Laman

Friday, July 21, 2017

Ketika Agama Kehilangan Makna

Sebuah Refleksi Pribadi
(Untuk Direnungkan)

Bacaan : Matius 7 : 21 - 23
(Masale, 27 Januari 2017 - Pdt. Joni Delima)

Selamat pagi dan Shalom bagimu.
Semoga hari ini hidup anda diliputi sukacita dan Tuhan terus memberkati anda.

Saudaraku...
Saya pernah membaca sebuah ulasan yang berkaitan dengan kondisi kekinian bangsa ini, bahwa sebagian besar rakyat di negeri ini mengalami "Over Dosis Agama". Sangking ber-Agama-nya, maka mereka tidak tega jika "Rasa ber-Agama-nya" terusik atau disentil.

Terus terang saya mau mengatakan bahwa, "Over Dosis Agama" telah membutakan mata kemanusiaan sebagian besar anak bangsa ini, sehingga sesama yang berbeda keyakinan, -(apalagi jika berani mengusik rasa ber-Agama-nya)-, tidak dipandang lagi sebagai manusia. Dalam kondisi seperti ini maka yang berbeda keyakinan bukanlah saudaranya, bahkan yang berani mengusik keyakinannya tak pantas mendapatkan ruang untuk hidup di persada ini. "Over Dosis Agama" membuat seseorang memandang dirinya sebagai makhluk suci yang tidak boleh bersentuhan dengan hal-hal yang dipandang KAFIR, dan karena itu "Over Dosis Agama" membuat seseorang bertindak di luar batas-batas kemanusiaan.

Salahkah ber-Agama?.

O...tidak!.

Agama adalah sarana bagi setiap orang untuk mengalami perjumpaan iman dengan Tuhan dan mengalami kedamaian untuk hidup bersesama. Karena itu, Agama tidak hanya berbicara tentang AQIDAH, tetapi Agama juga berbicara tentang AQLAKH. Agama tidak hanya bersinggungan dengan "Abluminallah", tetapi juga bersinggungan dengan "Abluminannas". Dan inilah yang pernah saya sampaikan dalam forum bersama lintas agama bahwa: "Agama tidak hanya membawa sorga menyentuh dunia, tetapi Agama juga mengantar dunia menyentuh sorga".

Karena itu, nilai dan rasa ber-Agama tidak boleh meniadakan salah satunya. Ya...Agama tidak pantas mengagungkan Allah namun menindas kemanusiaan, atau sebaliknya; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan namun menginjak-injak kekudusan Allah. Dengan kata lain: "Agama tidak boleh mengatas-namakan Allah dalam menindas nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga perjuangan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tidak boleh menyangkali realitas keber-Agama-an".

Saudaraku...
Saya teringat sebuah kisah perjumpaan lintas iman, yang bagi saya secara pribadi, sangat inspiratif untuk kembali mendefinisikan ulang tentang kehidupan ber-Agama yang benar atau yang sesungguhnya. Kisah yang saya maksud adalah perjumpaan seorang tokoh pejuang dan negerawan besar dari India yang bernama Mahatma Gandhi, dengan seorang missionaris yang bertugas di India yang bernama Stanley Jones.

Mahatma Gandhi sangat menggandrungi sosok Tuhan Yesus yang begitu sederhana serta penuh dengan kelemah-lembutan. Mahatma Gandhi pun sangat terkesan dengan ajaran-ajaran Tuhan Yesus, khususnya "Khotbah Di Bukit". Dan begitu banyak pandangan-pandangan serta gagasan-gagasan Mahatma Gandhi yang berasal atau bersumber dari ajaran-ajaran Tuhan Yesus, namun sampai ajalnya, Mahatma Gandhi tidak pernah menyatakan dirinya sebagai seorang Kristen.

Suatu waktu, Stanley Jones bertanya kepada Gandhi:
"Anda sering mengutip ucapan-ucapan Tuhan Yesus, namun mengapa anda sangat keras menolak untuk menjadi pengikut Tuhan Yesus?".

Mahatma Gandhi menjawab:
"Saya tidak pernah menolak Yesus, dan jujur saya harus akui bahwa saya sangat suka pada Yesus-mu. Tetapi saya tidak suka dengan orang Kristen-mu. Jika orang Kristen benar-benar hidup menurut ajaran Yesus seperti yang diajarkan dalam Alkitab, maka saya yakin bahwa hari ini juga seluruh India sudah menjadi Kristen".

Saudaraku...
Apa yang dikatakan Mahatma Gandhi adalah sebuah fakta. Rasa atau selerah ber-Agama kita sangat tinggi, bahkan kalau boleh dikatakan, sudah melampaui batas normal sehingga sangat tepat untuk dikatakan sudah abnormal; tetapi sangat disayangkan bahwa praktek hidup, di mana nilai-nilai ber-Agama harus didemonstrasikan, justru mengalami dekadensi (kemerosotan). Jujur harus kita akui bahwa, -(sadar atau tidak sadar)-, kita adalah PENISTA AGAMA yang sesungguhnya. Mulut sangat mudah melafalkan nama Tuhan, namun tingkah-langkah kita jauh dari yang Tuhan kehendaki. Akibatnya, hidup tidak menjadi berkat bagi sesama dan bagi dunia, melainkan menjadi "Batu Sandungan".

Karena itu, saya mau menegaskan di sini:
Hidup ke-Agama-an anda tidak ditentukan oleh kefasihan anda melantunkan Sabda Ilahi, tetapi sangat ditentukan oleh kemampuan anda untuk mentransfer pesan moral dari Sabda Ilahi menjadi Lifestyle (Gaya Hidup) dalam membangun KEBERSESAMAAN. Ketika orang merasa SUKA dengan anda maka sesungguhnya, -(secara implisit)-, mereka SUKA AGAMA anda; karena ajaran Agama anda menyatu dalam keseluruhan hidup anda.

Selamat untuk tidak kehilangan nilai keber-Agama-an anda.
Selamat beraktivitas.
Tuhan Yesus memberkatimu.

(Catatan: Refleksi ini telah di-Share ke WA Jemaat Masale).

No comments:

Post a Comment

Web gratis

Web gratis
Power of Love