Sebuah Perenungan Pribadi
Yang kutuliskan buat semua saudaraku
Dalam Rumah Bersama - Gereja Toraja
Kepada Semua Yg Merasa Diri Orang Mulia,
Saudara-saudaraku dalam Rumah Bersama
Salam dan doa dari saudaramu yang mungkin terlupakan atau sengaja dilupakan,
walau salam dan doaku hanya terdengar bagai desah sang bayu,
yang datang tak diharap lalu sirna tak meninggalkan kesan.
Aku tak peduli,
kamu terima atau tidak,
tapi bagiku serasa dosa bila tak terungkapkan.
Karena itu,
dalam kerendahan dan ketulusan batin,
'ku menyapamu melalui tulisan,
dan biarlah ini tiada arti bagi kamu.
Sebab, hanya Tuhan yang tahu kerinduanku,
menikmati damaiNya dalam Rumah Bersama.
Wahai saudaraku yang merasa diri Termulia.
30 September 1965,
sebuah masa yang tak pernah hapus diingatan,
masa yang meninggalkan tragedi dalam Rumah Besar Republik ini.
Tangisan pilu dari beberapa perempuan yang tulus hati,
berharap belas kasih dari wajah garang sekelompok pria,
sedang anak-anak meraung dalam ketakutan oleh bayang-bayang kematian,
namun tangisan dan raungan itu tenggelam oleh derap kaki,
hanyut dalam desiran besi panas mengoyak tubuh para kesatria bangsa.
Akupun teringat akan kisah di Jalan Sengsara, Dia yang kulayani.
Rasa iba sang wali negeri tak berarti,
tenggelam ke dasar yang dalam dari riuhnya suara: "Salibkan Dia".
Akal sehat hilang oleh amarah karena kekuasaan yang terusik,
menggerakkan massa dengan isu pembaruan yang harus dibayar oleh darah.
Mengapakah kamu menghakimi Dia,
hanya karena Dia hadir di pusat kekuasanmu?
Mengapakah kamu menginginkan kematianNya,
hanya karena ucapanNya:
"RumahKU adalah Rumah Doa. Tetapi kamu jadikan sarang penyamun".
Sungguh,
rasa benci dan amarah yang tak terkendali,
akal sehatmu jadi sirna.
Sebab bagimu, lebih baik berteman dengan Barabas yang jahat,
asal status quo tetap bertahan,
dibanding berkawan dengan Dia yang mengajar tentang KASIH,
namun menjadi budak (doulos) untuk melayani KASIH.
Namun di tengah deru kebencian dan amarah yang meledak-ledak,
aku masih menyaksikan sekelompok manusia yang berempati.
Sekali pun demikian,
mereka tak memiliki daya,
sebab mereka hanyalah wanita yang oleh zamannya,
suara mereka ditenggelamkan oleh superioritas kaum lelaki.
Mereka memiliki nurani, namun di tangan mereka hanyalah tisu menghapus airmata,
jangankan tombak dan pedang, pisau dapur pun mereka tak mampu angkat untuk melawan,
demi ditegakkannya kebenaran.
Seingatku....
Wanita-wanita Yerusalem membasahi jalan yang dilaluiNya dengan airmata mereka,
dengan ratap dan tangis,
berharap keadilan dan kebenaran ditegakkan.
Namun mereka hanyalah sekelompok kecil yang berjuang mengharap belas kasih,
tapi justru ratap dan tangis mereka memicu amarah dan antipati,
dengan beringas para laskar meletakkan beban di bahuNya,
desiran cambuk bergerigi tiada henti menerpa tubuhNya,
merobek sekujur tubuh menoreh luka menganga tempat darah mengalir,
meninggalkan jejak sejarah kelam yang akan dikenang hingga dunia berakhir.
ach.....apa kaitan semua itu dengan 30 September 1965?
Jangan sampai aku pun terperangkap dalam pikiran kaum yang menyebut diri agamais,
yang berusaha tegakkan aqidah dengan taruhan nyawa,
namun akhlak mereka lebih cemar dari air comberan.
Turun ke jalan meneriakkan kebesaran Allah,
namun di tangan mereka menggenggam batu dan pentungan,
lidah mereka tiada henti menelorkan caci-maki,
mengatai orang anjing,
tanpa sadar, martabat mereka terjual,
yang harganya lebih murah dari harga seekor anjing.
30 September 1965,
Kisah pilu yang menuntut pembaruan dengan tebusan darah dan nyawa,
tak peduli berapa banyak mereka yang hatinya tergores oleh luka yang takkan pulih.
Kenangan itu jadi catatan kelam dalam sejarah,
yang takkan terhapus dari persada ini.
Wahai saudaraku yang merasa diri mulia.
30 September 2016,
51 tahun ketika kisah pilu berlalu namun deritanya tak usang oleh zaman,
mengapa hal itu terulang di kisah pilu dalam Rumah Bersama?.
Walau muatannya tak persis,
namun menoreh batin,
memahat cerita pilu di loh hati saudara se-Rumah yang tak berkepentingan,
mereka yang tulus meratapi nasib yang diwariskan buat anak-cucu,
sebab kelak mereka akan bertanya:
"Mengapa dinding Rumah Bersama penuh noda yang tak terhapuskan?".
Kepada saudaraku yang merasa diri termulia di antara sesama dalam Rumah Bersama.
Izinkan aku bertanya pada kalian,
dan berilah jawaban tulus dari niat sucimu dengan kata penuh kelembutan.
Sebab aku merasa takut dengan tatapan yang garang,
dengan kertakan gigi dan kepalan tangan penuh amarah.
Aku hanya mau bertanya; tidak lebih dari itu.
Aku hanya mau tahu; juga tidak lebih dari itu.
Tidak lebih dari rasa ketidak-tahuanku, dan setelah itu kukubur dalam nuraniku.
Apakah yang kamu cari dan siapakah yang kamu tuntut?.
Maafkan aku jika aku lancang mencari tahu.
Dan aku sendiri sadar untuk tidak perlu banyak berkata-kata,
sebab dalam banyak berkata-kata,
kesalahan akan semakin bertambah-tambah.
Saudaraku yang termulia di antara sesama saudara dalam Rumah Bersama.
Kusudahi untuk bertanya demi mencari tahu,
dan kamu pun tak perlu memberi jawab atas ketidak-tahuanku.
Aku hanya berpesan,
tak akan pernah ada damai jika tindak laku takluk pada nafsu,
dan tak akan ada sebuah kemenangan yang diraih dengan ego.
Mari sejenak merenungkan makna hidup,
dengan belajar pada apa yang diwariskan oleh sejarah.
Dan di sini kudedikasikan bagi saudaraku dalam Rumah Bersama,
sebuah karya dari dia yang sangat kukagumi namun bukan kupuja,
sebuah puisi dengan judul: Pikiran dan Samadi dari Kahlil Gibran:
Hidup menjemput dan melantunkan kita,
dari satu tempat ke tempat yang lain.
Nasib memindahkan kita dari satu tahap ke tahap yang lain,
dan kita yang diburu oleh keduanya,
hanya mendengar suara yang mengerikan,
dan hanya melihat susuk yang menghalangi dan merintangi jalan kita.
Keindahan menghadirkan dirinya dengan duduk di atas singgasana keagungan,
tetapi kita mendekatinya atas dorongan nafsu,
merengut mahkota kesuciannya,
dan mengotori busananya dengan tindak laku durhaka.
Cinta berlalu di depan kita,
berjubahkan kelembutan,
tapi kita lari ketakutan,
atau bersembunyi dalam kegelapan,
atau ada pula yang malahan mengikutinya,
untuk berbuat kejahatan atas namanya.
Meski pun orang yang paling bijaksana terbongkok,
karena memikul beban cinta,
namun beban itu seiringan bayu pawana Libanon yang berpuput riang.
Kebebasan mengundang kita pada mejanya,
agar kita menikmati makanan lezat dan anggurnya;
tapi bila kita telah duduk menghadapinya,
kita pun makan dengan lahap dan rakus.
Tangan alam menyambut hangat kedatangan kita,
dan menawarkan pula agar kita menikmati keindahannya;
tetapi kita takut akan keheningannya,
lalu bergegas lari ke kota yang ramai,
berhimpit-himpitan seperti kawanan kambing,
yang lari ketakutan dari serigala garang.
Kebenaran memanggil-manggil kita,
di antara tawa anak-anak dan ciuman kekasih,
tapi kita menutup pintu keramahan baginya,
dan menghadapinya bagaikan musuh.
Hati manusia menyeru pertolongan,
jiwa manusia memohon pembebasan;
tapi kita tidak mendengar teriakan mereka,
karena kita tidak membuka telinga dan berniat memahaminya.
Namun orang yang mendengar dan memahaminya kita sebut GILA,
lalu kita tinggalkan dan bahkan kita campakkan.
Malam pun berlalu,
hidup kita lelah dan kurang waspada,
sedang hari pun memberi salam dan merangkul kita.
Tapi di siang dan malam hari,
kita senantiasa ketakutan.
Kita amat terikat pada bumi,
sedang gerbang Tuhan terbuka lebar.
Kita menginjak-injak Roti Kehidupan,
sedangkan kelaparan memamah hati kita.
Sungguh betapa budiman Sang Hidup terhadap manusia,
namun betapa jauh manusia meninggalkan Sang Hidup.
Saudaraku yang merasa diri termulia di atara saudara dalam Rumah Bersama.
Tak ada gunanya lagi kita menyesali apa yang sudah terjadi di hari itu.
Yang paling berguna ialah,
mari bagun kembali bagian tembok yang retak oleh tindakan kita,
biarkan noda itu tetap melekat pada dinding Rumah Bersama,
sebab hal itulah yang kita wariskan buat anak-cucu,
agar mereka belajar tentang makna hidup,
menorehkan bakti untuk kedatangan Sang Pemilik Rumah yang sesungguhnya,
yang akan datang merobohkan Rumah Bersama,
lalu di bangunlah Rumah Bersama Yang Baru,
sebuah rumah yang tidak dibangun oleh ego manusia.
Salam dari saudaramu yang mungkin terlupakan atau sengaja dilupakan.
Tuhan memberkati Rumah Bersama Kita.
Samarinda, 5 Oktober 2016.
(Pdt. Joni Delima).
Yang kutuliskan buat semua saudaraku
Dalam Rumah Bersama - Gereja Toraja
Kepada Semua Yg Merasa Diri Orang Mulia,
Saudara-saudaraku dalam Rumah Bersama
Salam dan doa dari saudaramu yang mungkin terlupakan atau sengaja dilupakan,
walau salam dan doaku hanya terdengar bagai desah sang bayu,
yang datang tak diharap lalu sirna tak meninggalkan kesan.
Aku tak peduli,
kamu terima atau tidak,
tapi bagiku serasa dosa bila tak terungkapkan.
Karena itu,
dalam kerendahan dan ketulusan batin,
'ku menyapamu melalui tulisan,
dan biarlah ini tiada arti bagi kamu.
Sebab, hanya Tuhan yang tahu kerinduanku,
menikmati damaiNya dalam Rumah Bersama.
Wahai saudaraku yang merasa diri Termulia.
30 September 1965,
sebuah masa yang tak pernah hapus diingatan,
masa yang meninggalkan tragedi dalam Rumah Besar Republik ini.
Tangisan pilu dari beberapa perempuan yang tulus hati,
berharap belas kasih dari wajah garang sekelompok pria,
sedang anak-anak meraung dalam ketakutan oleh bayang-bayang kematian,
namun tangisan dan raungan itu tenggelam oleh derap kaki,
hanyut dalam desiran besi panas mengoyak tubuh para kesatria bangsa.
Akupun teringat akan kisah di Jalan Sengsara, Dia yang kulayani.
Rasa iba sang wali negeri tak berarti,
tenggelam ke dasar yang dalam dari riuhnya suara: "Salibkan Dia".
Akal sehat hilang oleh amarah karena kekuasaan yang terusik,
menggerakkan massa dengan isu pembaruan yang harus dibayar oleh darah.
Mengapakah kamu menghakimi Dia,
hanya karena Dia hadir di pusat kekuasanmu?
Mengapakah kamu menginginkan kematianNya,
hanya karena ucapanNya:
"RumahKU adalah Rumah Doa. Tetapi kamu jadikan sarang penyamun".
Sungguh,
rasa benci dan amarah yang tak terkendali,
akal sehatmu jadi sirna.
Sebab bagimu, lebih baik berteman dengan Barabas yang jahat,
asal status quo tetap bertahan,
dibanding berkawan dengan Dia yang mengajar tentang KASIH,
namun menjadi budak (doulos) untuk melayani KASIH.
Namun di tengah deru kebencian dan amarah yang meledak-ledak,
aku masih menyaksikan sekelompok manusia yang berempati.
Sekali pun demikian,
mereka tak memiliki daya,
sebab mereka hanyalah wanita yang oleh zamannya,
suara mereka ditenggelamkan oleh superioritas kaum lelaki.
Mereka memiliki nurani, namun di tangan mereka hanyalah tisu menghapus airmata,
jangankan tombak dan pedang, pisau dapur pun mereka tak mampu angkat untuk melawan,
demi ditegakkannya kebenaran.
Seingatku....
Wanita-wanita Yerusalem membasahi jalan yang dilaluiNya dengan airmata mereka,
dengan ratap dan tangis,
berharap keadilan dan kebenaran ditegakkan.
Namun mereka hanyalah sekelompok kecil yang berjuang mengharap belas kasih,
tapi justru ratap dan tangis mereka memicu amarah dan antipati,
dengan beringas para laskar meletakkan beban di bahuNya,
desiran cambuk bergerigi tiada henti menerpa tubuhNya,
merobek sekujur tubuh menoreh luka menganga tempat darah mengalir,
meninggalkan jejak sejarah kelam yang akan dikenang hingga dunia berakhir.
ach.....apa kaitan semua itu dengan 30 September 1965?
Jangan sampai aku pun terperangkap dalam pikiran kaum yang menyebut diri agamais,
yang berusaha tegakkan aqidah dengan taruhan nyawa,
namun akhlak mereka lebih cemar dari air comberan.
Turun ke jalan meneriakkan kebesaran Allah,
namun di tangan mereka menggenggam batu dan pentungan,
lidah mereka tiada henti menelorkan caci-maki,
mengatai orang anjing,
tanpa sadar, martabat mereka terjual,
yang harganya lebih murah dari harga seekor anjing.
30 September 1965,
Kisah pilu yang menuntut pembaruan dengan tebusan darah dan nyawa,
tak peduli berapa banyak mereka yang hatinya tergores oleh luka yang takkan pulih.
Kenangan itu jadi catatan kelam dalam sejarah,
yang takkan terhapus dari persada ini.
Wahai saudaraku yang merasa diri mulia.
30 September 2016,
51 tahun ketika kisah pilu berlalu namun deritanya tak usang oleh zaman,
mengapa hal itu terulang di kisah pilu dalam Rumah Bersama?.
Walau muatannya tak persis,
namun menoreh batin,
memahat cerita pilu di loh hati saudara se-Rumah yang tak berkepentingan,
mereka yang tulus meratapi nasib yang diwariskan buat anak-cucu,
sebab kelak mereka akan bertanya:
"Mengapa dinding Rumah Bersama penuh noda yang tak terhapuskan?".
Kepada saudaraku yang merasa diri termulia di antara sesama dalam Rumah Bersama.
Izinkan aku bertanya pada kalian,
dan berilah jawaban tulus dari niat sucimu dengan kata penuh kelembutan.
Sebab aku merasa takut dengan tatapan yang garang,
dengan kertakan gigi dan kepalan tangan penuh amarah.
Aku hanya mau bertanya; tidak lebih dari itu.
Aku hanya mau tahu; juga tidak lebih dari itu.
Tidak lebih dari rasa ketidak-tahuanku, dan setelah itu kukubur dalam nuraniku.
Apakah yang kamu cari dan siapakah yang kamu tuntut?.
Maafkan aku jika aku lancang mencari tahu.
Dan aku sendiri sadar untuk tidak perlu banyak berkata-kata,
sebab dalam banyak berkata-kata,
kesalahan akan semakin bertambah-tambah.
Saudaraku yang termulia di antara sesama saudara dalam Rumah Bersama.
Kusudahi untuk bertanya demi mencari tahu,
dan kamu pun tak perlu memberi jawab atas ketidak-tahuanku.
Aku hanya berpesan,
tak akan pernah ada damai jika tindak laku takluk pada nafsu,
dan tak akan ada sebuah kemenangan yang diraih dengan ego.
Mari sejenak merenungkan makna hidup,
dengan belajar pada apa yang diwariskan oleh sejarah.
Dan di sini kudedikasikan bagi saudaraku dalam Rumah Bersama,
sebuah karya dari dia yang sangat kukagumi namun bukan kupuja,
sebuah puisi dengan judul: Pikiran dan Samadi dari Kahlil Gibran:
Hidup menjemput dan melantunkan kita,
dari satu tempat ke tempat yang lain.
Nasib memindahkan kita dari satu tahap ke tahap yang lain,
dan kita yang diburu oleh keduanya,
hanya mendengar suara yang mengerikan,
dan hanya melihat susuk yang menghalangi dan merintangi jalan kita.
Keindahan menghadirkan dirinya dengan duduk di atas singgasana keagungan,
tetapi kita mendekatinya atas dorongan nafsu,
merengut mahkota kesuciannya,
dan mengotori busananya dengan tindak laku durhaka.
Cinta berlalu di depan kita,
berjubahkan kelembutan,
tapi kita lari ketakutan,
atau bersembunyi dalam kegelapan,
atau ada pula yang malahan mengikutinya,
untuk berbuat kejahatan atas namanya.
Meski pun orang yang paling bijaksana terbongkok,
karena memikul beban cinta,
namun beban itu seiringan bayu pawana Libanon yang berpuput riang.
Kebebasan mengundang kita pada mejanya,
agar kita menikmati makanan lezat dan anggurnya;
tapi bila kita telah duduk menghadapinya,
kita pun makan dengan lahap dan rakus.
Tangan alam menyambut hangat kedatangan kita,
dan menawarkan pula agar kita menikmati keindahannya;
tetapi kita takut akan keheningannya,
lalu bergegas lari ke kota yang ramai,
berhimpit-himpitan seperti kawanan kambing,
yang lari ketakutan dari serigala garang.
Kebenaran memanggil-manggil kita,
di antara tawa anak-anak dan ciuman kekasih,
tapi kita menutup pintu keramahan baginya,
dan menghadapinya bagaikan musuh.
Hati manusia menyeru pertolongan,
jiwa manusia memohon pembebasan;
tapi kita tidak mendengar teriakan mereka,
karena kita tidak membuka telinga dan berniat memahaminya.
Namun orang yang mendengar dan memahaminya kita sebut GILA,
lalu kita tinggalkan dan bahkan kita campakkan.
Malam pun berlalu,
hidup kita lelah dan kurang waspada,
sedang hari pun memberi salam dan merangkul kita.
Tapi di siang dan malam hari,
kita senantiasa ketakutan.
Kita amat terikat pada bumi,
sedang gerbang Tuhan terbuka lebar.
Kita menginjak-injak Roti Kehidupan,
sedangkan kelaparan memamah hati kita.
Sungguh betapa budiman Sang Hidup terhadap manusia,
namun betapa jauh manusia meninggalkan Sang Hidup.
Saudaraku yang merasa diri termulia di atara saudara dalam Rumah Bersama.
Tak ada gunanya lagi kita menyesali apa yang sudah terjadi di hari itu.
Yang paling berguna ialah,
mari bagun kembali bagian tembok yang retak oleh tindakan kita,
biarkan noda itu tetap melekat pada dinding Rumah Bersama,
sebab hal itulah yang kita wariskan buat anak-cucu,
agar mereka belajar tentang makna hidup,
menorehkan bakti untuk kedatangan Sang Pemilik Rumah yang sesungguhnya,
yang akan datang merobohkan Rumah Bersama,
lalu di bangunlah Rumah Bersama Yang Baru,
sebuah rumah yang tidak dibangun oleh ego manusia.
Salam dari saudaramu yang mungkin terlupakan atau sengaja dilupakan.
Tuhan memberkati Rumah Bersama Kita.
Samarinda, 5 Oktober 2016.
(Pdt. Joni Delima).
No comments:
Post a Comment