Sebuah Refleksi Pribadi
Bacaan : Wahyu 2 : 18 - 29
Saudaraku....
Kata "DISIPLIN" tentu tidak asing lagi di telinga kita. Dan kata ini menurut hemat saya, adalah salah satu kata kunci untuk mencapai puncak keberhasilan atau kesuksesan. Tanpa kedisiplinan maka harapan tentang kehidupan yang lebih baik akan menjadi sirna.
Contoh:
Seorang atlit tidaklah mungkin dapat meraih mimpinya untuk keluar sebagai pemenang pada sebuah event yang dilombakan jikalau hidupnya tidak "DISIPLIN"; disiplin dalam hal waktu, disiplin dalam hal berlatih, disiplin dalam hal mengikuti instruksi sang pelatih, disiplin dalam hal menjaga kebugaran, disiplin dalam hal mengikuti aturan lomba, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kalau ia hanya mengikuti keinginannya sendiri atau hawa nafsunya, maka jangan pernah berharap untuk meraih kemenangan.
Demikian juga dengan anda yang bekerja sebagai PNS atau Karyawan Swasta. Jenjang karier anda sangat ditentukan oleh kedisiplinan anda untuk mengikuti prosedur atau aturan yang berlaku. Jika anda indispliner, maka ada sanksi yang menanti. Bisa jadi anda diberhentikan atau di-PHK, atau pangkat/karier anda tertahan.
Saudaraku.......
Berbicara tentang DISIPLIN maka kita juga sedang membicarakan tentang KETEGASAN. Sebab DISIPLIN tanpa KETEGASAN, hanyalah sebuah SLOGAN atau RETORIKA.
Tapi yang menjadi masalah ialah: KETEGASAN itu memang mudah untuk dibicarakan, tetapi sangat sulit untuk dipraktekkan, terlebih jika hal tersebut sudah menyentuh masalah KEPENTINGAN anda.
Coba bayangkan:
Jika anda hanyalah seorang pegawai rendahan, anda sangat disiplin pada profesi anda dan taat pada aturan yang berlaku di instansi anda bekerja. Namun anda menyaksikan bagaimana teman-teman sekerja anda acuh tak acuh dalam bekerja, sedang pimpinan anda tidak tegas dalam memberlakukan sanksi atas pelanggaran disiplin. Pastilah anda kecewa, bukan?
Anda mau menegor teman anda, anda takut dijauhi bahkan anda takut dituduh "penjilat atau cari muka atau sok suci".
Anda mau menegor sang pimpinan, tapi anda tidak punya nyali atau keberanian untuk melakukannya.
Mengapa?.
Karena kepentingan, bukan?.
Taruhannya sangat mahal! Anda kena damprat, atau anda diberhentikan!.
Dalam konteks penegakan supremasi hukum di negara kita, akan sangat nampak hal demikian. Jujur saya mau katakan tentang realita yang ada, bahwa hukum selama ini: "Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah". Hukum begitu mudah dibengkokkan sehingga berpihak kepada yang berkuasa dan yang berduit, tetapi sangat sulit berpihak kepada orang miskin dan kaum minoritas. Hukum di negara kita sangat diskriminatif dalam pelaksanaannya.
Saya sangat miris membaca komentar seorang pejabat negara yang mengatakan bahwa "Korupsi itu adalah Oli Pembangunan".
Itu baru komentar!.
Bagaimana dengan kenyataan yang ada?.
Benar saja HUKUM berbelok arah dan berpihak pada penguasa dan kaum berduit. Sangat memprihatinkan, seorang pejabat tinggi yang nyata-nyata mencuri uang negara bermilyar-milyar atau pun triliunan, begitu banyak praktisi hukum berbondong-bondong memberi diri untuk menjadi pembelanya, sehingga yang bersangkutan hanya dijatuhi hukuman yang ringan bahkan bebas dari segala tuntutan.
Tapi ada seorang nenek yang sudah renta, menderita kelaparan. Demi menyambung hidup, ia lalu mencuri pisang tetangganya. Ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan sebelum gelar perkara. Adakah yang mau dengan sukarela menjadi pembelanya? Adakah antrian para praktisi hukum yang berbondong-bondong memberi diri untuk berpihak pada nenek yang renta ini?
Tidak ada, bukan?.
Syukur kalau ada satu atau dua orang yang mau membelanya.
Tapi kenyataannya, "tidak ada", sehingga negara ("atas nama hukum") kemudian bertindak menyediakan pendampingan/advokasi hukum bagi yang bersangkutan.
Bukankah ini sebuah "KETERPAKSAAN"?.
Karena tidak ada yang mau atau rela, maka apa boleh buat. Negara menunjuk orang untuk mendampingi. Karena keterpaksaan seperti ini, maka tidak salah jika keberpihakan hukum terhadap orang kecil sama sekali tidak mendapat perhatian.
Tidakkah kita menyaksikan hal yang sangat memilukan: justru maling kecil-kecilan, yang demi menyambung hidup maka terpaksa dia harus mencuri, orang yang seperti ini dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya, bukan?. Masih ingat bagaimana sebuah koorporasi melakukan pembalakan dan pembakaran hutan sampai asapnya dieksport ke luar negeri. Adakah hukuman yang seberat-beratnya dijatuhkan kepada pihak yang melakukannya? Justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada nenek Asyani (63 thn) di Situbondo yang menebang 7 pohon kayu jati di kebunnya sendiri demi menyambung hidup. Tetapi apa yang terjadi? Pengadilan Negeri Situbondo - Jawa Timur, tgl. 9 Maret 2015 menggelar perkara tersebut. Nenek Asyani dituduh melakukan penebangan liar di hutan milik Inhutani lalu dijerat dengan Pasal. 12d juncto psl. 83 ayat 1a UU 18 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, lalu hakim menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dan denda 500 juta subsider 1 hari penjara.
Kasus yang menimpa nenek Asyani dan masih banyak lagi kasus yang dialami oleh masyarakat kecil, menjadi potret buruk penegakan hukum di Indonesia yang tidak mengedepankan "Restorative Justice" (Keadilan Restoratif). Sebab kasus menebang 7 pohon tidak dapat dikategorikan sebagai Illegal Logging. Apalagi yang bersangkutan memiliki dasar hukum kepemilikan atas tanah.
Saudara-saudaraku................
Kondisi seperti inilah yang terjadi di Jemaat Tiatira. Memang untuk hal kedisiplinan, jemaat ini dipuji. Soal kasih dan iman; pelayanan dan ketekunan, hal seperti itu tidak diragukan.
Tapi Tuhan mencela Jemaat Tiatira karena apa?.
Karena tidak ada KETEGASAN dalam menjatuhkan sanksi atas setiap pelanggaran. Persoalannya menjadi para karena yang melakukan pelanggaran atau tindakan indispliner itu adalah PEMIMPIN UMAT.
Siapa yang berani menegor mereka?.
Semua orang diam karena takut kehilangan jabatan atau pekerjaan, sehingga apa pun kesalahan pemimpin-pemimpin itu dibiarkan saja. Tidak ada yang berani mengambil resiko untuk "mengingatkan dan menegor". Dan yang membuat kita miris melihatnya ialah. HUKUM pun tidak tampak taringnya; seperti singa ompong. Raungannya sangat menyeramkan, tapi gigitan atau cakarnya tidak mematikan. Tetapi jika orang kecil yang tertimpa masalah, HUKUM begitu tajam seperti "pedang bermata dua".
Saudaraku............
Apakah Tuhan diam menyaksikan kondisi yang demikian?.
Tidak! Tuhan tidak diam.
Pada Tuhan, tidak ada kompromi atau pun toleransi. Bagi Tuhan, HUKUM tetap berlaku dan harus ditegakkan: "Benar tetap Benar, Salah tetap Salah". Hal itu tidak dapat dibelokkan.
Tuhan tidak akan pernah memandang muka, IA tetap TEGAS dalam menegakkan DISIPLIN. Ketika Tuhan bertindak maka konsekwensi yang akan diterima orang-orang yang melakukan kejahatan bahkan yang menindas kaum miskin adalah sangat mengerikan. Mereka akan diremukkan seperti tembikar yang tidak lagi berguna di tangan seorang tukan periuk.
Saudaraku......
Jemaat Tiatira menjadi cermin kehidupan bagi kita. Boleh jadi kita adalah orang-orang yang penuh dengan disiplin. Tetapi apalah arti DISIPLIN tanpa KETEGASAN. Ingatlah selalu pada keluarga Imam Eli di Silo. Keluarga ini ditolak lalu dibinasakan karena tidak adanya KETEGASAN dalam menegakkan DISIPLIN.
Untuk inilah saya menawarkan formula jitu yang dikehendaki oleh Tuhan:
KEDISIPLINAN x KETEGASAN = SHALOM.
Selamat menjalani hidup, jangan pernah menyerah dengan keadaan. Tuhan Yesus memberkati.
Bacaan : Wahyu 2 : 18 - 29
Saudaraku....
Kata "DISIPLIN" tentu tidak asing lagi di telinga kita. Dan kata ini menurut hemat saya, adalah salah satu kata kunci untuk mencapai puncak keberhasilan atau kesuksesan. Tanpa kedisiplinan maka harapan tentang kehidupan yang lebih baik akan menjadi sirna.
Contoh:
Seorang atlit tidaklah mungkin dapat meraih mimpinya untuk keluar sebagai pemenang pada sebuah event yang dilombakan jikalau hidupnya tidak "DISIPLIN"; disiplin dalam hal waktu, disiplin dalam hal berlatih, disiplin dalam hal mengikuti instruksi sang pelatih, disiplin dalam hal menjaga kebugaran, disiplin dalam hal mengikuti aturan lomba, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kalau ia hanya mengikuti keinginannya sendiri atau hawa nafsunya, maka jangan pernah berharap untuk meraih kemenangan.
Demikian juga dengan anda yang bekerja sebagai PNS atau Karyawan Swasta. Jenjang karier anda sangat ditentukan oleh kedisiplinan anda untuk mengikuti prosedur atau aturan yang berlaku. Jika anda indispliner, maka ada sanksi yang menanti. Bisa jadi anda diberhentikan atau di-PHK, atau pangkat/karier anda tertahan.
Saudaraku.......
Berbicara tentang DISIPLIN maka kita juga sedang membicarakan tentang KETEGASAN. Sebab DISIPLIN tanpa KETEGASAN, hanyalah sebuah SLOGAN atau RETORIKA.
Tapi yang menjadi masalah ialah: KETEGASAN itu memang mudah untuk dibicarakan, tetapi sangat sulit untuk dipraktekkan, terlebih jika hal tersebut sudah menyentuh masalah KEPENTINGAN anda.
Coba bayangkan:
Jika anda hanyalah seorang pegawai rendahan, anda sangat disiplin pada profesi anda dan taat pada aturan yang berlaku di instansi anda bekerja. Namun anda menyaksikan bagaimana teman-teman sekerja anda acuh tak acuh dalam bekerja, sedang pimpinan anda tidak tegas dalam memberlakukan sanksi atas pelanggaran disiplin. Pastilah anda kecewa, bukan?
Anda mau menegor teman anda, anda takut dijauhi bahkan anda takut dituduh "penjilat atau cari muka atau sok suci".
Anda mau menegor sang pimpinan, tapi anda tidak punya nyali atau keberanian untuk melakukannya.
Mengapa?.
Karena kepentingan, bukan?.
Taruhannya sangat mahal! Anda kena damprat, atau anda diberhentikan!.
Dalam konteks penegakan supremasi hukum di negara kita, akan sangat nampak hal demikian. Jujur saya mau katakan tentang realita yang ada, bahwa hukum selama ini: "Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah". Hukum begitu mudah dibengkokkan sehingga berpihak kepada yang berkuasa dan yang berduit, tetapi sangat sulit berpihak kepada orang miskin dan kaum minoritas. Hukum di negara kita sangat diskriminatif dalam pelaksanaannya.
Saya sangat miris membaca komentar seorang pejabat negara yang mengatakan bahwa "Korupsi itu adalah Oli Pembangunan".
Itu baru komentar!.
Bagaimana dengan kenyataan yang ada?.
Benar saja HUKUM berbelok arah dan berpihak pada penguasa dan kaum berduit. Sangat memprihatinkan, seorang pejabat tinggi yang nyata-nyata mencuri uang negara bermilyar-milyar atau pun triliunan, begitu banyak praktisi hukum berbondong-bondong memberi diri untuk menjadi pembelanya, sehingga yang bersangkutan hanya dijatuhi hukuman yang ringan bahkan bebas dari segala tuntutan.
Tapi ada seorang nenek yang sudah renta, menderita kelaparan. Demi menyambung hidup, ia lalu mencuri pisang tetangganya. Ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan sebelum gelar perkara. Adakah yang mau dengan sukarela menjadi pembelanya? Adakah antrian para praktisi hukum yang berbondong-bondong memberi diri untuk berpihak pada nenek yang renta ini?
Tidak ada, bukan?.
Syukur kalau ada satu atau dua orang yang mau membelanya.
Tapi kenyataannya, "tidak ada", sehingga negara ("atas nama hukum") kemudian bertindak menyediakan pendampingan/advokasi hukum bagi yang bersangkutan.
Bukankah ini sebuah "KETERPAKSAAN"?.
Karena tidak ada yang mau atau rela, maka apa boleh buat. Negara menunjuk orang untuk mendampingi. Karena keterpaksaan seperti ini, maka tidak salah jika keberpihakan hukum terhadap orang kecil sama sekali tidak mendapat perhatian.
Tidakkah kita menyaksikan hal yang sangat memilukan: justru maling kecil-kecilan, yang demi menyambung hidup maka terpaksa dia harus mencuri, orang yang seperti ini dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya, bukan?. Masih ingat bagaimana sebuah koorporasi melakukan pembalakan dan pembakaran hutan sampai asapnya dieksport ke luar negeri. Adakah hukuman yang seberat-beratnya dijatuhkan kepada pihak yang melakukannya? Justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada nenek Asyani (63 thn) di Situbondo yang menebang 7 pohon kayu jati di kebunnya sendiri demi menyambung hidup. Tetapi apa yang terjadi? Pengadilan Negeri Situbondo - Jawa Timur, tgl. 9 Maret 2015 menggelar perkara tersebut. Nenek Asyani dituduh melakukan penebangan liar di hutan milik Inhutani lalu dijerat dengan Pasal. 12d juncto psl. 83 ayat 1a UU 18 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, lalu hakim menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dan denda 500 juta subsider 1 hari penjara.
Kasus yang menimpa nenek Asyani dan masih banyak lagi kasus yang dialami oleh masyarakat kecil, menjadi potret buruk penegakan hukum di Indonesia yang tidak mengedepankan "Restorative Justice" (Keadilan Restoratif). Sebab kasus menebang 7 pohon tidak dapat dikategorikan sebagai Illegal Logging. Apalagi yang bersangkutan memiliki dasar hukum kepemilikan atas tanah.
Saudara-saudaraku................
Kondisi seperti inilah yang terjadi di Jemaat Tiatira. Memang untuk hal kedisiplinan, jemaat ini dipuji. Soal kasih dan iman; pelayanan dan ketekunan, hal seperti itu tidak diragukan.
Tapi Tuhan mencela Jemaat Tiatira karena apa?.
Karena tidak ada KETEGASAN dalam menjatuhkan sanksi atas setiap pelanggaran. Persoalannya menjadi para karena yang melakukan pelanggaran atau tindakan indispliner itu adalah PEMIMPIN UMAT.
Siapa yang berani menegor mereka?.
Semua orang diam karena takut kehilangan jabatan atau pekerjaan, sehingga apa pun kesalahan pemimpin-pemimpin itu dibiarkan saja. Tidak ada yang berani mengambil resiko untuk "mengingatkan dan menegor". Dan yang membuat kita miris melihatnya ialah. HUKUM pun tidak tampak taringnya; seperti singa ompong. Raungannya sangat menyeramkan, tapi gigitan atau cakarnya tidak mematikan. Tetapi jika orang kecil yang tertimpa masalah, HUKUM begitu tajam seperti "pedang bermata dua".
Saudaraku............
Apakah Tuhan diam menyaksikan kondisi yang demikian?.
Tidak! Tuhan tidak diam.
Pada Tuhan, tidak ada kompromi atau pun toleransi. Bagi Tuhan, HUKUM tetap berlaku dan harus ditegakkan: "Benar tetap Benar, Salah tetap Salah". Hal itu tidak dapat dibelokkan.
Tuhan tidak akan pernah memandang muka, IA tetap TEGAS dalam menegakkan DISIPLIN. Ketika Tuhan bertindak maka konsekwensi yang akan diterima orang-orang yang melakukan kejahatan bahkan yang menindas kaum miskin adalah sangat mengerikan. Mereka akan diremukkan seperti tembikar yang tidak lagi berguna di tangan seorang tukan periuk.
Saudaraku......
Jemaat Tiatira menjadi cermin kehidupan bagi kita. Boleh jadi kita adalah orang-orang yang penuh dengan disiplin. Tetapi apalah arti DISIPLIN tanpa KETEGASAN. Ingatlah selalu pada keluarga Imam Eli di Silo. Keluarga ini ditolak lalu dibinasakan karena tidak adanya KETEGASAN dalam menegakkan DISIPLIN.
Untuk inilah saya menawarkan formula jitu yang dikehendaki oleh Tuhan:
KEDISIPLINAN x KETEGASAN = SHALOM.
Selamat menjalani hidup, jangan pernah menyerah dengan keadaan. Tuhan Yesus memberkati.
No comments:
Post a Comment