Laman

Thursday, October 11, 2018

Sudah Benarkah Kehidupan Beragamamu?

Sebuah Refleksi Pribadi.
Sekedar Perenungan Sebelum Tidur.
(Masale, hari ke-285 tanggal 11 Oktober 2018 - Pdt. Joni Delima).

Bacaan Kontemplasi : Matius 23:27-28.

Ane' ma'akhal lekha laila tov. Shalom Aleichem b'shem Yeshua Ha Maschiach.
(Saya mengucapkan kepada anda selamat malam. Salam sejahtera bagimu di dalam nama Yesus Sang Mesias).
Semoga malam ini hidup anda diberkati Tuhan.

Saudaraku....
Ketika saya mengambil sebuah buku yang sudah mulai usang, buku yang disusun oleh Olaf Schumann dengan judul: "DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA: Di Manakah Kita Berada Kini?", ternyata saya menemukan secarik kertas yang memuat goresan tangan saya, dan tulisan itu sudah agak lama saya mencarinya. Tulisan tersebut hanyalah berupa refleksi kebatinan saya saat mendengar berita, tgl. 13 Oktober 2015 pukul 11.00 WIB tentang sekelompok orang yang melakukan pembakaran terhadap Gereja di Aceh Singkil yang kemudian merambah ke bebarapa gedung gereja yang lainnya. Goresan tangan saya itu, saya beri judul: "Ketika Nurani Tertindas Fanatisme".

Terima kabar dari Aceh, 13 Oktober 2015 pukul 11.00 WIB.

Aceh....kota yang diberi label SERAMBI MEKKAH.
Apa daya kini namamu ternodai....
Sebab darah dari sekelompok pemuda anak bangsaku,
membara bagaikan lahar panas,
menyembur keluar dari perut bumi.
Menebar api kebencian,
menghanguskan rimba kebhinnekaan.
Tanpa sungkan menghunus pedang,
sambil menyuarakan takbir,
menabuh genderang perang,
walau nurani yang diperangi meratap tangis,
berharap ikhlas hati melapangkan cinta bersemi.

Tetapi nurani sekelompok anak bangsaku membatu.
Sebab yang lain dari pada mereka dipandangnya asing,
yang berbeda dianggap lawan,
yang tak sejalan adalah haram,
najis serumah dengan yang disebut kafir,
tak dikatakan dosa bila dibinasakan,
demi syariah nurani tiada arti,
sebab berjihadist di jalan ini adalah hidayah,
sebuah ridho Ilahi 'tuk menggapai sorga.

Singkil 13 Oktober 2015.

Bagai kabut asap yang menyelimuti ibu pertiwi.
Mata memerah,
nafas tersengal,
dada pun sesak dibuatnya.

Meratap negeriku karena fanatisme,
meraung sang bunda karena primordialisme.
Sebab persada ini adalah rumah bersama,
dalam khasana warna-warni menghias langitnya,
terjalin indah dalam kebhinnekaan,
bagai zambrut terbentang dari barat ke timur,
hamparan permata dari utara ke selatan;
tapi kini tercabik-cabik atas nama satu agama dengan klaim "Jalan Yang Benar".

Akan kukatakan kepadamu hai kaum bangsaku.
Nusantara ini bukan hanya Singkil,
dan anak bangsaku bukan hanya Aceh.

Wahai anak negeri.
Jika agama yang engkau anut adalah kebenaran,
mengapa mesti kau menodai tanganmu dengan darah sesama anak bangsaku.
Jika Allah yang engkau sembah itu mahakuasa,
mengapa engkau mesti membelaNya dengan menyingkirkan putra-putri ibu pertiwi.
Bukankah dengan tingkahmu,
engkau merusakkan nilai luhur agama menjadi kebejatan,
dan oleh lakumu,
engkau mengkerdilkan kebesaran Allahmu.

Saudara sebangsaku.
Apakah yang didapatkan dari sikap fanatisme yang berlebihan?.

Aku menanti jawabanmu,
agar nuraniku terhibur olehnya.

Sahabatku...
Nurani saya kembali menjerit ketika pada hari Kamis tanggal 27 September 2018, beberapa Gedung Gereja di Jambi disegel sehingga warga jemaat harus beribadah di luar.
Dan di sini saya tidak mengait-gaitkan dengan peristiwa pelarangan umat Kristen untuk merayakan Malam Natal tgl. 25 Desember 2004 di Aceh sehingga umat Kristen terpaksa mencari tempat yang jauh di atas gunung untuk merayakan Malam Natal dan pada akhirnya mereka harus bermalam di sana. Dan tiba-tiba sehari setelah itu, terjadilah gempa bumi dengan kekuatan 9,1 Skala Richter mengguncang Aceh dan Nias dan menimbulkan Tsunami dengan tinggi gelombang laut 100 ft atau 30 meter sehingga memakan korban jiwa 166.080 jiwa (sesuai data Media Center Lembaga Informasi Nasional/LIN) bahkan ada yang menyebut mendekati angka 200.000 jiwa.

Demikian juga, pasca penyegelan Gereja di Jambi, sehari sesudah itu, tgl. 28 September 2018 terjadi Gempa Bumi yang mengguncang kota Palu dan Donggala dengan kekuatan 7,4 Skala Richter yang disusul dengan gelombang Tsunami yang mengakibatkan jumlah korban jiwa yang sudah dapat diidentifikasi sekarang sebanyak 2.045 jiwa, namun masih banyak jenazah yang belum teridentifikasi dan juga masih begitu banyak yang hilang karena tertimbun oleh lumpur dan reruntuhan bangunan.

Saya berpikir bahwa sudah waktunya kita kembali merefleksi kehidupan beragama kita: "apakah yang kita lakukan selama ini sudah berkenan kepada Tuhan, atau tidak?".
Bencana demi bencana yang terjadi di negeri ini seharusnya mengusik kehidupan spiritualitas kita yang terkadang hanya nampak pada bagian kulit saja tetapi tidak pada isinya. Pada bagian luar kehidupan tampak agamais, namun bagian dalam penuh dengan kebusukan dan kemunafikan.
Bisa jadi, semua yang terjadi adalah awasan dari Tuhan, agar kita kembali kepada fitra diri kita yang sesungguhnya sebagai ciptaan yang begitu agung dan mulia, dan karena itu kita harus saling menghargai dan menghormati.

Mari kita baharui kehidupan beragama kita dengan menitikberatkan pada "Penghargaan akan nilai-nilai kemanusiaan, sebab untuk itulah Yesus Sang Putra Allah telah menjadi manusia".

Selamat beristirahat.
Tuhan Yesus memberkati.

No comments:

Post a Comment

Web gratis

Web gratis
Power of Love