Laman

Thursday, April 30, 2015

Ibu Bermata Satu

Sebuah kisah inspiratif yang disadur dari
"the Story of the One-Eyed Mother"
Kisah ini saya olah kembali tanpa menghilangkan makna yang sesungguhnya.
Nama-nama yang dipakai adalah fiktif
Dan jikalau ada kesamaan nama itu bukan sebuah kesengajaan.




Ibu Nita adalah seorang yang ulet. Walau ia sudah ditinggal mati sang suami, namun ia tidak pernah patah semangat untuk mencari nafkah dan menyisihkan penghasilannya untuk membiaya sekolah anaknya (Wandi). Pekerjaan ibu Nita adalah juru masak di sebuah sekolah, memasak buat anak-anak sekolah dan juga buat guru-guru.

Namun ada satu hal yang membuat ibu Nita bergumul setiap hari, yakni kondisinya yang hanya memiliki satu mata dan hal ini membuat Wandi sulit untuk menerima keadaan tersebut.

Suatu ketika, ibu Nita datang ke tempat di mana Wandi bersekolah. Dan hal ini membuat Wandi marah. Wandi merasa dipermalukan. Ia berkata pada dirinya: "teganya ibu memperlakukan aku seperti ini di depan teman-temanku". Karena itu, Wandi membuang muka dan berlari meninggalkan ibunya yang hanya berdiri termangu melihat tingkah anaknya itu. Namun dalam hati kecil ibu Nita, tidak ada sedikit pun timbul perasaan untuk mempersalahkan karena sikap anaknya itu.

Keesokan harinya, ketika Wandi baru saja melangkah masuk ke halaman sekolah, seorang temannya nyelutuk sambil memandang wajah Wandi yang masih kesal dengan peristiwa kemarin. Temannya itu berkata: "Wandi! Ternyata ibumu hanya memiliki satu mata ya?. Di mana biji matanya yang satu itu?".

Wandi merasa malu karena pertanyaan temannya itu. Seselesai sekolah, ia bergegas pulang ke rumah untuk melampiaskan kekesalannya. Dan ketika ibunya kembali dari tempat kerja, ia pun langsung bertanya kepada ibunya: "Ibu, kenapa ibu hanya memiliki satu mata. Di mana biji matamu yang satu itu? Kalau engkau hanya mau menjadikan aku bahan ejekan orang banyak, kenapa engkau tidak segera mati saja?".

Ibu Nita hanya terdiam tak bereaksi. Ia berusaha menyembunyikan perasaannya di depan Wandi anaknya itu. Ia tetap memandang anaknya dengan tatapan kasih sayang walau anaknya memperlakukan dan menilai dirinya dengan tidak sewajarnya. Ia sesungguhnya mau menceritakan kepada Wandi, mengapa ia hanya memiliki satu mata; namun ia tidak mau melukai perasaan anaknya itu. Karena itu, ibu Nita hanya berusaha menahan diri di depan anaknya untuk tidak mengatakan sepatah katapun sebagai jawaban atas pertanyaan anaknya itu.

Suatu malam, Wandi terbangun dan menuju ke dapur hendak mengambil segelas air minum. Tiba-tiba, ia mendengar isak-tangis ibunya di sudut dapur. Wandi pun merasa bersalah dengan semua ucapannya, namun karena perasaan malu terhadap teman-temannya sehingga ia kesal dan marah terhadap ibunya. Kekesalan itulah yang membuat Wandi ingin jauh dari ibunya.

Beberapa tahun berlalu, akhirnya Wandi menyelesaikan kuliahnya. Dan karena ia termasuk mahasiswa yang berprestasi, sehingga ia dengan mudah mendapatkan lapangan pekerjaan. Iapun diangkat sebagai pengawas di salah satu perusahan asing di Singapore. Wandi merasa senang, bukan karena pekerjaan yang didapatkannya, tetapi karena harapannya untuk menjauh dari sang ibu terkabul.

Di Singapore, karier Wandi terus menanjak dan karenanya dia diangkat menjadi GM di perusahaan tersebut. Ia pun menikah dengan seorang gadis Singapore dan dikaruniai dua orang anak. Wandi merasa telah menikmati hidup yang bahagia bersama dengan isteri dan anak-anaknya sehingga ingatannya tentang sang ibu pun hilang.

Tetapi, pada suatu pagi, ia dikejutkan oleh teriakan salah seorang anaknya. Sang anak berlari ketakutan dan memeluk ayahnya. Wandi bertanya mengapa anaknya begitu ketakutan seperti melihat hantu. Anaknya pun menceritakan apa yang dilihatnya di luar rumah. Mendengar hal tersebut, Wandi naik pitam. Ia keluar dan menjumpai wanita itu yang tidak lain adalah ibunya. Di depan isteri dan kedua anaknya Wandi berteriak bahwa ia tidak mengenal perempuan yang mengaku diri sebagai ibunya. Ia membentak dan mengusir perempuan itu: "keluar dari sini, sekarang juga!". Ibu Nita hanya berkata: "oh...maaf. Aku mungkin salah alamat". Kemudian ia meninggalkan rumah tersebut dan kembali ke tanah air. Wandi merasa lega dan berkata dalam hati: "oh..syukurlah, ternyata ia tidak mengenaliku".

Setahun setelah peristiwa tersebut, Wandi mendapat surat undangan untuk menghadiri Reuni Akbar Sekolahnya. Hatinya merasa senang, karena inilah kesempatan baginya untuk memperlihatkan kepada teman-temannya bahwa dia adalah Wandi yang dahulu jadi bahan ejekan, tetapi kita telah menjadi seorang GM di sebuah perusahan asing yang sangat terkenal. Wandi pun berbohong kepada isteri dan anak-anaknya bahwa ia mendapat tugas beberapa hari untuk mengembangkan anak perusahan yang ada di Indonesia. Setelah mendapat restu dari isteri dan anak-anaknya, ia pun berangkat ke Indonesia.

Saat Reuni berlangsung, Wandi menjadi pusat perhatian. Semua orang bangga atas prestasi yang dicapainya dan teman-teman yang dahulu selalu mengejek dirinya, semuanya pada datang meminta maaf serta meminta saran apa yang harus mereka lakukan agar juga berhasil seperti dirinya. Wandi merasa tersanjung, dan rasa-rasanya acara reunian itu hanya dilakukan untuk merayakan keberhasilannya.

Sebelum kembali ke Singapore, Wandi merasa rindu pada rumah gubuk di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Ia menyempatkan diri untuk mendatangi rumahnya walau ia sendiri tidak ingin bertemu dengan ibunya. Sesampai di gubuk tua itu, Wandi merasa ada sesuatu yang aneh. Gubuk itu sunyi-sepi, seperti tak berpenghuni. Ia pun memberanikan diri untuk mendorong pintu dan masuk ke dalam. Dan tiba-tiba, ia melihat ibunya terjatuh di tanah yang dingin. Wajahnya pucat pasi, namun pun demikian tetap memancarkan senyuman. Wandi memandang wajah ibunya, mata sang ibu sedikit pun tidak mengeluarkan airmata. Di tangan ibunya ada secarik kertas. Wandi pun mengambilnya dan membacanya dengan linangan airmata. Inilah catatan yang ada di secarik kertas itu:

Wandi....anakku.
Aku rasa hidupku cukup sudah kini. Dan aku tidak akan pergi ke Singapore lagi.
Tetapi apakah ini terlalu berlebihan bila aku mengharapkan engkau yang datang mengunjungiku?
Aku sungguh sangat merindukanmu! Aku ingin memandang wajahmu walau hanya sesaat.

Wandi...anakku
Aku sangat gembira ketika kudengar bahwa engkau datang pada reuni sekolahmu. Tapi aku memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah itu. Ini kulakukan demi engkau. Ini kulakukan agar engkau tidak malu lagi di depan teman-temanmu.

Sesungguhnya aku menyesal karena aku hanya memiliki satu mata. Aku menyesal karena keadaanku ini membuat engkau dipermalukan di depan teman-temanmu.

Sekarang aku ingin memberitahukan hal yang sesungguhnya terjadi terhadap diriku.
Dulu...ketika engkau masih kecil, engkau mengalami kecelakaan bersama dengan ayahmu. Ayahmu tidak tertolong sedang engkau sendiri selamat walau engkau harus kehilangan salah satu matamu. Sebagai seorang ibu, aku tidak bisa tinggal diam melihat engkau akan tumbuh besar dengan hanya memiliki satu mata. Jadi...kuberikan salah satu biji mataku untukmu.

Aku sangat bangga akan dirimu yang telah dapat melihat sebuah dunia yang baru untukku. Ke mana pun engkau pergi dan di mana pun engkau berada, engkau selalu membawa diriku karena sebiji mataku ada padamu. Aku tidak akan pernah merasa marah dengan perlakuanmu terhadap aku. Beberapa kali engkau memarahiku, aku selalu menenangkan diriku dan berkata: "ini karena engkau mencintaku".

Selamat anakku, bahagiakanlah hidupmu; sebab kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga.
Semoga secarik kertas ini ada di tanganmu dan ketahuilah, aku sangat mencintaimu.

Dari ibu yang bermata satu
Selesai membaca surat tersebut, Wandi pun memeluk ibunya dengan tangisan dan airmata. Ia baru sadar bahwa ibunya telah memberi yang sangat berharga untuk hidup dan masa depannya.

Refleksi:

Terkadang kita sebagai anak tidak tahu bahkan tidak mau tahu seberapa besar pengorbanan seorang ibu bagi kita anaknya. Karena itu, hargailah dan hormatilah sang ibu selagi ia masih hidup tanpa mempersoalkan bagaimana tampilannya. Mungkin saja tampilannya tidak sesuai selera kita, tapi sesungguhnya apa yang terjadi pada dirinya itu karena ia tidak mau hidup dan masa depan anaknya sia-sia. Sadarilah bahwa apa yang kurang pada diri seorang ibu, ternyata hal itu telah diberikan untuk menutupi kekurang yang ada pada anaknya.

Demikian juga halnya hubungan kita dengan Tuhan. Ia telah mengorbankan yang paling mulia pada diriNya hanya karena Tuhan tidak mau hidup kita binasa. Yesus dikorbankan agar dengan itu kita dapat menikmati hidup yang berdamai sejahtera. Ingatlah akan hal ini: Tuhan tidak mau anda binasa.

No comments:

Post a Comment

Web gratis

Web gratis
Power of Love