Laman

Thursday, October 20, 2016

Jawami'ul Kalim (Bagian 1)

Sebuah Refleksi Pribadi
Matius 17:20, Yakobus 3:13-18

Mohon maaf kepada rekan-rekan saya yang beragama Muslim; untuk judul perenungan dan refleksi saya ini, saya mempergunakan bahasa Arab. Saya sendiri tidak pandai berbahasa Arab bahkan sama sekali tidak tahu berbahasa Arab. Istilah yang menjadi judul perenungan dan refleksi saya hari ini saya dapatkan pada saat perjalanan/tour rohani tahun 2009 di Mesir, yakni ketika melakukan peziarahan di Gereja Ortodoks Koptik St. Perawan Maria yang merupakan salah satu Gereja Tertua dan bersejarah di Mesir. Gereja ini lebih dikenal dengan nama El-Mu'allaqah = The Hanging Church (Gereja Gantung).

Sebelum saya membahas tentang maksud saya mempergunakan judul di atas, adalah baik jika kita sejenak menggali sejarah The Hanging Church atau El-Mu'allaqah.

Pada abad ke-9/10, Mesir berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan dari mashab/dinasty Fatimiyah atau yang juga dikenal dengan nama Al-Fathimiyyun. Kekhalifahan Fatimiyah sesungguhnya bermula di Tunisia (Al-Mahadiah), dan ketika Dinasty Abbasiah yang berpusat di Baghdad melemah maka pusat kekuasaannya berpindah ke Mesir dan menyebarkan agama Islam beraliran Syi'ah Isma'iliyah di Mesir yang mana penduduknya waktu itu beragama Kristen Koptik yang berpusat di Alexandria dengan pemimpin umat pada zaman itu adalah Patriarch Abraam bin Zara. Khalifah Fatimiyah pertama yang memimpin adalah Al-Muiz (Lahir : 26 September 931 - Meninggal : 21 Desember 975) yang memiliki nama lengkap Abu Tamim Ma'ad Al-Mu'izz li din Allah. Khalifah Al-Muiz tidak hanya dikenal sebagai seorang pemberani, namun ia juga seorang yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi, dan salah satu kegemaran Sang Khalifah adalah berdebat tentang keyakinannya dengan keyakinan agama lain, khususnya agama Kristen (Debat Islam - Kristen). Kota Kairo  yang semula bernama Mansyuriah, dipilih dan dibangun bukan hanya sebagai Pusat Pemerintahan dengan istana agung al-Qushrul Kabir Asysyarqiy, tetapi juga Pusat Pendidikan dan Dakwah. Dan untuk maksud tersebut maka didirikanlah sebuah Masjid Besar di pusat kota dengan nama Masjid Jami' al-Azhar yang pembangunannya dimulai tgl. 24 Jumadil Ula 359 H (tgl. 7 Mei 970), selesai pada tgl. 7 Ramadhan 361 H (tgl. 23 Juni 972), dan merupakan cikal bakal Universitas al-Azhar.

Dikisahkan bahwa ada seorang gubernur yang sesungguhnya tidak senang dengan kehadiran kekhalifahan di Mesir dan dia adalah seorang penganut Kristen Koptik, yakni Ibnu Killis. Namun karena ia takut kehilangan jabatannya maka ia berusaha mencari muka dengan berpindah keyakinan. Ibnu Killis berusaha merebut hati Khalifah Al-Muiz dengan berusaha menjadi fasilitator debat. Ia mengatakan kepada Sang Khalifah bahwa ada ayat di kitab orang Kristen, yakni Kitab Perjanjian Baru yang berbicara tentang iman yang dapat memindahkan gunung. Ia memprovokasi Khalifah Al-Muiz agar berdebat dengan umat Kristen Koptik dengan harapan bahwa Sang Khalifah yakin bahwa Ibnu Killis berpihak kepadanya, dan dengan itu jabatannya sebagai gubernur tidak akan dialihkan kepada orang lain. Ibnu Killis kemudian membaca Matius 17:20 di depan Sang Khalifah: "Ia berkata kepada mereka: Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: pindahlah dari tempat ini ke sana, - maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu".

Berangkat dari ayat tersebutlah, maka Khalifah Al-Muiz memanggil Patriach Abraam bin Zara dan menantang untuk membuktikan kebenaran ayat tersebut. Jika ayat tersebut tidak bisa dibuktikan kebenarannya, maka ada 3 syarat yang harus dipenuhi oleh semua umat Kristen Koptik, yakni: (1). Seluruh umat Kristen di Mesir harus meninggalkan keyakinannya dan memeluk agama Islam, (2). Apabila mereka tetap bertahan pada keyakinannya, maka mereka harus keluar dari negeri Mesir dan mencari daerah lain di luar Mesir, (3). Jika hal yang pertama dan yang kedua masih juga dilanggar, maka seluruh umat Kristen di Mesir harus menerima konsekwensi yang berat yakni hukuman mati.

Sang Patriarch tetap yakin bahwa Matius 17:20 dapat dibuktikan kebenarannya, dan karena itu, ia meminta waktu 3 hari untuk mempersiapkan diri membuktikan kebenaran tersebut. Sang Patriarh kemudian mengumpulkan para Bishop, pembantu Bishop, para Biarawan serta menyerukan kepada seluruh umat Kristen di Mesir untuk berpuasa dan berdoa selama 3 hari. Patriarch sendiri bersama dengan para Bishop berdoa di tempat yang diyakini sebagai tempat tinggal Keluarga Kudus (Yusuf - Maria - Yesus) selama pelarian mereka ke tanah Mesir dari kejaran Raja Herodes (Mat. 2:13-14, 19). Di tempat inilah Patriach Abraam bin Zara mendapat mimpi agar ia pergi menjumpai seorang penjemur kulit binatang (Penyamak Kulit) yang mengalami cacat mata (hanya tinggal satu saja matanya yang dapat digunakan). Orang tersebut bernama SIMON.

Simon tidak percaya apa yang dikatakan oleh Sang Patriach, bahwa: "jawaban atas persoalan hidup-matinya orang Kristen di seluruh wilayah Mesir ada pada diri Simon". Walau Simon menolak ajakan Sang Patriach, tetapi kemudian terjadi bahwa Simon dipenuhi Kuasa Ilahi dan ia siap menghadapi tantangan Sang Khalifah Al-Muiz untuk membuktikan kebenaran ayat tersebut.

Sesuai dengan janji Patriach Abraam bin Zara, maka pada hari ke-3, ia menghadap Khalifah Al-Muiz lalu mengajaknya untuk pergi ke lembah Gunung Mokattam yang terletak di bagian timur kota Kairo. Sesuai petunjuk Simon, maka Sang Patriarch memulai upacara keagamaan dengan diawali Sakramen Kudus dan berkumandanglah nyanyian: "Kyrie Eleison". Mereka mengumandangkan lagu tersebut sesuai petunjuk Simon, mereka harus menyanyikannya sebanyak 400 kali, yakni 100 kali menghadap timur, 100 kali menghadap barat, 100 kali menghadap utara dan 100 kali menghadap selatan.

(Tentu kisah ini mengingatkan kita kembali pada kisah runtuhnya benteng Yericho, bukan?).

Setelah 400 kali mereka melantunkan lagu "Kyrie Eleison (Tuhan Kasihani Kami)", maka seluruh umat sujud menyembah dan kemudian bangkit berdiri, lalu Patriach Abraam bin Zara memberikan tanda salib ke arah gunung tersebut. Maka tiba-tiba, terjadilah gempa yang besar, dan gunung itupun bergerak dan terangkat dari permukaan tanah. Umat Kristen terus berdoa dan melantunkan pujian, sehingga Gunung Mokattam (Mochatam) berpindah sejauh 3 kilometer ke arah barat kota Kairo.

Menyaksikan pemandangan tersebut, Sang Khalifah dan pengikutnya takjub dan sangat ketakutan, lalu Sang Khalifah berseru: "Allahu Akbar" dan langsung menuju tempat Patriarch Abraam bin Zara serta meminta agar Sang Patriarch bersama semua umat Kristen menghentikan apa yang mereka perbuat, karena ia kuatir kota yang sementara ia bangun akan hancur akibat guncangan gempa yang ditimbulkannya.

Setelah semua menjadi tenang, Khalifah Al-Muiz memeluk Patriarch Abraam bin Zara dan membisikkan kata-kata ini: "anda sudah membuktikan kebenaran Iman Kristen anda". Dan inilah awal dari persahabatan di antara Khalifah Al-Muiz dengan Patriach Abraam bin Zara, yang kemudian dipelihara dengan baik oleh seluruh umat Kristen Koptik dan Umat Muslim Mesir sampai saat ini. Dan gunung yang berpindah itu (bukit batu) kemudian dijadikan bangunan gereja yang tanpa pondasi, dipahat dan dibentuklah sebuah bangunan yang besar dengan mengikuti arsitektur Arab (mirip Masjid) serta interior luar dan dalam bernuansa kaligrafi Arab yang dipadu dengan huruf Yunani.

Gereja Gantung atau The Hanging Church (El-Mu'allaqah) menjadi simbol Toleransi Beragama di Mesir yang mana penduduknya 9 sampai 10 % beragama Kristen Koptik dari + 85 juta orang penduduk yang tinggal di Mesir.  Jarak + 200 meter dari lokasi gereja ini dibangun juga sebuah Masjid tertua di Mesir, yakni Masjid Amr bin Ash. Dan hal ini membuktikan bahwa Persahabatan antara Umat Islam dan Umat Kristen Koptik di Mesir telah terjalin sejak berabad-abad silam.

Dan konon, setelah peristiwa tersebut, Al-Muiz meninggalkan jabatannya dan digantikan dengan Khalifah yang baru yakni putranya Al-Aziz, dan Al-Muiz sendiri kemudian menjadi pengikut Kristen Koptik dan berganti nama STEFANUS. Dan untuk menghindari perseteruan antara Umat Islam dan Umat Kristen Koptik, Stefanus (Al-Muiz) pindah ke padang gurun dan selama masa hidupnya itu, ia menjadi seorang penginjil. Ia meninggal dan dimakamkan di antara jalan Cairo dan Alexandria, di sebuh tempat yang bernama Aldi Almakrun.

Demikianlah sekilas pengantar untuk lebih mendalami judul perenungan saya, dan saya berharap kepada teman-teman Muslim untuk tidak merasa bahwa saya melecehkan Al-Quran. Sebab di tempat ini, tahun 2009 yang lalu, saya tanpa sengaja menengok ke sebuah ruangan di mana anak-anak sedang belajar agama Kristen (Katekisasi) dan saya mendengarkan ungkapan "Jawami'ul Kalim", dan seluruh pengajaran yang berlangsung mempergunakan bahasa Arab yang saya tidak mengerti. Dan terus terang, saya hanya tertarik pada ungkapan di atas dan berusaha mencari tahu melalui Tour Guide kami apa makna dari ungkapan tersebut.

(refleksi akan dilanjutkan  pada hari esok. Mohon bersabar).
Tulisan ini kudedikasikan kepada teman-teman yang lagi gaduh hanya karena persoalan yang timbulkan oleh seorang yang bernama AHOK. Mari berpikir sehat, sebab kita semua bersaudara.

1 comment:

  1. Jawamiul kalim itu adalah nama kitab himpunan hadith iaitu kata-kata Nabi Muhammad s.a.w

    ReplyDelete

Web gratis

Web gratis
Power of Love