
(Masale, hari ke-100 tanggal 10 April 2018 - Pdt. Joni Delima).
Persembahan Khusus Untuk Bulan Diakonia.
Bacaan : Markus 6:30-44.
"...segeralah datang orang dari semua kota ke tempat itu sehingga mendahului mereka. Ketika Yesus mendarat, Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hatiNya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka (Mark. 6:33-34)".
Shalom Aleichem b'shem Yeshua Ha Maschiach.
(Salam sejahtera bagimu dalam nama Yesus Sang Mesias).
Semoga hari ini kehidupan anda diberkati Tuhan.
Saudaraku...
Betapa saya terinspirasi dengan kisah hidup dari Santo Fransiscus dari Assisi, sebelum ia terpanggil dan menyatakan kaulnya untuk menjadi seorang pengikut Kristus yang setia, dan mendirikan Ordo Fransiscan (O.F.M = Ordo Fratrum Minorum/Ordo Friars Minor = Ordo Saudara-saudara Hina) yang terus berkembang dan bertumbuh sampai sekarang di kalangan Katolik Roma. Ia dilahirkan di kota Assisi (Italia) pada tahun 1181 dari keluarga pedagang yang kaya raya. Ayahnya bernama Pietro Bernardone dan ibunya bernama Donna Pica.
Di masa mudanya, Fransiscus hidup dalam glamour, suka berpakaian indah, suka bersenang-senang dan berpesta pora dengan teman-temannya dan ia lebih banyak menghambur-hamburkan harta ayahnya daripada tekun belajar. Walaupun demikian, ia juga mempunyai sikap yang terpuji, yakni suka berbagi dengan orang miskin. Dikisahkan bahwa, suatu hari ia sedang berjalan-jalan dengan naik kuda dan menggunakan pakaian yang mewah. Setiap kali ia berpapasan dengan pengemis bahkan penderita kusta, dengan tetap duduk di atas pelana kudanya, ia memberikan uang kepada pengemis-pengemis itu. Namun yang aneh, para pengemis itu takut menerima pemberian Fransiscus. Nanti setelah dipaksa baru mereka menerimanya. Sampai di rumah, Fransiscus berpikir: "mengapa para pengemis itu merasa takut untuk menerima pemberiannya?".
Lalu ia berkesimpulan bahwa: "pastilah para pengemis itu merasa bahwa ada perbedaan tingkat status sosial yang sangat dalam di antara mereka dengannya. Dan sering kali orang-orang yang dari kasta terhormat memperlakukan orang-orang miskin (pengemis) dengan tidak manusiawi".
Keesokan harinya, ia kembali menjumpai para pengemis itu dengan pakaian yang sama. Ia langsung turun dari kudanya dan mendekati mereka, lalu ia menanggalkan jubahnya yang mahal itu dan mengenakannya pada salah seorang pengemis di situ. Dan kemudian ia meminta pakaian kumal si pengemis itu untuk dipakaianya. Demikianlah Fransiscus bertukar pakaian dengan salah seorang dari pengemis itu; dan sejak saat itulah, perasaan takut yang menyelimuti hati para pengemis itu sirna dan mereka pun membangun persahabatan dengan Fransiscus.
Pernah juga terjadi bahwa Fransiscus sedang bermain dengan teman-temannya, lalu datanglah seorang pengemis dengan meminta sedekah. Ketika teman-temannya tidak mempedulikan permintaan pengemis itu, bahkan mereka membentak dan mengusirnya, Fransiskus justru membelanya serta memberika semua uang yang ada dalam sakunya. Teman-temannya dengan cepat mengolok-olok Fransiscus dan menyebutnya "Manusia Bodoh". Sesampai di rumah, atas laporan teman-temannya, Fransiscus pun kena damprat dari ayahnya.
Pada tahun 1201 (tepat ketika ia berusia 20 tahun), pecahlah perang antara Italia dan Perugia. Fransiscus pun mendaftarkan dirinya untuk menjadi seorang tentara dan terjun ke medan perang. Tetapi malang menimpahnya. Ia tertangkap dan disekap selama satu tahun sehingga ia jatuh sakit. Dalam kondisinya yang sudah sangat lemah, ia mendekatkan diri pada Tuhan. Ia berdoa, sekiranya Tuhan membebaskannya, maka ia akan memberi seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan di tengah-tengah saudara-saudara Yesus yang miskin itu. Karena itu, setelah ia dibebaskan maka ia memutuskan untuk menjalani hidup miskin dan menjadi seorang pengemis. Semua hasil yang didapatkannya dari mengemis kemudian dimasukkan ke dalam kotak persembahan untuk orang-orang miskin dan ia pulang dengan tanpa uang sesenpun di sakunya.
Ketika ia berdoa di Gereja St. Damiano, Fransiscus mendengarkan suara Tuhan: "Fransiscus, perbaikilah gerejaKu yang hampir roboh". Jadi Fransiscus langsung bertindak, ia pergi untuk malaksanakan perintah itu dengan menjual setumpuk kain ayahnya yang mahal dengan harga yang murah. Hasil penjualan itu kemudian dipakainya untuk membeli bahan-bahan bagunan untuk membangun gedung gereja yang sudah tua itu. Ayahnya marah besar dan mengurungnya dalam kamar, namun dengan bantuan ibunya, ia berhasil kabur. Ayahnya kemudian tidak mengakui lagi Fransiscus sebagai anaknya dan tidak sesenpun warisan yang diberikan kepada Fransiscus.
Sejak saat itu, Fransiscus mulai menyadari makna suara Tuhan yang pernah didengarnya di Gereja St. Damiano, bahwa perintah itu bukanlah membangun gereja dalam arti fisik tetapi membangun gereja dalam arti rohani, yakni menyerukan "Pertobatan". Dengan pakaian kasar di badan, bertelanjang kaki, tanpa tongkat dan bekal; Fransiscus pun mulai berkeliling memberitakan Injil dan menyerukan pertobatan. Ada beberapa temannya yang berhasil dibawa kepada pertobatan dan mendukung pelayanan Fransiscus dengan menjual segala harta miliknya dan diberikan kepada Fransiscus. Salah seorang dari mereka adalah Bernardo di Quintavalle.
Setelah mendapatkan persetujuan dari Paus Innocentius III dengan mendirikan Ordo Saudara-saudara Hina (OFM), dan dengan dukungan dana dari teman-temannya, maka Fransiscus mulai mendirikan tempat tinggal bagi orang sakit dan miskin dan mengupayakan pendidikan mereka. Di samping pelayanan terhadap kaum miskin dan termarginalkan, ia tetap pada komitmentnya untuk memperkenalkan kasih Yesus kepada dunia dengan terus mengabarkan Injil kepada orang-orang kafir dan Muslim.
Pada tgl. 3 Oktober 1226 dalam usia 45 tahun, Fransiscus meninggal dunia dan secara ajaib di bagian telapak tangan, kaki, kepala dan lambung Fransiscus tampaklah luka-luka yang dialami Yesus pada proses penyalibannya (Stigmata). Tentu, hal ini menjadi sebuah rahasia yang tidak dapat disingkapkan. Hanya Tuhan saja yang tahu, mengapa tanda-tanda itu ada pada tubuh Fransiscus. Yang saya mau bagikan buat anda hanyalah doa dari Fransiscus yang sangat menyentuh perasaan spiritual saya untuk menjadi seorang pribadi yang seperti Tuhan mau:
Doa Fransiscus dari Assisi:
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai.
Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih.
Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan.
Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan.
Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran.
Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian.
Bila terjadi keputus-asaan, jadikanlah aku pembawa harapan.
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang.
Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa sukacita.
Ya Tuhan Allah...
Ajarlah aku untuk lebih suka menghibur dari pada dihibur;
mengerti dari pada dimengerti;
mengasihi dari pada dikasihi;
sebab dengan memberi kita menerima;
dengan mengampuni kita diampuni; dan dengan mati suci,
kita dilahirkan kembali ke dalam hidup kekal.
Amin.
Perjuangan dari Fransiscus diteruskan oleh para pengikut-pengikutnya dengan membangun Rumah Sakit, Panti Asuhan, Sekolah, Rumah Singgah dan Pelayanan PI ke seluruh dunia dengan menyerukan pertobatan dan menumbuhkan rasa cinta pada Yesus dengan pelayanan terhadap kaum papa tanpa berharap pamrih. Bahkan jiwa pelayan yang penuh cinta kasih telah memotivasi seorang perempuan Albania yang juga berasal dari kalangan keluarga terpandang dan kaya raya, yakni Agnes Gonxha Bojaxhiu untuk datang ke Calcutta - India dan hidup bersama-sama dengan kaum miskin, kaum termarginalkan serta penderita kusta. Dia kemudian mendirikan "MC = Missionaries of Charity/Misionaris Cinta Kasih". Agnes Gonxha Bojaxhiu kemudian lebih dikenal dengan nama Mother Teresa.
Saudaraku...
Pelayanan Diakonia adalah gambaran dari pelayanan Yesus yang sesungguhnya. Melalui firman Tuhan hari ini, kita menyaksikan bagaimana perasaan Tuhan Yesus terhadap orang banyak yang tidak pernah merasa lelah untuk mencari Dia. "Ketika Ia menyaksikan orang banyak itu, maka tergeraklah hatiNya oleh belas-kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala". Betapa saya terkesan dengan bagian ini: "Tergeraklah hatiNya oleh belas kasihan". Mereka yang datang itu adalah orang-orang yang haus akan perhatian dan haus akan sentuhan kasih sayang. Mereka yang datang itu adalah orang-orang pinggiran yang tidak dipedulikan oleh lingkungannya. Mereka yang datang itu adalah orang-orang yang dipandang hina dan bahkan dianggap sampah masyarakat. Mereka yang datang itu adalah orang-orang yang sudah tidak mampu menafkahi dirinya lagi, orang-orang yang sudah kehabisan dana untuk berobat demi mendapatkan kesembuhan, orang-orang yang hidupnya terlunta-lunta karena tidak ada tempat tinggal, para yatim-piatu yang putus sekolah, yang kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Mereka diumpamakan oleh Tuhan Yesus: "Seperti domba yang tidak mempunyai gembala". Perhatikan bahwa Tuhan Yesus menyambut mereka, melayani mereka sesuai dengan kebutuhannya dan menyembuhkan mereka yang sakit. Yesus mengajar mereka tentang Kerajaan Allah, tetapi juga bertindak memberi makan mereka sampai kenyang. Tidakkah hal ini juga harus nampak dalam pelayanan anak-anak Tuhan (Gereja)?.
Saudaraku...
Jujur harus kita akui bahwa Gereja belum maksimal melaksanakan pelayanan Diakonia karena masih dangkalnya pemahaman tentang makna pelayanan yang sesungguhnya. Gereja masih banyak memperdebatkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Aqidah atau Dogma sehingga lupa panggilannya yang hakiki untuk menjadikan semua orang mengalami dan merasakan perjumpaan dengan Tuhan melalui kehidupan Aqlak atau kehidupan moral; ya...memandang orang lain sebagai makhluk Tuhan yang mulia agar diperlakukan dengan baik dan terhormat seperti layaknya kita memperlakukan Tuhan. Saatnya sekarang gereja tidak hanya berkutat pada perkara-perkara rohani semata, tetapi juga memikirkan perkara-perkara jasmani yang olehnya harkat dan martabat seseorang bisa terjaga dan terpelihara. Sebab apalah artinya kita bisa menghafal seluruh isi Alkitab, rajin berdoa, rajin bersekutu, rajin mengikuti seminar dan pelatihan tentang berkhotbah, dan lain sebagainya; tetapi esensi dari firman itu sendiri yakni "memanusiakan manusia" sama seperti Tuhan Yesus, di mana Ia: "Masuk dalam realita kemanusiaan: lapar bersama mereka yang lapar, haus bersama mereka yang haus, menangis bersama mereka yang menangis, tertawa bersama mereka yang tertawa dan yang sangat spektakuler adalah turut merasakan kematian manusia; agar dengan itu Ia bertindak untuk mematahkan semua bentuk kuasa yang membelenggu nilai-nilai kemanusiaan".
Karena itu, gereja yang benar adalah "Gereja Yang Berdiakonia", dan Gereja yang seperti inilah yang mampu menyuarakan Injil yang sesungguhnya; bukan dengan kata-kata tetapi dengan tindakan. Gereja Yang Berdiakonia adalah gereja yang bertindak sama seperti Fransiscus dari Assisi yang menanggalkan jubah mahalnya dan dikenakan kepada yang miskin, sedangkan dia sendiri mengambil pakaian yang lusuh dan kumal itu dan dikenakan ke badannya sendiri. Artinya, siapkah Gereja yang merasa dirinya sekarang ini sudah mapan, untuk menanggalkan kemapanannya, dengan memperkaya kaum miskin dan memiskinkan dirinya sendiri. Sebagaimana Tuhan Yesus telah menjadikan diriNya miskin, dan karena kemiskinanNya itu membuat kita kaya di hadapan Tuhan.
Selamat belajar untuk berdiakonia.
Selamat beraktifitas.
Tuhan Yesus memberkatimu.
Amin.
ReplyDeleteAmin...Amin...Amin...
ReplyDeleteTrima kasih atas refleksinya.
TYM .