Sebuah Catatan Khusus
Pemaknaan Ritual Rabu Abu
Masale - 1 Maret 2017
Saya sempat mendapatkan beberapa pertanyaan dari warga jemaat bahkan dari teman-teman di Gereja Katolik:
Mengapa Gereja Toraja sekarang ikut-ikutan merayakan Rabu Abu seperti yang dilakukan oleh Gereja Katolik?.
Apa yang melatar-belakangi sehingga Gereja Toraja merayakan Rabu Abu?.
Apa landasan teologis dari pelaksanaan Ritual Rabu Abu yang turut dilakukan oleh Gereja-gereja Calvinis dan Lutheran sekarang ini, termasuk Gereja Toraja?.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mendorong saya untuk memberikan penjelasan tentang Pelaksanaan Ritual Rabu Abu.
Memang banyak orang beranggapan bahwa Perayaan Rabu Abu dalam bentuk Ritual/Ibadah dengan akta-akta liturgis merupakan Tradisi Gereja Katolik. Bagi saya, anggapan seperti ini tidaklah salah.
Ya...memang anggapan itu benar.
Mengapa benar?.
Karena pada mulanya nama dari Persekutuan Anak-anak Tuhan atau Pengikut Jalan Tuhan itu satu dan menunjuk pada sifat dari persekutuan itu sendiri, yakni Universal atau Am yang dalam Bahasa Latinnya disebut: "CHATOLICOS". Jadi persekutuan itu adalah Terbuka dan Universal (Ecclesia Chatolicos). Oleh karena itu, saya mau menegaskan bahwa Tradisi Rabu Abu tidak dapat diklaim bahwa itu milik Gereja Roma Katolik karena belum ada persekutuan gereja dengan nama lain (dalam arti denominasi atau kelembagaan) selain "Ecclesia Chatolicos" atau "Gereja Katolik" yang sama sekali tidak menunjuk pada makna denominasi atau kelembagaan tetapi pada "Sifatnya Yang Am".
Itulah sebabnya sangat disayangkan jika ada orang yang mengatakan bahwa Tradisi Rabu Abu adalah Tradisi Ritual Gereja Roma Katolik dan karena itu tidak boleh dirayakan oleh Gereja-gereja yang berlatar-belakang Calvinis atau pun Lutheran. Dan saya mau mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengetahui sejarah dan sama sekali tidak mengetahui makna teologis di balik pelaksanaan Ritual Rabu Abu.
Tradisi Rabu Abu mulai diperkenalkan pada abad ke-7 sebagaimana yang tercatat dalam Memo Sakramen Gelasian (Gelasian Sacramentary). Tradisi ini pun pada abad ke-8 mengalami penyempurnaan dalam bentuk Ordinarium yang dibuat oleh Paus Gregorius Agung yang lebih dikenal dengan nama St. Gregorius, dan sesungguhnya Ordinarium itu sudah disusun sebelum abad ke-7, dan kemudian dikenal dengan nama Sacramentary of St. Gregorious yang disusun dalam bentuk Pujian/Litani. Ordinarium Gregorian dipakai dalam Misa tertentu, misalnya Ritus Tobat (Tuhan Kasihanilah kami = Asperges Me), Masa Paskah (Vidi Aquam). Dan dalam Masa Minggu Paskah dinyanyikan suatu madah yang disebut SEKUENSIA setelah Alleluia yang judulnya adalah "Victimae Paschali Laudes". Sekuensia ini wajib sifatnya untuk dinyanyikan. Dan masih ada Sekuensia pada Masa Pentakosta yang sifatnya wajib, yakni "Veni Sancte Spiritus".
Khusus untuk Rabu Abu, selain Litani "Tuhan Kasihani kami", juga biasa dinyanyikan litani "Jika Ada Cinta Kasih" yang dalam bahasa Latin berjudul "Ubi Caritas Est Vera" dan juga menjadi lagu pengantar persembahan pada Hari Raya Kamis Putih. Selain itu, litani Ubi Caritas sering juga dinyanyikan sebagai lagu Pengantar Komuni (Sakramen Perjamuan Kudus) dan ditutup dengan sebuah Madah Syukur "Te Deum".
Pada tahun 1057 terjadi Scisma (Perpecahan) Gereja yang universal dan am (Ecclesia Chatolicos) sehingga berdirilah Gereja dalam arti Denominasi (Kelembagaan), yakni Gereja Roma Katolik yang berkedudukan di Vatican-Roma dan Gereja Ortodox Timur (Katolik Ortodox) yang berpusat di Konstantinopel-Istambul (Turki sekarang). Tradisi Ritual Rabu Abu tidak lagi dilakukan oleh Gereja Ortodox Timur, sedangkan untuk Gereja Roma Katolik hal tersebut tetap dipertahankan dan disempurnakan, yang ditandai dengan tindakan "Berpuasa" sebagai wujud dari "Rasa Sesal dan Tobat" lalu di dahi umat ditorehkan tanda salib dari debu hasil pembakaran "Bekas Daun Palma" pada perayaan tahun sebelumnya.
Sejak terjadinya Gerakan Reformasi yang dimotori oleh Zwengly, Luther, Calvin, Raja Henry VIII dan beberapa tokoh pembaru gereja lainnya, terlebih khusus Gerakan Reformasi Marthen Luther yang berawal di Gereja Wittenberg (Jerman) tahun 1517 maka beberapa Tradisi Rabu Abu ala Gereja Roma Katolik itu dihapuskan tetapi perayaan dan akta-akta liturgis lainnya dipertahankan. Khusus Gereja Lutheran, Calvinis dan Anglican, penggunaan Abu dan praktek Berpuasa ditiadakan. Namun dalam perjalanan sejarah pemaknaan teologis tentang Rabu Abu, kembali Abu diterima sebagai simbol namun bukan lagi Abu dari bekas pembakaran Daun Palma melainkan Abu dari Tanah yang kemudian dioleskan di dahi atau punggung tangan. Hal ini sebagai tanda dari kefanaan manusia "yang diambil dari debu/tanah dan akan kembali ke debu/tanah" dan sekaligus "pengakuan akan realita keberdosaan" sehingga kesadaran itu mendorong umat untuk datang kehadapan Tuhan dalam "Pertobatan dan Penyesalan yang sungguh" sambil berharap akan "kasih dan keampunan" dari Allah.
Dengan dikeluarkannya Bula Kepausan (Aeterni Patri) tgl. 29 Juni 1868, maka pada tgl. 8 Desember 1869 di Basilika Santo Petrus, Paus Pius IX mengadakan Konsili Vatican I yang dihadiri hampir 800 pemimpin Gereja Roma Katolik. Sejak Konsili Vatican I, maka dikeluarkanlah dogma resmi "Pastor Aeternus", sebuah Konstitusi Dogmatik mengenai Kristus dan keutamaan serta infalibilitas Uskup Roma/Paus) di mana Paus ditetapkan sebagai Wakil Kristus. Infalibilitas artinya Paus apabila dia berbicara mengenai hal-hal yang menyangkut Iman atau Moral dari kedudukannya secara resmi (Ex Cathedra) sebagai gembala dari Ecclesia Chatolicos (Gereja yang Universal/Am), ia benar dan karenanya tidak mungkin berbuat salah. Dengan Dogma ini maka Paus mendapat legetimasi untuk mengambil tindakan terhadap semua pihak yang melakukan perilaku moral dan pengajaran yang bertentangan dengan Iman Katolik. Ya...berdasarkan kekuasaan Apostolis Tertingginya (Wakil Kristus), maka Paus mempunyai kewenangan mutlak untuk menetapkan sebuah doktrin mengenai iman atau moralitas untuk diikuti, ditaati dan dilakukan oleh seluruh gereja.
Pasca Konsili Vatican I, gerakan Reformasi yang dilakukan oleh Zwengli, Marthen Luther, Calvin, Raja Henry VIII dan tokoh-tokoh reformasi lainnya dianggap sebagai Bidaah. Dan wajar jikalau banyak kaum Protestan yang sudah terpola pemikirannya bahwa Rabu Abu itu adalah tradisi Gereja Roma Katolik dan mereka tidak melakukannya sebagai bentuk perlawanan atas kekuasaan Paus. Cukup lama pemikiran seperti itu mempengaruhi ketidakharmonisan hubungan Gereja Protestan dan Gereja Katolik.
Pada Konsili Vatican II yang dibuka oleh Paus Yohanes XXIII pada tgl. 11 Oktober 1962 dan ditutup oleh Paus Paulus VI tgl. 8 Desember 1965 yang dihadiri 2540 Uskup Gereja Roma Katolik sedunia dan 29 pengamat dari 17 Denominasi sebagai undangan. Konsili ini menghasilkan 3 Dokumen yakni:
Dokumen Pertama: ada 4 Kontitusi yang menyangkut Wahyu Ilahi (Dei Verbum), Gereja di dunia dewasa ini (Gaudium et Spes), Apa itu Gereja (Lumen Gentium), Liturgi Suci (Sacrosanctum Concilium);
Dokumen Dua: ada 9 Dikrit yang terdiri dari Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes), Kerasulan Kaum Awam (Apostolicam Actuositatem), Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja (Christus Dominus), Upaya-upaya Komunikasi Sosial (Inter Merifica), Pembinaan Imam (Optatam Totius), Gereja-gereja Timur Katolik (Orientalium Ecclesiarum), Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius (Perfectae Caritatis), Pelayanan dan Kehidupan Para Imam (Presbyterorum Ordinis), dan Hubungan Oikumenis (Unitatis Redintegratio).
Dokumen Tiga: ada 3 Pernyataan, yakni menyangkut Kebebasan Beragama (Dignitatis Humanae), menyangkut Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis), dan Hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristen (Nostra Aetate).
Sejak Konsili Vatican II, mulailah terjalin hubungan yang harmonis antara Gereja Roma Katolik dengan Gereja-gereja Lutheran, Calvinis, Anglican dan gereja dari berbagai-bagai denominasi, sehingga hal ini mempererat kerjasama dan memperkaya pemahaman dalam hal iman untuk memaknai hari-hari khusus. Dan terkait dengan Hari Raya Rabu Abu dibuat dan disefakati Kalender Oikumenis Gerejawi dengan menetapkan perhitungan penanggalan sebagai berikut:
"Rabu Abu merupakan pembuka Masa Pra-Paskah yang dilaksanakan pada hari ketiga Minggu Transfigurasi. Perhitungannya adalah 40 hari dari Masa sebelum merayakan Paskah (Kebangkitan) tanpa menghitung Hari Minggu; atau 44 hari dari Jumat Agung dengan menghitung Hari Minggu dan 46 hari dihitung mundur dari pelaksanaan Hari Raya Paskah (Kebangkitan). Jika tahun ini Hari Jumat Agung jatuh pada tgl. 14 April, maka dihitungmundurlah 44 hari untuk penetapan Rabu Abu, sehingga perayaan Ritual Rabu Abu jatuh pada tgl. 1 Maret".
Perlu kita mengingat bahwa perayaan hari-hari raya Gerejawi seperti Paskah sesungguhnya berasal dari Tradisi Perjanjian Lama (Israel). Paskah Yahudi misalnya, adalah sebuah moment untuk memperingati keluarnya bangsa Israel dari Mesir. Dan bagi umat Israel, Paskah adalah Tindakan Penebusan Allah atas umatNya yang menjadi budak di Mesir, sehingga hari itu dalam kalender Yahudi disebut YOM KIPPUR yang dilakukan mulai dari persiapan sampai pada puncaknya selama 40 hari yang ditandai dengan mengorbankan seekor anak domba dan menyapu darahnya ke ambang pintu rumah masing-masing. Hal ini mengingatkan mereka kembali tentang bagaimana Tuhan bertindak meluputkan anak-anak Israel dari kematian anak sulung di Mesir dan menuntun bangsa Israel melewati bayang-bayang kematian (Padang Gurun) selama 40 tahun.
Kemudian, perayaan Paskah Kristen mengikuti pola Paskah Yahudi tapi tidak ada korban anak domba, karena Yesus adalah Anak Domba Allah yang sudah dikorbankan untuk membebaskan manusia dari kematian kekal. 40 hari dihubungkan dengan persiapan Yesus menghadapi pelayananNya dengan berpuasa 40 hari lamanya di padang gurun. Sebelum Masa Pra-Paskah, umat Kristus melakukan perenungan diri dan pada Hari Rabu sebagai Hari Pertama Masa Pra-Paskah dilakukan Ibadah/Ritual Rabu Abu sebagai bentuk pertobatan dan penyesalan diri di hadapan Allah atas segala dosa yang mengakibatkan Yesus Kristus harus dikorbankan menjadi tumbal dosa manusia.
Bapa Pius Parsch dalam bukunya "The Church's Year of Grace" menyatakan bahwa Rabu Abu pertama terjadi di Taman Eden ketika manusia "Jatuh ke dalam Dosa". Ungkapan yang tercatat dalam Kej. 3:19 menjadi dasar teologisnya : "...sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu". Tentu kondisi yang menakutkan ini membuat manusia mencari keselamatannya, namun apa pun yang dilakukan manusia jikalau ia jauh dari Tuhan maka ia tidak akan mendapatkannya. Yang dibutuhkan adalah "penyesalan dan pertobatan" dalam arti bahwa "manusia harus berkabung karena dosa-dosanya" dan datang kepada Allah untuk memohon ampunan.
Kisah yang tercatat dalam Kej. 4:15 : "...kemudian Tuhan menaruh tanda pada Kain, supaya ia jangan dibunuh..." adalah refleksi saya (Pdt. Joni Delima) atas tindakan Kain yang mengakui dan menyesali perbuatannya sehingga ia datang memohon belas kasih Tuhan dan Tuhan menaruh tanda padanya sebagai jaminan perlindungan dan keselamatan diri. Ketika seseorang menyesali perbuatannya dan menyatakan pertobatannya, maka tanda yang ditorehkan pada dahi dengan ucapan: "Bertobatlah dan percayalah pada Injil" atau dengan perkataan: "Ingat bahwa engkau berasal dari debu dan akan kembali kepada debu", maka hal itu menjadi tanda tentang "Kefanaan dan Keberdosaan" dan hanya Tuhan yang dapat menyelamatkannya.
Karena itu, moment Rabu Abu merupakan kesempatan bagi umat untuk melakukan refleksi dan introspeksi diri yang bernuansa "PERKABUNGAN" yang dalam ajaran Calvinis disebut melakukan tindakan "Censora Morum", yakni sebuah tindakan untuk menyesali perbuatan dan sebuah tekad untuk tidak melakukannya lagi. Penghayatan seperti ini sangat perlu untuk menjadi seorang pribadi Kristen yang sesungguhnya.
Konon, dalam upacara tobat Gereja awal, jika seseorang melakukan sebuah perbuatan dan dipandang hal itu sebagai dosa berat, maka orang tersebut diwajibkan untuk menyatakan perbuatannya di depan umat dan bertobat. Pada haru Rabu Abu, Uskup atau Imam memberkati kain kabung yang harus mereka kenakan selama 40 hari serta menaburi mereka dengan abu. Orang-orang berdosa itu kemudian diusir dari Gereja sama seperti Adam yang diusir dari Taman Eden karena ketidaktaatan. Mereka dilarang mendekati ataupun masuk Gereja sampai Hari Raya Kamis Putih. Nanti setelah mereka memperoleh rekonsiliasi dengan tobat sungguh-sungguh, maka barulah mereka diperbolehkan mengikuti ibadah untuk menerima tanda abu pertobatan dan pemulihan. Tradisi ini juga dipraktekkan dalam Gereja-gereja Calvinis dalam hal pemberlakuan disiplin Gerejawi terhadap mereka yang dianggap melakukan dosa berat.
Untuk menjadi ingatan bagi kita bahwa tradisi Ritual Rabu Abu bukanlah perkara seremonial, maka catatan-catatan Alkitabiah harus menjadi referensi rohani kita.
Contoh tentang realita keberdosaan dan permohonan ampun atas pelanggaran, itu dapat kita temukan dalam 2 Samuel 12:16..."Lalu Daud memohon kepada Allah oleh karena anak itu, ia berpuasa dengan tekun...semalam-malaman ia berbaring di tanah". Dan juga abu sebagai tanda pertobatan dan penyesalan dinyatakan dalam Ayub 42:5-6..."Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau...dengan menyesal aku duduk di dalam debu dan abu". Dan juga hal yang sama dicatat bahwa ketika penduduk Ninewe mendengar perkataan nabi Yunus dan perkataan itu sampai kepada raja kota itu, maka: "...turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di atas abu (Yun. 3:6)". Ungkapan penyesalan yang dalam karena dosa pun terungkap dalam Mzm. 102:10 ..."Sebab aku makan abu seperti roti, dan mencampur minumanku dengan tangisan". Ketika umat Israel berubah setia dengan mengambil barang-barang yang dikhususkan bagi Tuhan lalu Tuhan memukul mundur oleh penduduk kota Ai, maka Yosua pun datang menyatakan pertobatan anas nama umat itu: "...Yosua pun mengoyakkan jubahnya dan sujudlah ia dengan mukanya sampai ke tanah di depan tabut Tuhan hingga petang, bersama dengan para tua-tua orang Israel, sambil menabur debu di atas kepalanya (Yos. 7:6)".
Demikian juga penggunaan abu sebagai moment untuk mendekatkan diri kepada Tuhan kita temukan dalam Daniel 9:3..."Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu". Demikian juga ketika umat Yahudi terancam karena niat jahat Haman, lalu Mordekhai berusaha mendapatkan belas kasihan Allah melalui Ratu Ester: "...Mordekhai mengoyakkan pakaiannya, lalu memakai kain kabung dan abu, kemudian keluar berjalan di tengah-tengah kota, sambil melonglong-longlong dengan nyaring dan pedih (Ester 4:1)". Dan ketika Ratu Ester mengetahui maksud itu, ia pun berkata: "...berpuasalah untuk aku; janganlah makan dan janganlah minum tiga hari lamanya, baik waktu malam, baik waktu siang...(Ester 4:16)".
Penggunaan abu sebagai peringatan akan dosa yang dilakukan dapat dibaca dalam Ratapan 2:10..."duduklah tertegun di tanah para tua-tua putri Sion; mereka menabur abu di atas kepala dan mengenakan kain kabung". Juga dalam Mazmur 103:14..."Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu". Termasuk penggunaan debu sebagai tanda kefanaan manusia terdapat dalam Kej. 2:7..."Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup". Demikian juga kesadaran Abraham tentang realita kemanusiaannya di hadapan Allah, sehingga ia berkata: "...sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan, walaupun aku debu dan abu (Kej. 18:27)".
Yesus sendiri juga berbicara tentang penggunaan abu sekalipun hal itu tidak disinggung secara langsung (sebab pasangan kain kabung adalah abu), dan hal itu disampaikan kepada penduduk kota Khorazim dan Betsaida yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan begitu banyak perkara mujizat: "seandainya mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu (Mat. 11:21)".
Semoga tindakan kita dalam merayakan Rabu Abu saat ini mengerakkan hati Tuhan dan Ia berbelas kasihan kepada kita. Semoga sabdaNya dalam 2 Tawarikh 7:14 itupun menjadi bahagian kita saat ini: "dan umatKu, yang atasnya namaKu disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajahKu, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka".
Semoga moment Rabu Abu yang kita laksanakan pada saat ini akan semakin menyadarkan kita tentang keadaan yang tak berdaya karena dosa sehingga kita akan terus berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dan mencari kelepasan hanya dari padaNya serta kesediaan untuk melakukan kehendakNya.
Pemaknaan Ritual Rabu Abu
Masale - 1 Maret 2017
Saya sempat mendapatkan beberapa pertanyaan dari warga jemaat bahkan dari teman-teman di Gereja Katolik:
Mengapa Gereja Toraja sekarang ikut-ikutan merayakan Rabu Abu seperti yang dilakukan oleh Gereja Katolik?.
Apa yang melatar-belakangi sehingga Gereja Toraja merayakan Rabu Abu?.
Apa landasan teologis dari pelaksanaan Ritual Rabu Abu yang turut dilakukan oleh Gereja-gereja Calvinis dan Lutheran sekarang ini, termasuk Gereja Toraja?.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mendorong saya untuk memberikan penjelasan tentang Pelaksanaan Ritual Rabu Abu.
Memang banyak orang beranggapan bahwa Perayaan Rabu Abu dalam bentuk Ritual/Ibadah dengan akta-akta liturgis merupakan Tradisi Gereja Katolik. Bagi saya, anggapan seperti ini tidaklah salah.
Ya...memang anggapan itu benar.
Mengapa benar?.
Karena pada mulanya nama dari Persekutuan Anak-anak Tuhan atau Pengikut Jalan Tuhan itu satu dan menunjuk pada sifat dari persekutuan itu sendiri, yakni Universal atau Am yang dalam Bahasa Latinnya disebut: "CHATOLICOS". Jadi persekutuan itu adalah Terbuka dan Universal (Ecclesia Chatolicos). Oleh karena itu, saya mau menegaskan bahwa Tradisi Rabu Abu tidak dapat diklaim bahwa itu milik Gereja Roma Katolik karena belum ada persekutuan gereja dengan nama lain (dalam arti denominasi atau kelembagaan) selain "Ecclesia Chatolicos" atau "Gereja Katolik" yang sama sekali tidak menunjuk pada makna denominasi atau kelembagaan tetapi pada "Sifatnya Yang Am".
Itulah sebabnya sangat disayangkan jika ada orang yang mengatakan bahwa Tradisi Rabu Abu adalah Tradisi Ritual Gereja Roma Katolik dan karena itu tidak boleh dirayakan oleh Gereja-gereja yang berlatar-belakang Calvinis atau pun Lutheran. Dan saya mau mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengetahui sejarah dan sama sekali tidak mengetahui makna teologis di balik pelaksanaan Ritual Rabu Abu.
Tradisi Rabu Abu mulai diperkenalkan pada abad ke-7 sebagaimana yang tercatat dalam Memo Sakramen Gelasian (Gelasian Sacramentary). Tradisi ini pun pada abad ke-8 mengalami penyempurnaan dalam bentuk Ordinarium yang dibuat oleh Paus Gregorius Agung yang lebih dikenal dengan nama St. Gregorius, dan sesungguhnya Ordinarium itu sudah disusun sebelum abad ke-7, dan kemudian dikenal dengan nama Sacramentary of St. Gregorious yang disusun dalam bentuk Pujian/Litani. Ordinarium Gregorian dipakai dalam Misa tertentu, misalnya Ritus Tobat (Tuhan Kasihanilah kami = Asperges Me), Masa Paskah (Vidi Aquam). Dan dalam Masa Minggu Paskah dinyanyikan suatu madah yang disebut SEKUENSIA setelah Alleluia yang judulnya adalah "Victimae Paschali Laudes". Sekuensia ini wajib sifatnya untuk dinyanyikan. Dan masih ada Sekuensia pada Masa Pentakosta yang sifatnya wajib, yakni "Veni Sancte Spiritus".
Khusus untuk Rabu Abu, selain Litani "Tuhan Kasihani kami", juga biasa dinyanyikan litani "Jika Ada Cinta Kasih" yang dalam bahasa Latin berjudul "Ubi Caritas Est Vera" dan juga menjadi lagu pengantar persembahan pada Hari Raya Kamis Putih. Selain itu, litani Ubi Caritas sering juga dinyanyikan sebagai lagu Pengantar Komuni (Sakramen Perjamuan Kudus) dan ditutup dengan sebuah Madah Syukur "Te Deum".
Pada tahun 1057 terjadi Scisma (Perpecahan) Gereja yang universal dan am (Ecclesia Chatolicos) sehingga berdirilah Gereja dalam arti Denominasi (Kelembagaan), yakni Gereja Roma Katolik yang berkedudukan di Vatican-Roma dan Gereja Ortodox Timur (Katolik Ortodox) yang berpusat di Konstantinopel-Istambul (Turki sekarang). Tradisi Ritual Rabu Abu tidak lagi dilakukan oleh Gereja Ortodox Timur, sedangkan untuk Gereja Roma Katolik hal tersebut tetap dipertahankan dan disempurnakan, yang ditandai dengan tindakan "Berpuasa" sebagai wujud dari "Rasa Sesal dan Tobat" lalu di dahi umat ditorehkan tanda salib dari debu hasil pembakaran "Bekas Daun Palma" pada perayaan tahun sebelumnya.
Sejak terjadinya Gerakan Reformasi yang dimotori oleh Zwengly, Luther, Calvin, Raja Henry VIII dan beberapa tokoh pembaru gereja lainnya, terlebih khusus Gerakan Reformasi Marthen Luther yang berawal di Gereja Wittenberg (Jerman) tahun 1517 maka beberapa Tradisi Rabu Abu ala Gereja Roma Katolik itu dihapuskan tetapi perayaan dan akta-akta liturgis lainnya dipertahankan. Khusus Gereja Lutheran, Calvinis dan Anglican, penggunaan Abu dan praktek Berpuasa ditiadakan. Namun dalam perjalanan sejarah pemaknaan teologis tentang Rabu Abu, kembali Abu diterima sebagai simbol namun bukan lagi Abu dari bekas pembakaran Daun Palma melainkan Abu dari Tanah yang kemudian dioleskan di dahi atau punggung tangan. Hal ini sebagai tanda dari kefanaan manusia "yang diambil dari debu/tanah dan akan kembali ke debu/tanah" dan sekaligus "pengakuan akan realita keberdosaan" sehingga kesadaran itu mendorong umat untuk datang kehadapan Tuhan dalam "Pertobatan dan Penyesalan yang sungguh" sambil berharap akan "kasih dan keampunan" dari Allah.
Dengan dikeluarkannya Bula Kepausan (Aeterni Patri) tgl. 29 Juni 1868, maka pada tgl. 8 Desember 1869 di Basilika Santo Petrus, Paus Pius IX mengadakan Konsili Vatican I yang dihadiri hampir 800 pemimpin Gereja Roma Katolik. Sejak Konsili Vatican I, maka dikeluarkanlah dogma resmi "Pastor Aeternus", sebuah Konstitusi Dogmatik mengenai Kristus dan keutamaan serta infalibilitas Uskup Roma/Paus) di mana Paus ditetapkan sebagai Wakil Kristus. Infalibilitas artinya Paus apabila dia berbicara mengenai hal-hal yang menyangkut Iman atau Moral dari kedudukannya secara resmi (Ex Cathedra) sebagai gembala dari Ecclesia Chatolicos (Gereja yang Universal/Am), ia benar dan karenanya tidak mungkin berbuat salah. Dengan Dogma ini maka Paus mendapat legetimasi untuk mengambil tindakan terhadap semua pihak yang melakukan perilaku moral dan pengajaran yang bertentangan dengan Iman Katolik. Ya...berdasarkan kekuasaan Apostolis Tertingginya (Wakil Kristus), maka Paus mempunyai kewenangan mutlak untuk menetapkan sebuah doktrin mengenai iman atau moralitas untuk diikuti, ditaati dan dilakukan oleh seluruh gereja.
Pasca Konsili Vatican I, gerakan Reformasi yang dilakukan oleh Zwengli, Marthen Luther, Calvin, Raja Henry VIII dan tokoh-tokoh reformasi lainnya dianggap sebagai Bidaah. Dan wajar jikalau banyak kaum Protestan yang sudah terpola pemikirannya bahwa Rabu Abu itu adalah tradisi Gereja Roma Katolik dan mereka tidak melakukannya sebagai bentuk perlawanan atas kekuasaan Paus. Cukup lama pemikiran seperti itu mempengaruhi ketidakharmonisan hubungan Gereja Protestan dan Gereja Katolik.
Pada Konsili Vatican II yang dibuka oleh Paus Yohanes XXIII pada tgl. 11 Oktober 1962 dan ditutup oleh Paus Paulus VI tgl. 8 Desember 1965 yang dihadiri 2540 Uskup Gereja Roma Katolik sedunia dan 29 pengamat dari 17 Denominasi sebagai undangan. Konsili ini menghasilkan 3 Dokumen yakni:
Dokumen Pertama: ada 4 Kontitusi yang menyangkut Wahyu Ilahi (Dei Verbum), Gereja di dunia dewasa ini (Gaudium et Spes), Apa itu Gereja (Lumen Gentium), Liturgi Suci (Sacrosanctum Concilium);
Dokumen Dua: ada 9 Dikrit yang terdiri dari Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes), Kerasulan Kaum Awam (Apostolicam Actuositatem), Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja (Christus Dominus), Upaya-upaya Komunikasi Sosial (Inter Merifica), Pembinaan Imam (Optatam Totius), Gereja-gereja Timur Katolik (Orientalium Ecclesiarum), Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius (Perfectae Caritatis), Pelayanan dan Kehidupan Para Imam (Presbyterorum Ordinis), dan Hubungan Oikumenis (Unitatis Redintegratio).
Dokumen Tiga: ada 3 Pernyataan, yakni menyangkut Kebebasan Beragama (Dignitatis Humanae), menyangkut Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis), dan Hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristen (Nostra Aetate).
Sejak Konsili Vatican II, mulailah terjalin hubungan yang harmonis antara Gereja Roma Katolik dengan Gereja-gereja Lutheran, Calvinis, Anglican dan gereja dari berbagai-bagai denominasi, sehingga hal ini mempererat kerjasama dan memperkaya pemahaman dalam hal iman untuk memaknai hari-hari khusus. Dan terkait dengan Hari Raya Rabu Abu dibuat dan disefakati Kalender Oikumenis Gerejawi dengan menetapkan perhitungan penanggalan sebagai berikut:
"Rabu Abu merupakan pembuka Masa Pra-Paskah yang dilaksanakan pada hari ketiga Minggu Transfigurasi. Perhitungannya adalah 40 hari dari Masa sebelum merayakan Paskah (Kebangkitan) tanpa menghitung Hari Minggu; atau 44 hari dari Jumat Agung dengan menghitung Hari Minggu dan 46 hari dihitung mundur dari pelaksanaan Hari Raya Paskah (Kebangkitan). Jika tahun ini Hari Jumat Agung jatuh pada tgl. 14 April, maka dihitungmundurlah 44 hari untuk penetapan Rabu Abu, sehingga perayaan Ritual Rabu Abu jatuh pada tgl. 1 Maret".
Perlu kita mengingat bahwa perayaan hari-hari raya Gerejawi seperti Paskah sesungguhnya berasal dari Tradisi Perjanjian Lama (Israel). Paskah Yahudi misalnya, adalah sebuah moment untuk memperingati keluarnya bangsa Israel dari Mesir. Dan bagi umat Israel, Paskah adalah Tindakan Penebusan Allah atas umatNya yang menjadi budak di Mesir, sehingga hari itu dalam kalender Yahudi disebut YOM KIPPUR yang dilakukan mulai dari persiapan sampai pada puncaknya selama 40 hari yang ditandai dengan mengorbankan seekor anak domba dan menyapu darahnya ke ambang pintu rumah masing-masing. Hal ini mengingatkan mereka kembali tentang bagaimana Tuhan bertindak meluputkan anak-anak Israel dari kematian anak sulung di Mesir dan menuntun bangsa Israel melewati bayang-bayang kematian (Padang Gurun) selama 40 tahun.
Kemudian, perayaan Paskah Kristen mengikuti pola Paskah Yahudi tapi tidak ada korban anak domba, karena Yesus adalah Anak Domba Allah yang sudah dikorbankan untuk membebaskan manusia dari kematian kekal. 40 hari dihubungkan dengan persiapan Yesus menghadapi pelayananNya dengan berpuasa 40 hari lamanya di padang gurun. Sebelum Masa Pra-Paskah, umat Kristus melakukan perenungan diri dan pada Hari Rabu sebagai Hari Pertama Masa Pra-Paskah dilakukan Ibadah/Ritual Rabu Abu sebagai bentuk pertobatan dan penyesalan diri di hadapan Allah atas segala dosa yang mengakibatkan Yesus Kristus harus dikorbankan menjadi tumbal dosa manusia.
Bapa Pius Parsch dalam bukunya "The Church's Year of Grace" menyatakan bahwa Rabu Abu pertama terjadi di Taman Eden ketika manusia "Jatuh ke dalam Dosa". Ungkapan yang tercatat dalam Kej. 3:19 menjadi dasar teologisnya : "...sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu". Tentu kondisi yang menakutkan ini membuat manusia mencari keselamatannya, namun apa pun yang dilakukan manusia jikalau ia jauh dari Tuhan maka ia tidak akan mendapatkannya. Yang dibutuhkan adalah "penyesalan dan pertobatan" dalam arti bahwa "manusia harus berkabung karena dosa-dosanya" dan datang kepada Allah untuk memohon ampunan.
Kisah yang tercatat dalam Kej. 4:15 : "...kemudian Tuhan menaruh tanda pada Kain, supaya ia jangan dibunuh..." adalah refleksi saya (Pdt. Joni Delima) atas tindakan Kain yang mengakui dan menyesali perbuatannya sehingga ia datang memohon belas kasih Tuhan dan Tuhan menaruh tanda padanya sebagai jaminan perlindungan dan keselamatan diri. Ketika seseorang menyesali perbuatannya dan menyatakan pertobatannya, maka tanda yang ditorehkan pada dahi dengan ucapan: "Bertobatlah dan percayalah pada Injil" atau dengan perkataan: "Ingat bahwa engkau berasal dari debu dan akan kembali kepada debu", maka hal itu menjadi tanda tentang "Kefanaan dan Keberdosaan" dan hanya Tuhan yang dapat menyelamatkannya.
Karena itu, moment Rabu Abu merupakan kesempatan bagi umat untuk melakukan refleksi dan introspeksi diri yang bernuansa "PERKABUNGAN" yang dalam ajaran Calvinis disebut melakukan tindakan "Censora Morum", yakni sebuah tindakan untuk menyesali perbuatan dan sebuah tekad untuk tidak melakukannya lagi. Penghayatan seperti ini sangat perlu untuk menjadi seorang pribadi Kristen yang sesungguhnya.
Konon, dalam upacara tobat Gereja awal, jika seseorang melakukan sebuah perbuatan dan dipandang hal itu sebagai dosa berat, maka orang tersebut diwajibkan untuk menyatakan perbuatannya di depan umat dan bertobat. Pada haru Rabu Abu, Uskup atau Imam memberkati kain kabung yang harus mereka kenakan selama 40 hari serta menaburi mereka dengan abu. Orang-orang berdosa itu kemudian diusir dari Gereja sama seperti Adam yang diusir dari Taman Eden karena ketidaktaatan. Mereka dilarang mendekati ataupun masuk Gereja sampai Hari Raya Kamis Putih. Nanti setelah mereka memperoleh rekonsiliasi dengan tobat sungguh-sungguh, maka barulah mereka diperbolehkan mengikuti ibadah untuk menerima tanda abu pertobatan dan pemulihan. Tradisi ini juga dipraktekkan dalam Gereja-gereja Calvinis dalam hal pemberlakuan disiplin Gerejawi terhadap mereka yang dianggap melakukan dosa berat.
Untuk menjadi ingatan bagi kita bahwa tradisi Ritual Rabu Abu bukanlah perkara seremonial, maka catatan-catatan Alkitabiah harus menjadi referensi rohani kita.
Contoh tentang realita keberdosaan dan permohonan ampun atas pelanggaran, itu dapat kita temukan dalam 2 Samuel 12:16..."Lalu Daud memohon kepada Allah oleh karena anak itu, ia berpuasa dengan tekun...semalam-malaman ia berbaring di tanah". Dan juga abu sebagai tanda pertobatan dan penyesalan dinyatakan dalam Ayub 42:5-6..."Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau...dengan menyesal aku duduk di dalam debu dan abu". Dan juga hal yang sama dicatat bahwa ketika penduduk Ninewe mendengar perkataan nabi Yunus dan perkataan itu sampai kepada raja kota itu, maka: "...turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di atas abu (Yun. 3:6)". Ungkapan penyesalan yang dalam karena dosa pun terungkap dalam Mzm. 102:10 ..."Sebab aku makan abu seperti roti, dan mencampur minumanku dengan tangisan". Ketika umat Israel berubah setia dengan mengambil barang-barang yang dikhususkan bagi Tuhan lalu Tuhan memukul mundur oleh penduduk kota Ai, maka Yosua pun datang menyatakan pertobatan anas nama umat itu: "...Yosua pun mengoyakkan jubahnya dan sujudlah ia dengan mukanya sampai ke tanah di depan tabut Tuhan hingga petang, bersama dengan para tua-tua orang Israel, sambil menabur debu di atas kepalanya (Yos. 7:6)".
Demikian juga penggunaan abu sebagai moment untuk mendekatkan diri kepada Tuhan kita temukan dalam Daniel 9:3..."Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu". Demikian juga ketika umat Yahudi terancam karena niat jahat Haman, lalu Mordekhai berusaha mendapatkan belas kasihan Allah melalui Ratu Ester: "...Mordekhai mengoyakkan pakaiannya, lalu memakai kain kabung dan abu, kemudian keluar berjalan di tengah-tengah kota, sambil melonglong-longlong dengan nyaring dan pedih (Ester 4:1)". Dan ketika Ratu Ester mengetahui maksud itu, ia pun berkata: "...berpuasalah untuk aku; janganlah makan dan janganlah minum tiga hari lamanya, baik waktu malam, baik waktu siang...(Ester 4:16)".
Penggunaan abu sebagai peringatan akan dosa yang dilakukan dapat dibaca dalam Ratapan 2:10..."duduklah tertegun di tanah para tua-tua putri Sion; mereka menabur abu di atas kepala dan mengenakan kain kabung". Juga dalam Mazmur 103:14..."Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu". Termasuk penggunaan debu sebagai tanda kefanaan manusia terdapat dalam Kej. 2:7..."Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup". Demikian juga kesadaran Abraham tentang realita kemanusiaannya di hadapan Allah, sehingga ia berkata: "...sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan, walaupun aku debu dan abu (Kej. 18:27)".
Yesus sendiri juga berbicara tentang penggunaan abu sekalipun hal itu tidak disinggung secara langsung (sebab pasangan kain kabung adalah abu), dan hal itu disampaikan kepada penduduk kota Khorazim dan Betsaida yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan begitu banyak perkara mujizat: "seandainya mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu (Mat. 11:21)".
Semoga tindakan kita dalam merayakan Rabu Abu saat ini mengerakkan hati Tuhan dan Ia berbelas kasihan kepada kita. Semoga sabdaNya dalam 2 Tawarikh 7:14 itupun menjadi bahagian kita saat ini: "dan umatKu, yang atasnya namaKu disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajahKu, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka".
Semoga moment Rabu Abu yang kita laksanakan pada saat ini akan semakin menyadarkan kita tentang keadaan yang tak berdaya karena dosa sehingga kita akan terus berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dan mencari kelepasan hanya dari padaNya serta kesediaan untuk melakukan kehendakNya.
No comments:
Post a Comment