai berperkara,
langit yang di atas kepalamu bersaksi,
kebajikan tak dapat diberangus dalam kelalimanmu,
kebenaran tak dapat terkurung dalam kejahatanmu.
Benarlah Kalam Sang Maha Ada,
bahwa tak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan disingkapkan,
sekalipun itu di langit adanya,
atau sekali pun di alam maut tempatnya,
kebaikan akan bersinar dan gaung kebenaran akan terdengar,
dan bumi akan selamat oleh kebajikan,
tetapi pelaku kejahatan akan dihempaskan,
bagaikan ranting kering yang dicampatkan ke dalam api.Sejenak, Sang utusan terdiam,
menghela nafas,
lalu tangannya meraih segelas air,
diteguknya hingga dahaganya terobati.
Sang utusan melanjutkan perkataannya:
Wahai segala yang ada,
engkau yang terkadang bertindak dari batas ketidak wajaran,
berkoar-koar di luar kontrol pikiran yang bijak.
Tidakkah lebih indah bila engkau jadi setitik embun,
memberi kesejukan bagi rerumputan di kala pagi,
hingga ada harapan hidup kala tiba teriknya sang mentari.
Tidakkah lebih indah jika engkau jadi segelas air,
yang jadi harapan bagi sang musafir melintasi gersangnya gurun,
mengairi keringnya kerongkongan menghapus dahaga,
hingga langkah sang musafir berakhir di kota kediaman orang.
Tidakkah lebih indah engkau jadi anak sungai kecil melintasi ladang,
jadi kebanggaan petani di kala menghadapi kemarau,
hingga ladang anggur bertepik sorak,
dan kebun zaitun tertawa serta hamparan kembang tersenyum di tepi jalan,
menyambut aliran airmu,
walau tak seberapa namun memberi harapan kehidupan.
Wahai engkau yang ada,
terlahir dalam kesucian namun ternoda dalam nafsu dan keserakahan.
Sang Maha Ada menggugat keberadaanmu,
Sang Maha Ada menggugat kehadiranmu.
Jadilah dirimu sebagai gambaran dari Sang Maha Ada,
biarlah perbuatanmu menampakkan rupaNya,
hingga di dalammu Sang Maha Ada dimuliakan,
dan segalanya dituntun ke dalam haribaanNya,
hingga semua yang ada beroleh damai dalam naunganNya.
Sang Maha Ada menggugat,
Jadilah pembawa damai untuk segala yang ada,
karena sorga itu tidaklah terlampau jauh.
Sorga itu ada di setiap jejak langkah yang kau tinggalkan,
ketika semua merasa damai berjumpa denganmu.
(Karya ini kupersembahkan untuk semua orang yang merasa diri anak bangsa. Di saat konstilasi politik semakin memanas, kehidupan bersesama pun sangat rentan terhadap perpecahan. Tak ada hal yang lebih indah selain Kasih. Mengapa Tuhan menggugat? Karena di antara ciptaanNya - manusia, telah kehilangan makna Kasih. Kasih bukanlah rangkaian kata-kata, tetapi kasih adalah sebuah Tindakan)
super sekali pak pendeta...
ReplyDelete