Laman

Saturday, March 31, 2018

Kematian Yang Membebaskan

Sebuah Refleksi Pribadi.
(Masale, hari ke-89 tanggal 30 Maret 2018 - Pdt. Joni Delima).

Censura Morum hari ke-39 Masa Pra Paskah.

Ringkasan Khotbah Hari Raya Jumat Agung.
Disampaikan di Gereja Toraja Jemaat Masale.

Bacaan :
(1). Yesaya 52:13 - 53:1-12.
(2). Ibrani 10:19-25.
(3). Yohanes 19:16-30 (Bahan Utama Khotbah).

"Dan Pilatus menyuruh memasang juga tulisan di atas kayu salib itu, bunyinya: Yesus, orang Nazaret, Raja Orang Yahudi. Banyak orang Yahudi yang membaca tulisan itu, sebab tempat di mana Yesus disalibkan letaknya dekat kota dan kata-kata itu tertulis dalam bahasa Ibrani, bahasa Latin dan bahasa Yunani (Yoh. 19:19-20)".

Shalom bagimu.
Dengan penuh rasa syukur, saya mengucapkan selamat Hari Raya Jumat Agung.
Semaoga kematian Kristus yang kita rayakan hari ini membawa damai di hati.

Saudaraku...
Peristiwal atau ihwal akan kematian yang dialami dan yang terjad oleh umat manusia dan semua yang dikatakan makhluk hidup, sesungguhnya itu adalah hal yang sudah biasa, atau memang sudah menjadi kodrat alam. Sejak awal kehidupan manusia dimulai dan seiring dengan peradaban manusia berkembang hingga sampai saat ini, kematian adalah realita yang tidak bisa dipungkiri. Ya...Kematian adalah bahagian dari Kehidupan; seperti gambar pada koin atau mata uang yang timbal balik, tanpa ada yang satu maka koin atau mata uang itu tak memiliki nilai.

Memang banyak orang berusaha menghindari kematian, dari bagi kebanyakan orang; kematian adalah hal yang paling menakutkan. Dan jujur kita harus akui bahwa masih banyak anak-anak Tuhan yang sangat takut dan merasa ngeri ketika menghadapi kematian. Oleh karena itu orang rela kehilangan atau mengorbankan banyak hal dalam hidupnya, rela menempuh perjalan yang panjang, melintasi darat, udara dan laut, hanya untuk mendapatkan dan mempertahankan apa yang disebut: HIDUP.

Ketika kita sakit, bukan?
Terlebih ketika kita diklaim mengalami atau menderita kanker, penyakit yang mematikan dan sudah stadium yang sekian. Bayang-bayang kematian serasa sudah berada di depan mata. Tetapi kita berusaha untuk melewati hal itu. Kita rela untuk melakukan apapun juga, kita terbuka untuk menerima petunjuk untuk makan ini dan itu walau dulu hal tersebut sangat menjijikkan dan bahkan memegang dan menciumnya saja kita sudah muntah-muntah, kita pun siap atau rela berpantangan untuk makan ini dan itu, yang mungkin saja dulu menjadi makanan favorit kita, yang rasanya hidup menjadi hambar tanpa menikmatinya, kita siap untuk semua itu asal terhindar dari satu kata ini, yaitu: MATI.

Ya...KEMATIAN, inilah yang sangat menakutkan, menjadi momok yang sangat mengerikan; terlebih bagi setiap orang yang mengklaim dirinya sebagai manusia beragama, bahwa ternyata di balik KEMATIAN itu ada yang menanti. Di balik dari KEMATIAN itu ada sesuatu yang menunggu, yakni realita religius: SORGA atau NERAKA. Hal ini membuat KEMATIAN semakin menakutkan bagi semua orang, karena merasa bahwa hidupnya belum memiliki bekal untuk menghadapi Pengadilan Terakhir yang akan menentukan apakah ia akan ke Kanan = Sorga, atau justru ia ke Kiri = Neraka. Seandainya seseorang mengetahui bilamanakah ajal akan menjemput dirinya, mungkin saja dia akan berusaha untuk mengumpulkan pahala dengan melakukan amalan-amalan atau meningkatkan kuantitas hidup beribadahnya dengan rajin ke Gereja (kalau boleh, tinggal nginap di gereja), rajin berdoa, rajin membaca Alkitab, rajin bermeditasi, dan lain sebagainya.

Tapi yang pasti bahwa KEMATIAN adalah suatu RAHASIA. Bilamanakah ajal datang menjemput, tak seorang pun yang tahu. Kalau pun ada yang tahu, yang pasti bahwa seberapa kuat anda hidup dalam ketaatan ibadahmu dengan tekun melakukan amalan-amalan bersedekah, tapi semua ini tidak dapat memberi jaminan bahwa SORGA sudah ada dalam genggaman anda.

Saudaraku...
Ingatlah firman Tuhan ini: Tuhan tidak bisa dibujuk dan tidak bisa disuap (Ul. 10:17). Ya...Tuhan tidak akan mungkin anda bisa bujuk dan anda suap dengan amalan-amalanmu. Saya mau mengatakan kepada anda bahwa DOSA adalah noda dalam kehidupan yang tdk bisa dihapus dengan amalan-amalan manusia.

Jika kita membuka dan membaca Perjanjian Lama, kita akan menyaksikan bagaimana upaya umat Tuhan untuk mendapatkan Selamat = Shalom. Aturan-aturan ritual begitu ketatnya, khususnya dalam hal Korban Keselamatan, maka seseorang harus menyembelih seekor "anak domba" yang tanpa cacad. Hewan ini harus ada "Label Halal". Tetapi, apakah standar yang kita berikan pada sebuah barang atau hewan itu sungguh-sungguh sudah menjamin bahwa barang atau hewan tersebut telah jauh dari segala yang Najis = Haram.

Yang pasti saudara-saudaraku....
Tidak ada lagi satupun dalam dunia ini yang kudus, suci atau tanpa noda. Ketika manusia telah jatuh ke dalam dosa, maka dosa telah merasuki semua lini kehidupan dan alam semesta pun mengalami imbasnya. Itu berarti bahwa di dalam dunia ini tidak ada lagi yang kudus, tidak ada lagi yang suci, tidak ada lagi yang benar; semua ciptaan menjadi hina karena dosa, semua ciptaan adalah kotor karena pelanggaran; termasuk orang yang dicap dekat dengan Tuhan pun (alim-ulama) adalah KOTOR. Dan karena itu saudara-saudara, dalam kitab Imamat dinyatakan bahwa sebelum seorang imam mempersembahkan korban keselamatan atas umat yang datang membawa korban keselamatannya, maka imam harus terlebih dahulu memohonkan keselamatan atas dirinya sendiri. Dan karena itulah, maka seluruh tindakan dalam mengorbankan seekor anak domba jantan yang tak bercacad mengarah pada gambaran dari apa yang hendak Tuhan nyatakan dalam peristiwa pengorbanan Yesus Kristus. Tuhan sendiri yang menyediakan bagi umat manusia sebuah korban yang sempurna, yang tan bercacad dan tak bernoda; dan Dia yang dikorbankan itu adalah Anak Domba Allah, yakni Yesus Kristus.

Saudara-saudaraku...
Seluruh proses dari penyaliban yang dialami oleh Yesus, itu sebenarnya berawal dari sebuah keputusan yang lahir dari kesadaran karena KASIH. Betapa besarnya kasih Allah atas dunia ini, itulah yang dicatat dalam Yoh. 3:16, Allah mengasihi dunia ini sehingga Ia mengaruniakan AnakNya Yang Tunggal. Demikian jugalah pertarungan di taman Getsemani. Betapa berat pertarungan antara Kasih dan Benci yang berkecamuk di dalam diri Yesus. Sebuah pertarungan yang membuat Yesus harus bergumul sedemikian rupa dan Ia sangat ketakutan; Ia gemetar karena tekanan dari dua sisi, dan karena itu PeluhNya berubah menjadi DARAH dan jatuh di atas tanah (baca kembali renungan kemarin). Sebuah pertarungan yang membuat diriNya tersungkur dalam kepasrahan: "Sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu; tetapi dalam hal ini jangan kehendakKu yang jadi, melainkan kehendakMulah yang terjadi".

Betapa berat yang harus ditanggungNya. Terlalu berat....beratnya karena Ia yang tidak berdosa harus dibuatnya menjadi dosa. Dapatkah saudara-saudara yang ada sekarang ini, ketika ada seseorang yang melakukan suatu kejahatan besar, lalu andalah yang didakwa atau dituduh sebagai pelakunya; anda dituduh mencuri padahal anda sendiri tidak melakukannya, anda dituduh membunuh ternyata bukan anda yang melakukannya, anda dituduh memperkosa ternyata bukan anda yang berbuat demikian. Tidakkah anda akan berusaha membenarkan diri anda. Sedangkan orang yang terang-terangan melakukan tindak kejahatan berusaha mencari pembenaran diri, apalagi anda yang sama sekali tidak melakukannya, sudah pasti anda akan berjuang untuk membela diri anda, bukan?

Tetapi dalam perkara SALIB, Yesus sama sekali tidak membuka mulutNya untuk melakukan pembenaran diri. Justru saya mau membahasakan isi hati Yesus seperti ini: "Biarlah hal itu terjadi menurut rencana Bapa, jangan kehendakKu yang terjadi...biarlah semua itu terlaksana sesuai rencanaMu ya Allah, jangan keinginanKu yang berlaku....biarlah Aku yang harus menanggung hukuman, selamatkanlah mereka....ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat".

Saudara-saudara....
Dalam posisi kemanusiaan seperti ini, tidakkah terlalu berat untuk menjadikan diri kita sebagai orang yang bersalah sedangkan orang yang bersalah kita benarkan. Pontius Pilatus sangat bergumul dengan fakta yang saling bertolak belakang, yakni: antara kebenaran dan kepentingan. Pontius memang tahu apa itu kebenaran dan ia berusaha untuk menegakkannya, tetapi ketika kepentingan menjadi taruhannya, -(entah itu jabatan, kekuasaan, kehormatan dan nama baik)-, maka kebenaran pun dikaburkan. Pontius sungguh tahu bahwa tuduhan terhadap Yesus itu tidak benar, segala sesuatu yang didakwakan kepada Yesus tidak mendasar; tetapi ketika orang banyak mengatakan: "Jika engkau membebaskan Dia, maka engkau bukan sahabat kaisar tetapi musuh kaisar".

Apa yang terjadi pada diri Pontius Pilatus adalah antitesis dari apa yang terjadi pada diri Yesus. Dan Pontius Pilatus menunjukkan karakter kita yang sesungguhnya. Kita lebih cenderung mengedepankan kesenangan kita dibandingkan fakta kebenaran. Kita lebih suka mempertahankan posisi kita, kedudukan kita, kekuasaan kita, kehormatan kita, harga diri kita, dibandingkan kita menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran. Pontius Pilatus begitu lihai berkelit, ketika ia sendiri tidak menemukan satu pun kesalahan yang mengharuskan Yesus dihukum mati, namun demi kedudukan dan kehormatannya maka ia mencuci tangannya dan berkata: "Aku tidak bertanggung jawab atas darah orang ini".

Jadi, tidakkah kenikmatan diri kita, kesenangan kita, kebahagiaan kita, itu lebih penting dari segala-galanya; ya...lebih penting dan lebih utama dari pada menuruti apa yang disebut dengan KEBENARAN. Tidakkah ini menjadi gambaran dari persekutuan kita, gambaran dari keluarga kita, gambaran dari masyarakat kita bahkan gambaran yang sesungguhnya dari dunia kita.

Saudara-saudara yang dikasih Tuhan, sidang Jumat Agung yang berbahagia.
Realita inilah yang dilihat Tuhan sehingga Tuhan menarik kesimpulan bahwa tidaklah mungkin manusia dapat menyelamatkan dirinya dari murka Allah. Karena itu, Yesus harus merelakan diriNya; tubuhNya tercabik-cabik dan darahNya menetes ke bumi, tubuh yang kudus, tubuh yang suci, tubuh yang tak bernoda dan bercacad, pun demikian dengan darahNya yang suci, yang kudus dan mulia, harus ditumpahkan supaya noda dosa itu dibuatnya menjadi putih bersih. Oleh karena itu, penulis kitab Ibrani sangat tegas dalam hal iman Kristen; bahwa tubuh Yesus yang dipecah-pecahkan dan darahNya yang mengalir itu, telah membuka jalan baru, yakni jalan keselamatan; jalan yang menuju satu titik, yakni: Kerajaan Sorga yang abadi di mana di sana akan dialami apa yang disebut dengan SHALOM. Dengan pengeorbanan Yesus, maka tuntaslah karya penyelamatan: "Tetelestai = sudah selesai atau sudah tuntas dan sempurna". Karena itu, tidak perlu lagi ada korban kambing atau domba, korban lembu, atau korban-korban yang lainnya. Yang dicari Tuhan sekarang adalah HATI yang yang penuh dengan ungkapan syukur. Sebuah hati yang tidak berhitung untung atau rugi. Sebuah hati yang siap: Mempersembahkanlah tubuhmu (roh dan jiwamu) sebagai korban yang kudus, yang benar dan yang berkenan pada Tuhan, sebuah hati yang siap untuk diutus menjadi pembawa berita pembebasan (Injil) bahwa Yesus telah mati karena kasihNya yang besar atas dunia ini.

Karena itu saudara-saudaraku yang dikasihi Tuhan....
Biarlah peristiwa kita merayakan Jumat Agung pada saat ini, akan membawa nuansa baru dalam kehidupan kita. Jikalau sedemikian rupa Tuhan telah mengasihaniku, mengasihani keluargaku, mengasihani masyarakatku, mengasihani anda atau mengasihani kita semua dengan kasih yang sempurna; maka kita pun wajib untuk melakukannya satu dengan yang lain.

Ingatlah:
Kematian Yesus adalah kematian yang membebaskan kita dari keterikatan terhadap dosa.

Selamat bercensura morum.
Selamat menikmati Jumat Agung.
Tuhan Yesus memberkati anda.

No comments:

Post a Comment

Web gratis

Web gratis
Power of Love