Sebuah Refleksi Pribadi
Bacaan : Kisah Para Rasul 5 : 26 - 40
Persoalan yang sekarang lagi hangat diperbincangkan di negeri yang kita cintai ini adalah "Tuduhan Penistaan Agama" dengan mendudukkan Ahok sebagai "Terdakwa". Tua atau muda, lelaki atau perempuan, kaum awam atau pun agamawan/ulama, pejabat atau pun rakyat biasa; semua larut dalam perdebatan atau pun diskusi di sekitar masalah tersebut.
Dan posisi Ahok seperti menghadapi Buah Simalakama: "tidak dimakan, ibu yang mati; bila dimakan, ayah yang mati".
Di sini, saya sendiri tidak mau mengatakan bahwa: "Ahok benar, atau Ahok Salah".
Saya hanya mau mengajak saudara untuk melihat fakta yang sama ketika Rasul-rasul diperhadapkan di depan Mahkamah Agama. Tuduhannya sama: "Penistaan Agama".
Fakta yang dialami oleh Rasul-rasul itu, sesungguhnya telah terjadi pada peristiwa Golguta. Yesus dituduh "Menista Ajaran atau Menista Tauhid" dan konsekwensi yang harus diterima adalah "Hukuman Mati". Tuhan Yesus sendiri sadar bahwa apa pun yang hendak Dia katakan sebagai bentuk "Pembelaan" akan terbentur pada dinding yang tebal, yakni dinding "Majority Rule" yang merasa diri "suara mereka adalah suara Tuhan - Vox Majority Vox Dei". Majority Rule (Kekuasaan Mayoritas) mengklaim bahwa kebenaran yang mereka anut adalah "kebenaran mutlak" yang tidak boleh diusik oleh siapa pun juga dan siapa pun yang berani mengusiknya akan dituduh sebagai "Penista". Dan ketika tuntutan mereka tidak dipenuhi untuk menjatuhkan hukuman kepada si penista, maka mereka akan mempengaruhi bahkan mengintimidasi para penguasa dengan cara mempertontonkan Majority Rule-nya: "Jika engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar (Yoh. 19:12)", dan tuntutan ini Menodai Nurani di mana "orang benar dihukum (Yesus), sedang yang salah dibebaskan (Barabas) - lih: Mat. 27:21-22".
Jangankan zaman Tuhan Yesus, pada zaman di mana kekristenan menjadi "Agama Negara", siapa pun yang dianggap menentang Ajaran Gereja yang telah menjadi standar kebenaran yang dimutlakkan, maka konsekwensinya adalah "Hukuman Mati".
Bahkan pada Abad ke-IV ketika dimulai pembangunan pemahaman tentang Gereja Roma Yang Am berdasarkan konsep Augustinus, Joreme dan tokoh-tokoh gereja lainnya, sikap memusuhi kebebasan beragama berkembang pesat. Bukan hanya tidak boleh ada agama lain, yang lebih parah ialah "tidak boleh ada tafsiran lain". Seolah-olah manusia tidak boleh berpikir melainkan hanya menurut saja pada hasil pemikiran Otoritas Tertinggi, yakni Otoritas Gereja. Sejak saat itulah, Gereja melakukan pembantaian terhadap mereka yang dipandang sebagai "Penentang Ajaran Yang Sah" dan apa yang dilakukan dipandang sebagai "Membela Agama atau Membela Tuhan" sehingga membunuh tidak dipandang sebagai "DOSA", melainkan sebuah "PAHALA".
Dalam perkembangan dunia sains, sejarah mencatat bahwa Galileo Galilei (Bapak Astronomi Modern) dihukum karena mencoba menandaskan atau memperjuangkan mati-matian tentang teori astronomi yang berbeda dengan pandangan Gereja pada masa itu, sekali pun Galileo Galilei menegaskan bahwa ia tidak mempertentangkan teorinya dengan Alkitab. Galileo Galilei berusaha mempertahankan teori Nicolaus Copernicus, dan hal itu semakin diperkuat ketika ia telah menemukan Teleskop, lalu ia menyatakan bahwa: "Bukan bumi yang menjadi pusat peredaran tata surya, melainkan matahari". Pada akhirnya Galileo Galilei harus menanggung konsekwensi dari ajarannya itu. Ia dikucilkan sampai meninggalnya (8 Januari 1642). Tuduhannya sama: "Penistaan Agama".
Di kemudian hari, Gereja Katolik mengakui bahwa menghukum Galileo Galilei adalah sebuah kesalahan besar yang telah dilakukan oleh Gereja. Dan pada tahun 1789, Gereja Katolik menebus kesalahannya dengan mendirikan sebuah Observatorium Astronomi berdekatan dengan istana Kepausan di Vatikan.
Saudaraku...................
Sangat menarik bahwa, di tengah-tengah upaya untuk mempertahankan "Majority Rule", selalu saja ada orang lain yang notabene bagian dari kelompok "Majority Rule" yang berusaha memberikan ide-ide yang brillian tentang fakta. Mereka bukan orang sembarangan, tetapi tokoh dan ahli dalam bidang agama yang dihormati dan disegani, seperti yang disebutkan dalam perikop ini; yakni Gamaliel. Gamaliel sadar benar tentang bahaya "Majority Rule" yang dapat memberangus "Suara Hati Nurani". Gamaliel melakukan pembelaan terhadap "Sang Terdakwa" bukan karena ada kepentingan, tetapi ia sadar (sungguh-sungguh sadar) bahwa "Agama tidak butuh Pembelaan". Karena itu, perhatikan ungkapan bijak dari Sang Tokoh: "Hai orang-orang Israel, pertimbangkanlah baik-baik, apa yang hendak kamu perbuat terhadap orang-orang ini......Janganlah bertindak terhadap orang-orang ini. Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini; mungkin ternyata juga nanti, bahwa kamu melawan Allah".
Memang dalam kasus Ahok, Tokoh sekelas Gamaliel akan tetap ada.
Karena itu (khusus kepada kaum Nasrani), janganlah memperkeruh masalah dengan mengeluarkan statement ini dan itu.
Biarkanlah waktu berjalan di mana Nurani akan memperdengarkan suaranya.
Ingatlah bahwa, Tuhan tidak akan pernah berdiam diri.
Bisa jadi, pengalaman Yusuf yang dijual oleh saudara-saudaranya menjadi realita kekinian.
Cara Tuhan tidak bisa ditebak.
Mimpi Yusuf memang oleh ayah-ibu dan saudara-saudaranya dipandang sebelah mata.
Namun, karena Tuhan ada di pihak Yusuf, mimpi itu menjadi kenyataan.
Saya tetap memiliki keyakinan yang kuat, bahwa suatu saat, semua akan disingkapkan: Kekuasaan Mayoritas akan takluk di bawah kekuasaan Tuhan, dan kelak, segala lutut akan bertekuk dan segala lidah mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah, Bapa (Flp. 2:11).
Bacaan : Kisah Para Rasul 5 : 26 - 40
Persoalan yang sekarang lagi hangat diperbincangkan di negeri yang kita cintai ini adalah "Tuduhan Penistaan Agama" dengan mendudukkan Ahok sebagai "Terdakwa". Tua atau muda, lelaki atau perempuan, kaum awam atau pun agamawan/ulama, pejabat atau pun rakyat biasa; semua larut dalam perdebatan atau pun diskusi di sekitar masalah tersebut.
Dan posisi Ahok seperti menghadapi Buah Simalakama: "tidak dimakan, ibu yang mati; bila dimakan, ayah yang mati".
Di sini, saya sendiri tidak mau mengatakan bahwa: "Ahok benar, atau Ahok Salah".
Saya hanya mau mengajak saudara untuk melihat fakta yang sama ketika Rasul-rasul diperhadapkan di depan Mahkamah Agama. Tuduhannya sama: "Penistaan Agama".
Fakta yang dialami oleh Rasul-rasul itu, sesungguhnya telah terjadi pada peristiwa Golguta. Yesus dituduh "Menista Ajaran atau Menista Tauhid" dan konsekwensi yang harus diterima adalah "Hukuman Mati". Tuhan Yesus sendiri sadar bahwa apa pun yang hendak Dia katakan sebagai bentuk "Pembelaan" akan terbentur pada dinding yang tebal, yakni dinding "Majority Rule" yang merasa diri "suara mereka adalah suara Tuhan - Vox Majority Vox Dei". Majority Rule (Kekuasaan Mayoritas) mengklaim bahwa kebenaran yang mereka anut adalah "kebenaran mutlak" yang tidak boleh diusik oleh siapa pun juga dan siapa pun yang berani mengusiknya akan dituduh sebagai "Penista". Dan ketika tuntutan mereka tidak dipenuhi untuk menjatuhkan hukuman kepada si penista, maka mereka akan mempengaruhi bahkan mengintimidasi para penguasa dengan cara mempertontonkan Majority Rule-nya: "Jika engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar (Yoh. 19:12)", dan tuntutan ini Menodai Nurani di mana "orang benar dihukum (Yesus), sedang yang salah dibebaskan (Barabas) - lih: Mat. 27:21-22".
Jangankan zaman Tuhan Yesus, pada zaman di mana kekristenan menjadi "Agama Negara", siapa pun yang dianggap menentang Ajaran Gereja yang telah menjadi standar kebenaran yang dimutlakkan, maka konsekwensinya adalah "Hukuman Mati".
Bahkan pada Abad ke-IV ketika dimulai pembangunan pemahaman tentang Gereja Roma Yang Am berdasarkan konsep Augustinus, Joreme dan tokoh-tokoh gereja lainnya, sikap memusuhi kebebasan beragama berkembang pesat. Bukan hanya tidak boleh ada agama lain, yang lebih parah ialah "tidak boleh ada tafsiran lain". Seolah-olah manusia tidak boleh berpikir melainkan hanya menurut saja pada hasil pemikiran Otoritas Tertinggi, yakni Otoritas Gereja. Sejak saat itulah, Gereja melakukan pembantaian terhadap mereka yang dipandang sebagai "Penentang Ajaran Yang Sah" dan apa yang dilakukan dipandang sebagai "Membela Agama atau Membela Tuhan" sehingga membunuh tidak dipandang sebagai "DOSA", melainkan sebuah "PAHALA".
Dalam perkembangan dunia sains, sejarah mencatat bahwa Galileo Galilei (Bapak Astronomi Modern) dihukum karena mencoba menandaskan atau memperjuangkan mati-matian tentang teori astronomi yang berbeda dengan pandangan Gereja pada masa itu, sekali pun Galileo Galilei menegaskan bahwa ia tidak mempertentangkan teorinya dengan Alkitab. Galileo Galilei berusaha mempertahankan teori Nicolaus Copernicus, dan hal itu semakin diperkuat ketika ia telah menemukan Teleskop, lalu ia menyatakan bahwa: "Bukan bumi yang menjadi pusat peredaran tata surya, melainkan matahari". Pada akhirnya Galileo Galilei harus menanggung konsekwensi dari ajarannya itu. Ia dikucilkan sampai meninggalnya (8 Januari 1642). Tuduhannya sama: "Penistaan Agama".
Di kemudian hari, Gereja Katolik mengakui bahwa menghukum Galileo Galilei adalah sebuah kesalahan besar yang telah dilakukan oleh Gereja. Dan pada tahun 1789, Gereja Katolik menebus kesalahannya dengan mendirikan sebuah Observatorium Astronomi berdekatan dengan istana Kepausan di Vatikan.
Saudaraku...................
Sangat menarik bahwa, di tengah-tengah upaya untuk mempertahankan "Majority Rule", selalu saja ada orang lain yang notabene bagian dari kelompok "Majority Rule" yang berusaha memberikan ide-ide yang brillian tentang fakta. Mereka bukan orang sembarangan, tetapi tokoh dan ahli dalam bidang agama yang dihormati dan disegani, seperti yang disebutkan dalam perikop ini; yakni Gamaliel. Gamaliel sadar benar tentang bahaya "Majority Rule" yang dapat memberangus "Suara Hati Nurani". Gamaliel melakukan pembelaan terhadap "Sang Terdakwa" bukan karena ada kepentingan, tetapi ia sadar (sungguh-sungguh sadar) bahwa "Agama tidak butuh Pembelaan". Karena itu, perhatikan ungkapan bijak dari Sang Tokoh: "Hai orang-orang Israel, pertimbangkanlah baik-baik, apa yang hendak kamu perbuat terhadap orang-orang ini......Janganlah bertindak terhadap orang-orang ini. Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini; mungkin ternyata juga nanti, bahwa kamu melawan Allah".
Memang dalam kasus Ahok, Tokoh sekelas Gamaliel akan tetap ada.
Karena itu (khusus kepada kaum Nasrani), janganlah memperkeruh masalah dengan mengeluarkan statement ini dan itu.
Biarkanlah waktu berjalan di mana Nurani akan memperdengarkan suaranya.
Ingatlah bahwa, Tuhan tidak akan pernah berdiam diri.
Bisa jadi, pengalaman Yusuf yang dijual oleh saudara-saudaranya menjadi realita kekinian.
Cara Tuhan tidak bisa ditebak.
Mimpi Yusuf memang oleh ayah-ibu dan saudara-saudaranya dipandang sebelah mata.
Namun, karena Tuhan ada di pihak Yusuf, mimpi itu menjadi kenyataan.
Saya tetap memiliki keyakinan yang kuat, bahwa suatu saat, semua akan disingkapkan: Kekuasaan Mayoritas akan takluk di bawah kekuasaan Tuhan, dan kelak, segala lutut akan bertekuk dan segala lidah mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah, Bapa (Flp. 2:11).
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteAMIN.
ReplyDelete