Laman

Tuesday, April 25, 2017

Inilah Anakmu, Inilah Ibumu

Sebuah Refleksi Pribadi
Hari Ke-35 Masa Pra Paskah
(7 Ucapan Sang Raja Agung Dari Salib)
Bacaan : Yohanes 19:26-27
(Masale, 10 April 2017 - Pdt. Joni Delima)

Selamat pagi dan Shalom bagimu.
Semoga hari ini anda bersukacita dalam kelimpahan kasihNya.

Saudaraku...
Untuk ketiga kalinya saya mengajak anda hening sejenak. Pejamkan mata, kosongkan batin dan berusahalah untuk merasakan gejolak batin Yesus Sang Raja Agung, ketika dari puncak salib itu Ia menyaksikan sang ibu yang melahirkanNya tertunduk lesuh berurai airmata. Sekarang, biarkan perasaan anda hanyut di antara tangisan sang ibu yang tak kuasa memandang penderitaan anak yang selama ini diandalkan dan dikaguminya; dan bagaimana pertempuran yang bergejolak di batin Yesus Sang Raja Agung antara rasa kasihan karena tidak mampu memuaskan hasrat sang ibu seperti apa yang sang ibu mau, bercampur rasa kagum karena sang ibu masih mampu bertahan untuk berdiri menyaksikan deritaNya.

Saudaraku...
Sekarang, saya mengajak anda terlebih dahulu menyusuri lorong batin Maria, Sang Ibu yang melagirkan Putra Maha Agung. Tentu dalam batinya muncul 1001 macam pertanyaan, ya...ia tentu mempertanyakan dalam kata yang tak mampu lagi terucapkan di bibir:

Mengapa hal ini terjadi?.

Jikalau benar apa yang diucapkan oleh Allah melalui Malikat Gabriel bahwa "Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Maha Tinggi. Dan Tuhan akan mengaruniakan takhta Daud bapa leluhurNya dan Ia akan menjadi Raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan kerajaanNya tidak akan berkesudahan (Luk. 1:32-33)", namun mengapa fakta yang terjadi justru bertolak belakang dengan janji itu?.

Mengapa hukum bertindak kejam terhadap Anaknya, apakah karena mereka dari kalangan orang termarginalkan sehingga hukum hanya berpihak terhadap penguasa, mereka yang kaya dan kelompok mayoritas?.

Cobalah anda berusaha untuk merasakan hati seorang ibu yang di depan mata sendiri harus menyaksikan detik terakhir kematian dari anak yang dikandung dan dilahirkannya itu? Ibu mana yang tidak merasa terpukul oleh kenyataan seperti itu? Ia tertunduk lesu, dan hanya derai airmata yang berbicara akan luka batin yang dialaminya, bukan?

Saudaraku...
Sekarang...tataplah mata Yesus Sang Raja Agung. Tidakkah Ia sadari bahwa ibuNya sedang ada di persimpangan jalan dan tidak lagi tahu ke mana ia harus melangkah? Tidakkah Yesus Sang Raja Agung sadar bahwa ibuNya sudah mulai tua dan sangat membutuhkan pendampingan untuk terus berjalan merajut asa sekali pun bagi orang lain, hal itu hanyalah sebuah mimpi?

Tapi inilah yang terjadi:
Ia menembus kebutuhan hakiki dari Sang Ibu. Ia menatap Sang Ibu dan Ia juga menatap murid yang sangat dikasihiNya (Yohanes). Tiga pasang mata berpadu dan perasaan mereka menyatu. Untuk beberapa menit, keheningan terjadi. Semua mata tertuju pada ketiganya dan berusaha memasang telinga untuk mendengar untaian kata duka dari Sang Ibu dan murid itu, atau pun orang banyak berharap kata-kata pembenaran dari Yesus Sang Raja Agung karena telah memupus asa dari Sang Ibu untuk menikmati jerih lelahnya selama ini. Sekian detik berlalu, yang ada hanyalah bahasa hati yang penuh kelembutan dan kasih sayang. Tak ada yang patut dipersalahkan dalam hal ini. Karena itu, pada detik terakhir, mata Yesus Sang Raja Agung memandang dengan penuh kelembutan Sang Ibu sambil berkata: "Ibu, inilah anakmu", lalu pandanganNya beralih pada murid yang dikasihiNya itu dan berkata: "Inilah ibumu".

Saudaraku...
Dari perkataan yang singkat ini, ada pesan moral yang hendak disampaikan oleh Yesus Sang Raja Agung.

Pertama:
Kita menyaksikan kepedulian Yesus Sang Raja Agung terhadap ibu jasmaniNya. Kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang dalam melewati suka-duka kehidupan di tengah dunia yang jahat ini, juga menjadi fokus perhatianNya. Dan untuk melewati hal tersebut, maka berbagi kasih atau berbela-rasa antara Sang Ibu dan murid-muridNya (GerejaNya) harus terbangun dengan baik. Dunia yang jahat ini tidak dapat ditaklukkan dengan kekerasan dan kebencian, -(dan juga)-, Gereja tidak dapat menghindar dari konteks dunia yang jahat ini; hanya ikatan CINTA-KASIH yang dapat menaklukkan dunia ini. Dan inilah buktinya: "dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu...Dengan bertekun dan sehati mereka berkumpul...Mereka memecah roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama...dan mereka disukai semua orang (Kis. 2:44-47)". Dan inilah kuncinya: "Hidup rukun (penuh cinta-kasih) memungkinkan berkat jasmani dan rohani (Mzm. 133), dan di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama Yesus, maka di situ Dia ada".

Kedua:
Keintiman keluarga itu memang penting, -(dan Yesus sadar bahwa hal tersebut sangat diperlukan)-, tetapi KEINTIMAN IMAN jauh lebih penting dari ikatan keluarga atau kekerabatan. Kekuatan Keintiman Iman menerobos atau menembus tebalnya tembok keluarga; karena ikatan keluarga sementara sifatnya bahkan bergantung dengan kondisi: "ada abang abang disayang, tak ada uang abang ditendang". Karena itu, Sang Ibu (Maria) harus memandang Yohanes sebagai Anak Imannya, demikian pula sebaliknya, Yohanes harus menyambut Maria sebagai Ibu Rohaninya. Tidakkah hal yang sama ketika Paulus memandang Timotius sebagai Anak Imannya, dan Timotius memandang Paulus sebagai Bapak Rohaninya; sebagaimana Paulus menyambut Ibu Rufus sebagai Ibu Rohaninya.

Karena itu, saya ingin tegaskan kembali bahwa keluarga dalam ikatan darah daging memang penting, tetapi jauh lebih penting Keluarga Rohani (Keluarga Iman) yang terbangun lewat Persekutuan (Gereja) untuk saling menjaga, saling memotivasi, saling mendoakan dan saling memberkati. Dan inilah yang ditegaskan Yesus Sang Raja Agung dalam Mat. 12:50... "siapa pun yang melakukan kehendak BapaKu di sorga, dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudaraKu perempuan, dialah ibuKu".

Selamat beraktivitas.
Selamat membangun Keintiman Iman.
Selamat berharap dan berbagi kasihNya.
Tuhan Yesus memberkati.

(Catatan: Refleksi ini telah di-Share ke WA Jemaat Masale).

No comments:

Post a Comment

Web gratis

Web gratis
Power of Love